Berharap Keadilan Pada Demokrasi? Itu Mimpi. Oleh: Widhy Lutfiah Marha, Pendidik Generasi, Member AMK.
Setelah kurang lebih tiga tahun dicari, dan telah lama hilang dari pemberitaan, akhirnya pelaku kasus penyiraman air keras terhadap penyidik tindakan korupsi Novel Baswedan diadili, dengan tuntutan satu tahun penjara. Dalam surat tuntutan yang dibacakan oleh jaksa penuntut umum di pengadilan Jakarta Utara, Kamis, 11 Juni 2020. Jaksa menyebutkan bahwa terdakwa tidak sengaja menyiramkan air keras di bagian wajah Novel. Menurut jaksa kedua terdakwa hanya ingin menyiramkan cairan keras ke badan Novel.
Melihat hal tersebut, tentu saja ini menuai banyak respon penduduk twitter, hingga #GaSengaja menjadi trending topik. Tak terkecuali dari Novel sendiri. Ia mengungkapkan bahwa penegakkan hukum adalah faktor penting untuk membangun suatu bangsa. Sehingga ketika mendapatkan fakta tuntutan yang tidak seberapa terhadap tersangka, tentu saja ia marah dan juga miris karena kasusnya menjadi ukuran fakta sebegitu rusaknya hukum di Indonesia. Ia mempertanyakan bagaimana masyarakat memperoleh keadilan, jika menghukumi satu kasus dengan kasus yang lain berbeda berdasarkan kepentingan kelommpok tertentu.
Dari hal ini, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) pun menyatakan bahwa Kasus penyiraman air keras pada Novel Baswedan minus keadilan bagi korban surplus kepentingan pelaku dan mengancam pemberantasan korupsi kedepannya.
Hal serupa dinyatakan oleh anggota tim advokasi Kurnia Ramadhana, bahkan lebih tegas lagi beliau mengkofirmasi bahwa yang terjadi pada kasus Novel Baswedan merupakan “sandiwara hukum”.
Sungguh pemutusan hukum yang aneh, apabila kita sandingkan dengan kasus yang sama, contohnya pada kasus Heriyanto pelaku penyiraman air keras ke tubuh istrinya. Yeta Maryati juga dengan kasus yang sama. Mereka dipidana 20 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bengkulu, pada 2020.
Dengan penanganan yang janggal tersebut, perkembangan kasus penyiraman air keras pada Novel Baswedan ini membuat masyarakat geleng-geleng kepala. Bagaimana bisa, tersangka hanya divonis satu tahun penjara.
Akan tetapi, mau bagaimana lagi? karena inilah akhirnya perjalanan kasus Novel Baswedan yang justru lebih berat daripada tuntutan jaksa yang terlalu ringan oleh banyak kalangan. Bukan menjadi hal yang aneh sistem peradilan saat ini compang-camping. Pasalnya landasan hukum saat ini merupakan produk akal manusia. Sedangkan akal manusia itu terbatas tanpa bimbingan wahyu, maka akal akan memutuskan sesuai dengan hawa nafsunya. Alhasil hukum yang dihasilkan bukanlah solusi justru cenderung melindungi kepentingan kelompok tertentu.
Inilah gaya sistem sanksi dalam sistem sekuler demokrasi, sistem yang utopis dalam menciptakan keadilan ditengah-tengah masyasrakat.
Ini tentu berbeda dengan Islam yang dibangun akidah berdasarkan sistem Islam bahwa Allahlah Maha Pencipta. Yang menciptakan manusia sekaligus memberikan aturan, maka dialah satu-satunya yang berhak membuat hukum.
Oleh karena itu sistem sanksi (uqubat) juga tidak lepas dari paradigma ini. Dalam Islam, pelaksanaan sanksi di dunia merupakan tanggungjawab khalifah (imam) atau yang ditunjuk untuk mewakilinya jadi negaralah yang melaksanakannya.
Sanksi di dunia berfungsi sebagai pencegah (zawajir) yakni mencegah orang-orang untuk melakukan tindakan dosa dan kriminal, sekaligus sebagai penebus dosa (zawabir) yakni menggugurkan sanksi di akhirat bagi pelaku tindakan kriminal yang telah dikenai sanksi di dunia.
Sebagaimana sabda Rosulullah saw, dari Ubadah Bin Shamit ketika menuturkan ikhwal Baiat Aqabah 1 yang diantaranya menyebutkan:
“Siapa diantara kalian yang memenuhinya, maka pahalanya di sisi Allah. Siapa yang melanggarnya lalu diberi sanksi, maka itu sebagai penebus dosa baginya. “Siapa yang melanggarnya namun kesalahan itu ditutupi oleh Allah, jika Allah menghendaki maka Dia akan mengampuninya, jika ia menghendaki Dia akan mengadzabnya” (HR. bukhari)
Adapun bentuk sanksi dalam Islam akan digolongkan menjadi 4:
1.hudud
2. Jinayat
3. Ta’zir
4. Mukhalafat
Masing-masing dari mereka memiliki kreteria dan sanksi sendiri-sendiri. Terkait kasus penyiraman air keras hingga mengakibatkan cacat permanen, maka dalam Islam ini merupakan tindakan kriminal dengan sanksi jinayat.
Jinayat merupakan tindakan pencederaan jiwa hilangnya nyawa. Sanksi yang akan diberikan adalah hukum qishash namun jika keluarga korban memaafkan hakim tidak bisa memberikan sanksi dan pelaku diwajibkan membayar diyat. Diyat merupakan membayarkan sejumlah harta yang dibayarkan sebagai kompensasi atas pencideraan badan atau timbulnya kematian. Diyat untuk nyawa seratus unta atau seribu dinar. Sementara untuk pencederaan badan, nilainya disesuaikan dengan fungsi organ serta jenis anggota badan yang dicederai. Sebagaimana banyak diterangkan dalam hadis.
Konstitusi atau dustur dalam Islam diadopsi dari ketentuan bahwa al-quran as-sunah , ijma, dan qiyas merupakan sumber hukum yang diakui oleh syara’. Begitupun mahzab dalam Islam seperti mahzab Syafii, Maliki, Hanafi dan Hambali. Menjadi referensi penting dalam mengadili dan membuktikan perkara.
Karena itu hakim selain harus merujuk Al-qur’an dan Al-Hadis juga perlu merujuk kitab-kitab ulama klasik memperhatikan pandangan dan ijtihad ulama mahzab agar tidak keliru menjatuhkan vonis.
Karenanya dalam sistem Islam hakim atau qadli harus berderajat ulama. Yaitu orang yang alim mengetahui akan hukum syariah, yakni penerapan hukum Islam dalam ranah praktis. Jadi hakim selain mengumpulkan bukti- bukti yang akurat juga mampu berijtihad terhadap masalah tersebut.
Dan hakim juga penuh hati-hati dalam memutuskan perkara, tidak berdasarkan kepentingan apapun, akan tetapi hanya digali berdasarkan hukum syara’. Keadilan adalah kewajiban dalam Islam jadi pemimpin akan berusaha seoptimal mungkin untuk berlaku adil. Karena mereka sadar bahwa sangat berat azab Allah bagi pemimpin yang zalim atau tidak adil.
Adapun kasus Novel Baswedan, jika mengacu pada hukum Islam, setidaknya para tersangka dijatuhi hukuman setengah diyat sempurna. Jika memakai acuan emas, jika korban kehilangan satu matanya maka pelaku harus membayar sebesar 500 dinar emas. Jika satu dinar seharga Rp 3.300.000. Maka sedikitnya pelaku membayar Rp 1.650.000.000.
Maka dari itu, jelas hukuman satu tahun penjara bagi pelaku tindak kriminal berat seperti kasus Novel Baswedan sangat tidak adil bagi korban dan juga keluarganya. Jadi sudah saatnya masyarakat sadar bahwa sistem hukum saat ini benar-benar batil hingga menghasilkan hukum yang tidak adil, syarat kepentingan dan bobrok. Sudah saatnya dunia termasuk Indonesia mengambil sistem alternatif, yakni sistem Islam karena terbukti hanya Islamlah yang menerapkan keadilan bagi seluruh rakyatnya.
Wallahu a’lam bishshawab.