HAM Untuk Mereka, Bukan Kita. Oleh: Chusnatul Jannah, Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban.
Kata Pak Menteri PAN-RB, Tjahyo Kumolo, ASN boleh memakai cadar, tapi saat di kantor wajib dilepas. Menuruutnya, selama ini penggunaan cadar tidak diizinkan bagi ASN. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai negara tak bisa mencampuri urusan agama seseorang aparatur sipil negara (ASN), terkait larangan pemakaian cadar di kantor. Komnas HAM menilai negara hanya memiliki kewenangan memastikan ASN bekerja maksimal dalam hal pelayanan publik. (Detik.com, 6/3/2020).
Saat cadar terlarang bagi ASN, di satu sudut yang lain ada Menteri berkata telanjang adalah bagian dari seni. Pernyataan ini merespon aksi selebriti yang memposting foto telanjang di akun twitternya. Menurut sang Menteri, itu adalah bagian dari ‘self respect’. Tidak melanggar UU ITE. Ia pun meminta masyarakat untuk tidak reaktif menanggapi postingan si artis. Foto telanjang yang diunggah artis TB dianggap sebagai ekspresi diri dalam mengajak orang agar mencintai bentuk tubuh sendiri. Lucunya lagi, ramai-ramai politisi dari PSI melakukan pembelaan terhadap TB. Guntur Romli mendukung aksi TB telanjang. Ia menilai TB melakukan kritik kriteria kecantikan secara efektif melalui foto.
Tak berhenti disitu, Tsamara Amany dalam akun twitternya menyebut bahwa apa yang dilakukan TB adalah hak atas tubuhnya. Menurutnya, siapapun tak berhak mengatur tubuh perempuan. Pikiran -pikiran bebas yang dimiliki seorang Guntur Romli dan Tsamara ini memang tidak lepas dari pola pikir para pemuja kebebasan. Dengan dalih seni, apapun bebas diekspresikan, tak terkecuali berpose telanjang tanpa busana.
Jika melihat definisi HAM, bukankah respon terhadap dua peristiwa di atas bertolakbelakang? Berfoto telanjang dibilang seni. Sementara ASN bercadar justru dibilang budaya arab. Jika mau berimbang memandang HAM, ASN bercadar bukankah juga hak asasi bagi seorang muslim? Katanya negara demokrasi, tapi faktanya justru tak berdemokrasi jika menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan hak beragama umat Islam.
Perlakuan yang tak seimbang seperti ini seringkali dialami umat Islam. Lantas, HAM itu berlaku untuk siapa? Harusnya kalau memang benar-benar menghargai HAM, tak perlu ada larangan ASN bercadar di lembaga pemerintah. Kalau memang HAM itu untuk semua ras, agama, dan golongan, maka tak perlu mengatur bagaimana dai berceramah atau berkhutbah. Kalau memang HAM itu untuk semua manusia, maka seharusnya penindasan dan penyiksaan terhadap umat muslim di dunia tak perlu ada. Namun faktanya, HAM hanya untuk mereka. Ya, mereka para pemuja kebebasan yang kebablasan. Mereka yang alergi terhadap penerapan syariat Islam. Dan mereka yang fobia terhadap ajaran Islam. Bila korban HAM adalah Islam, mereka diam dan membisu.
Berbicara tentang seni, saya teringat sebuah lirik Pak Haji Rhoma Irama yang berbunyi, “seni adalah bahasa, seni adalah mulia. Suci murni tanpa dosa. Tetapi manusia telah menodainya. Seni pun diperkosa demi hawa nafsunya.” Benar sekali. Seni sudah menjadi dalih pembenar kebebasan berekspresi. Harusnya Menkominfo tak perlu bertingkah seolah sedang membela sang artis. Berkata telanjang sebagai wujud seni adalah bentuk komunikasi publik yang buruk sebagai seorang pejabat negara.
Seni memang semestinya dimaknai indah dalam batas moral dan agama. Namun apa daya, negeri ini terpapar virus sekuler liberal. Alhasil, seni dianggap sebagai sesuatu yang bebas nilai. Tak boleh dilarang apapun bentuk dan ekspresinya. Sungguh miris negeri ini. Mau berislam kaffah betapa banyak tantangannya. Hal-hal yang menyalahi syariat Islam telanjang dipertontonkan. Dan mereka bilang, ini bukan negara agama, juga bukan negara sekuler. Lalu negara apa? Telanjang dikata hak asasi manusia. Bercadar di lembaga pemerintah malah dilarang. Berdakwah pun diatur-atur menurut selera penguasa. Memang susah kalau berhadapan dengan orang-orang sok berkuasa. Lupa bahwa di atas langit masih ada langit. Kita bukan siapa-siapa. Digoyang Corona saja sudah paniknya luar biasa.