Revolusi Akhlak, Antara Harapan dan Kenyataan

Revolusi Akhlak, Antara Harapan dan Kenyataan
Ilustrasi

Revolusi Akhlak, Antara Harapan dan Kenyataan. [Catatan Reportasen Diskusi Cangkru’an Cak Slamet, dalam Segmen Kajian Malam/Kalam]

Ditulis oleh: Ahmad Khozinudin S.H, Advokat, Sastrawan Politik.

Menarik apa yang disampaikan oleh KH Asep Saepudin dalam Diskusi Cangkru’an Cak Slamet, Senin malam (16/11). Beliau menekankan bahwa sasaran utama gerakan Revolusi Akhlak adalah penguasa, para pejabat penyelenggara Negara.

Mengingat, menurut beliau kekuasaan memiliki dampak yang luas bagi kemaslahatan atau kemudharatan umat. Jika akhlak individu rusak, pembohong, khianat, ingkar, maka dampaknya hanya berimbas pada satu atau beberapa orang saja.

Namun, jika akhlak penguasa rusak, pembohong, khianat, ingkar, kebijakannya akan berdampak luas bagi jutaan bahkan seluruh rakyat. Karena itu, diantara aspek penting sasaran revolusi Akhlak, adalah ‘Merevolusi Akhlak Penguasa’ dari pembohong menjadi jujur, dari tukang ingkar menjadi tepat janji, dari khianat menjadi amanah.

KH Asep Saepudin juga menekankan, jika pejabat atau penguasa tak mampu merubah akhlak, memiliki karakteristik pembohong, ingkar dan khianat yang akut, sebaiknya mengundurkan diri. Dan salan satu penekanan yang penting, bahwa gerakan revolusi akhlak bisa berubah menjadi Revolusi Jihad, jika akhlak pemimpin yang dusta, ingkar dan khianat tidak mau berubah tidak pula mau mengundurkan diri.

Adapun penulis, dalam kesempatan diskusi tersebut menyampaikan beberapa sumbangan pemikiran, yakni :

Pertama, bahwa gerakan revolusi adalah gerakan yang merubah sendi-sendi sosial dan kehidupan masyarakat secara drastis, berbeda sama sekali dengan kondisi sebelumnya. Pendeknya, revolusi adalah gerakan sosial dan politik yang berorientasi pada perubahan rezim dan sistem.

Begitulah, revolusi Perancis telah mengubah struktur politik dari kekuasaan para Raja dan kaum Borjuis kepada kekuasaan yang bertumpu pada kebebasan individu dan kedaulatan rakyat. Revolusi bolshevik menumbuhkan sistem sosialisme yang tegak di atas pilar negara yang mengadopsi ideologi sosialisme Marx. Dan seterusnya.

Karena itu, jika revolusi itu hanya mengubah rezim, hanya mengganti orang, sesungguhnya orientasi pergerakan belumlah memenuhi syarat sebagai gerakan revolusi.

Kedua, ciri dan karakteristik Revolusi Akhlak adalah meneladani akhlak Rasulullah Saw. Karena itu gerakan Revolusi Akhlak harus berkarakter pemikiran, politik, tanpa kekerasan dan tanpa aktivitas fisik (La Madiyah, La Unfiyah).

Ketika Rasulullah Saw melakukan gerakan Revolusi Akhlak di Mekah selama 13 tahun, aktivitas dakwah beliau fokus pada dakwah pemikiran, yakni mengajak masyarakat dari meyakini dan mengadopsi akidah dan pemikiran kufur, menuju keyakinan yang bersumber dari akidah dan pemikiran yang Islami.

Rasulullah juga berorientasi politik, yakni agar akidah dan pemikiran yang Islami tidak sekedar menjadi atribut dakwah, tetapi diterapkan dalam kehidupan melalui sarana kekuasaan. Aktivitas politik beliau terlihat, ketika beliau mendatangi sejumlah suku dan kabilah, ada Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah, Bani Muharib bin Khashfah, Bani Fazarah, Bani Ghassan, Bani Murrah, Bani Hanifah, Bani Sulaim, Bani ‘Abas, Bani Nashr, Bani Buka’, Bani Kindah, Bani Kalb, Bani al-Harits bin Ka’ab, Bani ‘Udzrah, Bani Hadharimah, hingga Bani Thaif.

Pada akhirnya, beliau menerima kekuasaan dari suku Aus dan Khajraz di Madinah. Dan kemudian, Rasulullah menerapkan konsepsi akidah dan pemikiran Islam dalam bingkai politik kekuasaan, untuk mengatur masyarakat Madinah.

Adapun karakter dakwah Rasulullah Saw yang tidak mengadopsi penggunaan kekerasan dan perlawanan fisik, nampak pada aktivitas dakwah beliau Saw selama 13 tahun di Mekkah, dengan segala ujian dan tantangan, namun beliau tak melawannya dengan aktivitas fisik dan kekerasan.

Bahkan hingga beliau di boikot tiga tahun lamanya, sejumlah sahabat disiksa, beliau tak melakukan perlawanan fisik. Pada fase revolusi sebelum mendapatkan kekuasaan politik di Madinah, Rasulullah murni berdakwah secara pemikiran dan politik, tanpa aktivitas fisik dan pengunaan kekerasan.

Revolusi akhlak yang saat ini digaungkan, wajib mengadopsi revolusi akhlak Rasulullah Saw, yang tanpa kekerasan, tanpa fisik, tanpa konfrontasi dan pertumpahan darah. Revolusi yang seperti ini berbeda dengan revolusi Perancis, revolusi bolshevik, revolusi leninisme, dll, yang ciri utamanya menggunakan gerakan fisik dan berdarah.

Katiga, Revolusi Akhlak ini tentu saja akan berbenturan dengan konsepsi Revolusi Mental yang diusung rezim. Revolusi akhlak adalah revolusi yang dibimbing Wahyu yang bertujuan menegakkan hukum Allah SWT.

Rezim yang mengusung revolusi mental, yang menerapkan hukum sekuler, dan apalagi dengan karakter dusta, ingkar dan khianat, tentu akan melawan dan berusaha memadamkan api gerakan revolusi akhlak.

Hal ini harus disadari oleh umat Islam. Akan banyak potensi persekusi dan kriminalisasi berdalih penegakan hukum. Akan ada potensi kezaliman lebih masif.

Hanya saja, aktivitas ini harus dilawan secara pemikiran dan politik. Para pengusung gerakan revolusi akhlak, tidak boleh terjebak dan apalagi terpancing menggunakan kekerasan dan gerakan fisik. Para pengusung revolusi akhlak wajib meneladani akhlak Rasulullah Saw, yang berdakwah secara pemikiran, politik, tanpa kekerasan dan tanpa gerakan fisik.

Terakhir, orientasi akhir revolusi akhlak adalah tegaknya hukum Allah SWT. Yakni, hukum Allah SWT yang mengatur aktivitas individu, keluarga, masyarakat dan negara.

Revolusi akhlak bertujuan menegakkan hukum Islam dalam bingkai kekuasaan Islam, seperti revolusi akhlak yang ditempuh Rasulullah Saw hingga mampu memperoleh kekuasaan di Madinah. Dalam konteks era now, tujuan revolusi akhlak yakni tegaknya hukum Allah SWT dalam seluruh dimensi kehidupan, mustahil tegak tanpa adanya daulah Khilafah. Al hasil, penegakan Khilafah Islamiyyah menjadi sarat mutlak dan bagian dari fase revolusi akhlak yang tak mungkin terpisahkan.

Loading...