HARIANNKRI.ID – Kreatifitas street fashon anak-anak SCBD (Sudirman, Citayam, Bogor, Depok) atau fenomena Haradukuh yang viral selama 2 minggu terakhir mendapat dukungan dari Komisi perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Selain memberi ruang kreatif anak, ajang ini juga memberikan warna baru bagi pelintas di konektifitas transportasi dan ruang transit Dukuh Atas, Sudirman.
Dukungan ini disampaikan Kepala Divisi Pengawasan, Monitoring dan Evaluasi (Kadivwasmonev) KPAI Jasra Putra, Jumat (22/7/2022). Zebra Cross di kawasan Dukuh Atas yang menjadi lintasan wira wiri konektifitas tersebut, kini menjadi tempat fashion jalanan anak-anak SCBD. Sebutan Haradukuh muncul karena mirip dengan festival fashion jalanan di Jepang yang biasa disebut Harajuku.
Menurutnya, reaksi positif fenomena Haradukuh ini juga dirasakan roker (rombongan kereta) dan turis (turun naik bis). Bahkan, tidak hanya para roker dan turis, para pendatang di tempat tersebut juga merasakan hal yang sama.
“Membuktikan ada energy besar yang positif yang dirasakan bersama dengan adanya festival fashion jalanan yang kreatif ini,” kata Jasra Putra.
Lanjutnya, warna Jakarta yang biasanya kental dengan hari hari sibuk, determinasi persaingan politik yang tinggi, wajah pusat kegiatan ekonomi, tiba-tiba bergeser pada nilai-nilai yang penampilannya lebih manusiawi bagi para pekerja. Biasa, mereka diatur waktu dan rutinitas, tempat yang mereka lewati kini lebih berperadaban dan bernilai budaya.
“Sehingga merelaksasi rutinitas mereka. Begitupun aktifitasnya terus terlihat progresif dan membawa energi positif yang sangat besar, bagi yang hadir menonton,” imbuhnya.
Anak SCBD dan Fenomena Haradukuh Menurut KPAI
Kadivwasmonev KPAI ini mengingatkan, fenomena Haradukuh yang hadir menjelang Hari Anak Nasional pada 23 Juli menjadi momentum membahagiakan. Fenomena ini muncul di tengah berita anak-anak yang menjadi korban kejahatan seksual dan kekerasan serta kekhawatiran paparan ruang digital. Anak-anak tetap menunjukkan sebagai generasi yang tangguh pasca pandemi. Anak SCBD beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan bangkit.
“Saya kira ini perasaan positif yang harus di tangkap banyak pihak untuk berinovasi. Ruang ruang belajar yang dibatasi tembok itu harus dirubuhkan. Jangan menjadi memenjara kreatifitas anak, hanya karena standard ukuran dan nilai. Anak anak perlu diberi kesempatan bereksplorasi,” tegas Jasra.
Baginya, ruang ekspresi dan kreatif memang harus dibuka seluas luasnya untuk anak. Jasra merasa, penting memberi pesan ke anak-anak Indonesia bahwa negara ini bisa dan terbuka menerima potensi mereka tanpa batas dalam ruang kreatifitas.
“Jadi kalau ada yang berfikir soal kongkow di SCBD anak jadi salah. Maka pertanyaannya adalah dimana ruang anak. Ketika orang dewasa menyampaikan jangan kongkow di situ dengan seribu alasan . Artinya kalau ini yang terjadi, kita sedang menciptakan generasi serba salah. Dimana ruang anak yang menurut orang dewasa lebih baik sebenarnya,” tuturnya.
Ia mengingatkan, kalaupun anak-anak SCBD akan ditertibkan, atau dipulangkan, pertanyaannya apakah ada ruang yang sama untuk memicu ekspresi dan kreatifitas. Ini kan masalah kita, banyak ruang yang disebut ramah anak, tetapi anak-anak enggan terlibat aktif, termotivasi, apalagi kreatif. Sedangkan ketika benar-benar dibutuhkan hanya menjadi objek formalitas belaka.
“Justru kita ingin Pemda dan Swasta yang lain membuka ruang publik serupa. Karena ruang ini menjadi pertemuan lintas generasi dan kebutuhan yang memicu kreativitas anak-anak dan remaja. Saya kira jarang ruang atau model yang diciptakan untuk anak menimbulkan kemandirian berkreatifitas,” tutupnya. (OSY)