HARIANNKRI.ID – Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI Mulyanto mensinyalir Pemerintah memanfaatkan momen wabah pandemi Covid-19 untuk memperkuat kekuasaan. Pemerintah pimpinan Jokowi harus selalu diingatkan untuk kembali menghormati nilai-nilai demokrasi dalam penyelenggaraan negara. Jangan sampai Pemerintah membajak demokrasi untuk memperbesar kekuasaan.
Mulyanto menjelaskan, politisi senior Amien Rais, dalam webinar peringatan 85 tahun B.J. Habibie, yang diselenggarakan LP3ES, Jumat (26/6/2021) lalu mengungkapkan fenomena global yang disebut democratic back sliding menuju otoriter. Sebelumnya, Jimly Asshiddiqie menyebut fenomena tersebut dengan istilah pembajakan demokrasi.
Ia juga menjelaskan, indeks demokrasi Indonesia turun dan menempati posisi terendah dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. The Economist Intelligence Unit (EIU) baru saja merilis Laporan Indeks Demokrasi 2020. Dalam laporan tersebut menunjukkan Norwegia meraih skor tertinggi yakni 9,81 dan menjadikannya negara dengan indeks demokrasi tertinggi di dunia. Sementara, Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dengan skor 6.3. Meski dalam segi peringkat Indonesia masih tetap sama dengan tahun sebelumnya, namun skor tersebut menurun dari yang sebelumnya 6.48.
“Pemerintah acap kali berdalih untuk menanggulangi pandemi Covid-19 dalam menyusun berbagai peraturan. Dengan mereduksi peran DPR RI,” kata Mulyanto di Jakarta, Selasa (29/6/2021).
Anggota Badan Legislasi DPR RI menilai, pemerintah pimpinan Jokowi harus selalu diingatkan untuk kembali menghormati nilai-nilai demokrasi dalam penyelenggaraan negara. Ia mengingatkan, jangan sampai Pemerintah membajak demokrasi untuk memperbesar kekuasaan.
“Kita merasakan pembajakan itu faktual. Secara umum, saya setuju dengan pandangan Pak Amin Rais tentang democratic back sliding saat Pandemi Covid-19 ini,” ujar Mulyanto.
Mulyanto Sebut Beberapa Upaya Pemerintah Yang Disebut Memperkuat Kekuasaan Saat Pandemi Covid-19
Anggota Komisi VII DPR RI ini menyebut, ada beberapa kasus yang dapat dijadikan contoh. Pertama dalam kasus Perppu No: 1/2020 tentang Covid-19 yang kemudian disahkan menjadi UU No: 2/2020. Mulyanto menilai, dalam Perppu itu Pemerintah secara nyata mereduksi peran DPR terutama dalam fungsi anggaran.
“Alokasi prioritas anggaran. Sesuai konstitusi, yang semula dilaksanakan DPR dengan UU diubah menjadi kewenangan eksekutif,” ujarnya.
Kedua, lanjutnya, dalam kasus UU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker). Menurutnya, atas nama penanggulangan ekonomi dampak wabah pandemi Covid-19, pembahasan RUU dilakukan ngebut tidak kenal waktu libur dan waktu reses. Meski pembahasan dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan tapi pelaksanaan rapat menjadi tidak maksimal dan penuh keterbatasan.
“Sekarang muncul wacana Presiden 3 periode, yang menentang konstitusi. Sementara terkait vaksinasi, Pemerintah menjalankannya dengan pendekatan kekuasaan. Dimana sanksi administratif dan denda menjadi alat pemaksa warga untuk itu vaksinansi, ketimbang pendekatan edukasi yang persuasif,” imbuhnya.
Selain itu, Mulyanto juga menyebut, Pemerintah berencana membubarkan BATAN dan LAPAN. Dua lembaga tersebut dibentuk masing-masing berdasarkan UU No. 10/1997 tentang Ketenaganukliran dan UU No. 21/2013 tentang Keantariksaan. Peleburan kedua LPNK (Lembaga Pemerintah Non Kementerian Ristek) ini, ujarnya, dilakukan hanya dengan secarik Peraturan Presiden (Perpres), tanpa perubahan UU terkait. Padahal. Menurutnya, hal tersebut tidak ada urgensinya terkait dengan penanganan pandemi Covid-19.
“Hal seperti ini, harus disudahi. Mari kita tanggulangi musibah Covid-19 ini dengan akal sehat, scientific based, tidak grasa-grusu. Berbagai kebaikan yang sudah ada di negeri ini, termasuk anugerah demokrasi, kita jaga dan kita rawat,” pungkas Mulyanto. (OSY)