Contohlah Dakwah Walisongo, Kita Harus Me Nusantara. Ditulis oleh: Tubagus Soleh, Ketum DPP Ormas Kerabat dan Sahabat Kesultanan Banten (Babad Banten).
Dakwah Walisongo merupakan contoh nyata keberhasilan dakwah Islam yang gemilang di Tatar Nusantara bahkan menjadi contoh bagi Dunia Islam.
Hingga kini keberhasilan dakwah Walisongo di Nusantara menjadi kajian serius para pakar Islam kaum orientalis bahkan banyak Pakar dari Negeri Muslim pun yang mengkaji keberhasilan dakwah Walisongo tersebut.
Keberhasilan Dakwah Walisongo Khususnya di Tanah Jawa dan Soenda?
Apa sesungguhnya yang menjadi keberhasilan dakwah Walisongo khususnya di tanah Jawa dan Soenda? Bayangkan saja khusus Tanah Soenda Majelis Walisongo hanya menugaskan seorang saja yaitu Kangjeng Sinuhun Sunan Gunung Djati Syekh Syarif Hidayatulloh Cirebon.
Bila kita renungi secara seksama, majelis Walisongo begitu cermat baca peta sosialogi, Psycologi dan antropologi sosio masyarakat soenda, Jawa bahkan Nusantara.
Pilihan sosok yang tepat untuk diterjunkan dalam medan dakwah begitu sangat diperhitungkan. Tidak serampangan tanpa perhitungan yang cermat.
Bila kita ikuti dengan cermat sejarah Walisongo, sosok sosok yang diterjunkan merupakan sosok pilihan. Baik secara keilmuan, kebangsawanan, kependekaran, dan kekayaannnya.
Namun yang lebih jeli majelis Walisongo menerjunkan sosok dai pilihannya berdasarkan kemampuan sosok dai yang mampu beradaptasi dengan budaya setempat.
Dalam strategi perang gerilya, pertahanan semesta yang kuat adalah ketika kita hidup bersama dengan rakyat secara bersama-sama.
Sebab dengan begitu untuk langkah selanjutnya akan mudah melibatkan warga dalam perjuangan yang sedang kita lakoni.
Sepertinya tidak jauh berbeda, apa yang dirumuskan oleh majelis Walisongo saat itu. Bahwa untuk bisa melakukan dakwah Islam yang mudah diterima oleh warga masyarakat jawa dan soenda serta nusantara agar para dai walisongon harus memiliki kemampuan hidup berbaur dan menyatu dengan Warga.
Berbaur dan melepaskan aksesoris kebendaan dan keduniawian merupakan ciri khas para dai Walisongo.
Dalam bahasa simplenya: para Sunan Majelis Walisongo mampu me Nusantara secara sempurna meskipun tidak menghilangkan identitasnya sebagai Syarif atau Sayyid.
Namun gaya, tutur kata, akhlak serta penampilan para sunan menunjukan kelasnya sebagai Bangsawan yang rendah hati. Mau melayani warga dengan cinta kasih. Mau membimbing warga dengan sepenuh hati. Mau membantu warga yang kesusahan dengan suka cita tanpa pamrih.
Hal pertama dan utama untuk suksesnya dakwah para Sunan tanah Jawa adalah menjadi manusia Nusantara seutuhnya tanpa menghilangkan identitas diri sejatinya.
Identitas diri bukanlah menjadi pembeda antara aku dan kamu. Tapi menjadi penyatu menjadi KITA.
Tapi yang terjadi saat ini identitas sebagai dzuriat menjadi pembeda. Bahkan menjadi jurang pemisah yang mengkhawatirkan.
Bahasa ana, ane, antum bukan lagi untuk menyatukan. Tapi untuk menunjukan perbedaan kelas. Bahkan logat dan dialek bahasa saja dimirip-miripkan kayak “orang arab”.
Justru hal ini membuat tidak nyaman dan lama-lama akan menimbulkan antipati terhadap dakwah para dzuriat saat ini.
Kalau hanya “menjual diri” sebagai dzuriat tapi akhlaq dan kelakuannya jauh dari norma-norma kesantunan masyarakat malah justru akan mendegradasi kemulyaan dzuriat itu sendiri.
Pola dakwah seperti itu tidak akan berhasil dan hanya menjadi lipstik biasa saja. Tidak ada atsar dakwahnya di masyarakat.
Mari kita renungi secara serius agar kita tidak sembrono dalam berdakwah. Kita harus belajar serius pola dakwah yang pernah dilakukan oleh Para Kangjeng Sunan Walisongo sehingga hasilnya nyata kokoh hingga sekarang.
Berdakwah adalah mengajak. Bukan membentak. Berdakwah dengan kelembutan bukan dengan caci makian.
Semoga kita dilindungi oleh Alloh dari sifat mazmumah dalam berdakwah. Amiin