Merintis Negara Tanpa Hutang. Opini Wida Rahmawati

Merintis Negara Tanpa Hutang. Opini Wida Rahmawati

Merintis Negara Tanpa Hutang. Oleh: Wida Rahmawati, Pemerhati Kebijakan Publik.

Ibarat kura-kura (hendak) memanjat kayu. Peribahasa ini sangat sesuai jika ditujukan pada aktivitas utang. Ya, karena menjalani hidup tanpa utang merupakan hal yang tidak mungkin.
Baik perorangan, kelompok, lembaga, bahkan negara. Termasuk Indonesia, juga tak luput dari utang.

Sebagaimana dilansir dari Katadata. co.id, bahwa Kementerian Keuangan mencatat total pembiayaan utang neto pemerintah hingga Mei 2020 mencapai Rp 360,7 triliun. Jumlah ini meningkat 35,8% dibanding periode yang sama tahun lalu. Adapun posisi utang pemerintah per April 2020 sebesar Rp 5.172,48 triliun. Menurut Menteri Keuangan, hal tersebut akibat defisitnya anggaran dan menurunnya pemasukan negara disebabkan adanya pandemi virus covid-19, (16/6/’20).

Seiring penanganan wabah, utang luar negeri (LN) Indonesia semakin membubung tinggi. Baik untuk defisit anggaran periode sebelumnya atau mengalokasikan secara efisien untuk membiayai rakyat di masa pandemi.

Padahal, utang LN yang semakin menumpuk bisa membawa negeri ini kehilangan kedaulatan dan dijadikan sebagai alat penjajahan ekonomi. Kebijakan Negara berpotensi semakin jauh dari pemenuhan kemaslahatan rakyat, tapi dikendalikan oleh kepentingan asing. Hal tersebut jelas sangat berbahaya.

Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, sudah selayaknya memandang masalah hutang-piutang dengan kacamata Islam. Di mana Islam memandang bahwa utang adalah sebuah kewajiban yang harus dibayar hingga mati. Bahkan bagi orang yang mati syahid pun, ketika semua dosanya otomatis terampuni, hutang tetap harus dilunasi.

Sebagaimana sabda Rasululullah Muhammad saw: “Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni, kecuali utang.” (HR. Muslim no.1886)

Lalu, bagaimana dengan hutang negara, apakah utang tersebut menjadi tanggung jawab bersama seluruh warga negara?

Dilansir dari Hidayatullah.com bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bandung mengeluarkan fatwa tentang status utang negara sebagai berikut. “Setelah mengkaji berbagai kitab rujukan dan melakukan musyawarah, akhirnya diputuskan bahwa utang negara bukan merupakan utang pribadi warga negara, melainkan utang yang harus diselesaikan (kepala) negara,” jelas Ketua Komisi Fatwa MUI Kota Bandung, KH.Maftuh Kholil, Ahad (17/4).

Hal itu menunjukkan bahwa tanggung jawab kepala negara sangatlah besar. Karena setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.

Ada lagi, menurut Ustad Erwandi Tarmizi dalam kanal YouTube Taman Surga, bahwasanya dari seluruh utang Indonesia, jika dibagi per kepala, maka setiap orang akan menanggung kisaran 16 juta rupiah. Tapi, kata beliau utang tersebut akan ditanggung oleh orang yang terlibat langsung hingga terjadinya transaksi hutang negara saat di dunia hingga terbawa di akhirat.

Namun, bukan berarti sebagai warga negara yang tidak terlibat langsung dalam pengambilan keputusan utang tersebut hanya diam saja. Padahal kewajiban setiap manusia adalah menyeru kepada kebenaran. Maka, harus tetap menyeru kepada para penguasa akan bahaya dari hutang, dan agar penguasa negeri ini mengupayakan untuk merintis negara tanpa utang luar negeri.

Utang memang tidak dilarang. Namun, mengingat akan bahaya dan tanggung jawab yang begitu besar hingga akhirat, sudah selayaknya hutang harus dihindari semaksimal mungkin. Mungkinkah sebuah negara terhindar dari utang? Bisa jadi tidak mungkin. Namun, mungkinkah sebuah negara terhindar dari hutang LN? Tentu saja sangat mungkin. Negara yang menerapkan sistem pemerintahan Islam adalah contoh nyata yang sangat layak dijadikan sebagai rujukan.

Sebuah sistem pemerintahan Islam yang pernah diterapkan selama tidak kurang dari 14 abad. Selama itu pula, tidak pernah tercatat dalam sejarah sistem pemerintahan Islam (Khilafah) pernah melakukan transaksi hutang luar negeri. Ini sungguh luar biasa, dan sangat patut untuk dicontoh penerapannya.

Negara Khilafah yang sejak awal tegaknya telah berdaulat dan merdeka secara penuh. Sehingga tak ada tekanan dari negara lain akan kebijakan negara. Juga karena negara Khilafah tidak akan melakukan kerjasama dalam bentuk apapun dengan negara kafir harbi fi’lan yang jelas memusuhi Islam. Sehingga tak terbuka celah untuk dijajah.

Selain itu, negara Khilafah bersandar kepada hukum Allah yakni aturan Islam. Sehingga setiap kebijakan yang diambil atas dasar keimanan dan ketakwaan yang kuat terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Seperti dalam pengelolaan harta negara (pemasukan dan pengeluaran) oleh para penguasa/pejabat akan dilakukan penuh amanah dan sangat minim diselewengkan.

Dalam pengelolaan harta milik umum juga diharamkan adanya swastanisasi. Sehingga pengelolaan harta tersebut secara penuh oleh negara dan digunakan untuk kemaslahatan rakyat.

Jika dari sumber-sumber pendapatan negara (kharaj, ghanimah, tanah tak berpewaris, zakat, sumber daya alam, dll) ternyata belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan rakyat (semisal dalam situasi perang, wabah, maupun paceklik), maka negara akan memungut pajak kepada rakyat lelaki yang mampu saja.

Lalu, ketika hal tersebut masih saja belum mencukupi, negara akan meminta bantuan kepada Gubernur wilayah yang mampu atau bahkan berutang kepada para aghniya (orang kaya raya). Atas dasar iman, para kaum kaya raya akan dengan suka rela mengutangkan, atau bahkan menyedekahkan harta mereka demi kemaslahatan rakyat. Sehingga kesulitan keuangan yang dialami oleh negara tidak akan berkepanjangan. Wallahu a’lam!

Loading...