Ternyata PDIP Bukan Partai Wong Cilik?

Ternyata PDIP Bukan Partai Wong Cilik?
Ilustrasi artikel berjudul "Ternyata PDIP Bukan Partai Wong Cilik?"

HARIANNKRI.ID – Jargon PDIP sebagai partai wong cilik rupanya tidak lagi melekat pada publik. Setidaknya hal ini yang muncul pada hasil survei terbaru Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC).

Dalam program Bedah Politik bersama Saiful Mujani bertajuk ‘Apakah Partai sudah Mewakili Aspirasi Pemilih?’, ilmuwan politik ini menekankan, umumnya pemilih mendefinisikan dirinya sebagai orang miskin. Program ini disiarkan melalui kanal YouTube SMRC TV, Kamis (15/12/2022).

“Menurut pemilih, ada dua partai yang memiliki karakter yang berbeda secara signifikan dengan aspirasi pemilih dalam hal posisi kelas kaya dan miskin, yakni PDIP dan PKB. PDIP dipersepsi mewakili kalangan kaya, sementara PKB terlalu mewakili kalangan miskin. Sementara partai-partai lain cenderung tidak berbeda dengan sikap pemilih,” kata Saiful.

Bahwa PDIP yang dipersepsi lebih cenderung mewakili orang kaya, lanjutnya, adalah temuan yang menarik. padahal, selama ini jargon yang digaungkan adalah partai wong cilik.

“Selama ini PDIP diasumsikan sebagai partai yang memperjuangkan lapisan masyarakat bawah,” kata pendiri SMRC tersebut.

Namun Saiful mengingatkan tentang teori politik aliran yang dikembangkan oleh Clifford Geertz yang membuat tiga tipe agama di Jawa, yakni priyayi, santri, dan abangan. Tiga tipe ini memiliki hubungan dengan partai politik. Yang santri mendukung partai-partai Islam, abangan mendukung PKI, dan priyayi mendukung PNI. Dan PNI adalah proto PDIP.

“Kekuatan antara PNI dan PDIP kurang lebih sama, kekuatan PNI sekitar 22 persen pada Pemilu 1955, sekarang PDIP mendapatkan suara sekitar 20 persen. PNI adalah partai kaum ningrat Jawa, bukan partai abangan atau kelas bawah. Data ini, menurut Saiful, menunjukkan ada kontinuitas bahwa PDIP adalah kelanjutan dari PNI, dan PNI merepresentasikan kelompok ningrat, terutama di Jawa,” terangnya.

Sebaliknya, sebut Saiful, PKB terlalu mewakili orang miskin. Partai ini sering dihubungkan dengan kaum santri pedesaan. Di zaman Orde Lama, kelompok pedesaan terpecah antara pendukung partai komunis dan partai NU. Kelompok masyarakat pedesaan abangan cenderung memilih PKI, sementara kalangan pedesaan santri mendukung partai NU.

“Karena itu, di Jawa Timur, konflik antara PKI dan NU sangat keras. Ketika PKI tidak ada, lanjut Saiful, maka yang dekat dengan kalangan warga lapisan bawah pedesaan adalah partai pelanjut Partai NU, yakni PKB. Data ini cukup konsisten dengan teori selama ini tentang kepartaian kita,” ungkap Saiful. (OSY)

Loading...