HARIANNKRI.ID – Mempertanyakan moral sebagai alasan tidak pantasnya IU menjadi rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) seharusnya tidak terjadi. Sebagai akademisi, seharusnya jelas dulu definisi, indikator dan siapa yang layak menilai moral sebelum “menghakimi” seseorang dengan label tertentu.
Keprihatinan ini disampaikan salah satu alumni UKSW angkatan 86, Eka TP Simanjuntak kepada hariannkri.id, Jumat (13/1/2023). Hal ini menanggapi adanya 2 alumni UKSW yang menggugat dewan pembina dan IU ke Pengadilan Negeri Salatiga. Menurutnya, tidak etis jika pertanyaan moral baru muncul setelah IU dinyatakan menang voting pada pemilihan rektor peiode 2022-2027.
“Kenapa yang dipersoalkan moral itu baru sekarang? Apa sebetulnya indikator moral? Apa hal-hal yang berkaitan dengan tuduhan seksualitas itu saja yang tidak bermoral? Kenapa baru sekarang mas Indra Budiman dan David Pela (dua alumni penggugat-red) mempersoalkan moral itu,” ujar Eka.
Apakah menurut kedua orang tersebut, tanya Eka, rektor periode sebelum IU juga bermoral. Pertanyaan ini diklaim Eka wajar untuk diungkapkan mengingat begitu banyak dugaan penyelewengan keuangan di UKSW. Jika permasalahan perkawinan adalah tidak bermoral, bagaimana dengan penyelewengan keuangan?
“Kalau memang mau menilai moral, coba bikin indikatornya dan tiga calon (kandidat rektor-red) itu dinilai. Jangan hanya IU yang perempuan,” tegasnya.
Eka mengakui, cara paling gampang menjatuhkan pemimpin perempuan adalah mencari atau karang sebuah cerita terkait “ketidakwajaran” pernikahan atau perilaku seksual pemimpin tersebut. Menurutnya, tudingan tersebut pasti lebih berdampak pada pemimpin perempuan dibanding laki-laki.
“Jadi ini triknya sebetulnya. Kenapa ini terjadi? Karena sebetulnya kemungkinan orang-orang di Satya Wacana, terutama senat, ingin melanggengkan kekuasaan. Jadi mereka berharap…. ya udah gitu. Rektornya itu lagi. Ketika itu tidak terjadi, lalu mereka kecewa, lalu mencari-cari kesalahan,” ungkapnya.
Siapa Yang Layak Menilai Moral?
Ia mengaku tidak bisa mengerti dengan mereka yang menggugat dan mempertanyakan masalah moral ke pengadilan negara.
“Ini lucu. Mereka ini pengacara lho. Bisa menggugat dan mengatakan pembina yang sudah jelas pendeta-pendeta itu tidak bermoral. Kan lucu ya. Bagaimana bisa pengacara itu merasa dirinya orang yang paling pas untuk menilai pendeta-pendeta itu,” imbuhnya.
Terkait dengan tudingan bahwa IU tidak pantas menjadi rektor UKSW karena dianggap tidak bermoral, Eka pun menanyakan buktinya. Jika dituding tidak bermoral karena IU telah melakukan sesuatu, maka seharusnya ada yang dirugikan.
“Emangnya mereka punya bukti apa? Apa benar mereka lihat dengan mata kepala sendiri apa yang mereka tuduhkan itu terjadi. Siapa yang dirugikan dengan tuduhan itu? Kalau terjadi penyelewengan keuangan, jelas ada yang dirugikan? Ini yang menuntut ke pengadilan ini siapa? Keluarganya dari orang yang menjadi korban?” kata konsultan pendidikan ini.
Kabar Rektor Terpilih UKSW Melakukan Hubungan Seks Diluar Nikah
Kepada hariannkri.id, Eka mengingatkan semua pihak agar tidak begitu saja percaya akan gosip yang berkembang. Jika IU dikabarkan melakukan hubungan seks diluar nikah, maka sebagai akademisi, harus dibuktikan dengan pasti bahwa seseorang telah melakukan hal tersebut.
“Ada foto mereka melakukan hubungan seks? Yang mereka bilang di hotel, memang ada mereka lagi di kamar terus telanjang berdua sedang berhubungan seks? Jika ada bukti bahwa mereka berdua, itu menunjukkan apa? Memangnya ada mereka lagi telanjang berdua sedang berhubungan seks?” tegas Eka.
Lanjutnya, kalaupun ada bukti bahwa IU pernah berdua dengan laki-laki yang bukan suaminya di kamar hotel, tidak serta merta bisa dikatakan sudah melakukan hubungan seksual. Bagi Eka, tudingan tersebut muncul semata karena persepsi. Muncul asumsi bahwa kalau orang berdua di kamar, pasti melakukan hubungan seks.
“Kalaupun ada, siapa yang bisa memastikan bahwa mereka berdua hal-hal yang seperti dituduhkan? Kan ini dibawa ke ranah hukum. Memang bisa dibuktikan berdasarkan asumsi? Itu kan omongan orang, terus kenapa dibahas betul,” seru Eka.
Mengapa Urusan Moral Dibahas Paska IU Terpilih Jadi Rektor UKSW?
Secara khusus Eka menanyakan motif Indra Budiman yang baru mempermasalahkan moral paska IU terpilih. Apakah masalah manajemen keuangan UKSW yang saat ini diinvestigasi karena tidak bisa dipertanggungjawabkan bukan masalah moral? Demikian pula dengan berbagai pengadaan barang untuk keperluan UKSW yang mencurigakan, apa bukan masalah moral juga. mengapa hal yang demmikian tidak dipermasalahkan oleh Indra Budiman.
Seharusnya, menurut Eka, jika memang Indra peduli dengan moral, hal tersebut juga harusnya dilaporkan. Hal ini lebih masuk akal karena Indra tinggal di Salatiga sejak lama dan berteman baik dengan rektor sebelum IU.
“Masa dia gak tahu masalah-masalah ini. Tapi tiba-tiba temannya yang jadi rektor kalah sama yang dianggap pembina lebih baik, lalu dia ribut. Itu bagaimana logika berfikirnya? Saya gak ngerti,” sindir Eka.
IU Pernah Menikah dan Cerai Dua Kali
Eka tidak membantah jika IU pernah dua kali menikah dan dua kali bercerai. Ia hanya menekankan, berbeda dengan perselingkuhan, secara moral, tidak ada yang dirugikan jika memang ada orang yang melakukan pernikahan kemudian terpaksa harus bercerai.
“Orang bercerai kan banyak alasannya,” sambungnnya.
Lagi pula, lanjutnya, bisa saja dalam hidup, seseorang melakukan kesalahan pada masa lalu. Namun jika dikaitkan dengan UKSW, ia mengingatkan, harus dilihat dulu apakah kesalahan itu betul-betul signifikan dan mempengaruhi kinerjanya di Satya Wacana ke depan.
“Ada yang bisa menjelaskan itu? Bahwa kalau rektornya pernah bercerai lalu universitas ini gak akan maju. Orang-orang yang belajar di universitas ini tidak akan jadi pintar. Apa ada?” tegasnya.
Setiap manusia, diyakininya, pasti penuh dengan ketidaksempurnaan. Menurutnya, tidak akan mungkin didapatkan seseorang yang pantas menjadi rektor UKSW jika harus sempurna. Kekurangan semua orang itu ada, tinggal apakah kekurangannya mengganggu kinerjanya atau tidak.
“Yang penting itu. Kalau dia bercerai dua kali, lalu hubungannya dengan menghasilkan lulusan UKSW yang berperilaku sesuatu itu logikanya dimana? Kita ini masyarakat yang intelektual, bukan masyarakat primitif. Kita ini memakai logika. Lalu logikanya dimana antara dia menikah dua kali dengan kinerjanya dia,” kata Eka.
Asas Souverenitas (Takut Akan Tuhan)
Terkait dengan salah satu asas berdirinya UKSW, Eka menyebut, semua pihak boleh saja menggunakan interpretasi yang sesuai dengan kepentingan mereka. Ia pun mempertanyakan mengapa selama ini laporan keuangan UKSW tidak pernah dipublikasikan. Padahal itu jelas melanggar undang-undang yang dibuat yayasan.
“Disitu juga banyak penyelewengan keuangan. Apa itu juga tidak melanggar asas takut akan Tuhan? Jadi kalau korupsi itu boleh? Memain-mainkan uang dan tidak melaporkan penggunaannya itu boleh, orang yang bercerai dua kali tidak boleh, gitu? Ini yang saya bilang ngomong moral. Standar moral yang bagaimana? Kenapa hanya diperlakukan pada rektor yang menang, bukan kepada semuanya?” tanya alumnus ini.
Ia pun meminta agar mencari kesalahan yang logis dan bisa dibuktikan. Jika mencari kesalahan dengan menggunakan ayat Alkitab, maka semua bisa dipakai. Karena manusia bukan malaikat dan pasti ada salahnya. Jangan karena IU perempuan, kemudian ranah pernikahan dipermasalahkan.
“Kalau ngomong takut akan Tuhan, kalau mau fair, audit dulu semua orang, dekan, rektor, semuanya, diaudit dulu moralnya. Semua moral, bukan hanya masalah perkawinan, lalu nanti kita lihat. Mas Indra, Marthen Toelle dengan semua teman-temannya, suruh mereka mengaudit semuanya secara moral. Lalu kita lihat, apa ada ada yang lulus? Termasuk juga mereka ini yang menuduh orang lain tidak bermoral ini. Sekalian kita lihat, mereka bermoral enggak? Jadi jangan sepihak,” ungkapnya.
Ia pun mengutip cerita di Alkitab tentang wanita tuna susila yang akan dihakimi karena perilaku moralnya. Tuhan Yesus pun mempersilahkan orang yang ingin menghakimi wanita tersebut. Tuhan Yesus berkata, “siapa yang merasa dirinya paling benar, lemparlah perempuan itu”.
Jadi jangan menuduh orang lain tapi tidak berkaca tentang diri sendiri. Lagi pula, kalau mau mengukur moral, pakailah standar yang benar, jangan hanya standar moral menurut mereka. Dan semua orang dinilai, jangan menyudutkan satu orang saja,” tukas Eka.
Ia pun mengingatkan semua pihak bahwa pokok permasalahan yang dibahas adalah sebuah lembaga pendidikan, yakni perguruan tinggi. Karenanya, semua pembahasan haruslah berdasarkan pemikiran yang logis dan tidak sepihak.
“Bagaimana mereka menjelaskan kalau rektornya seperti apa yang mereka katakan, nanti akan berdampak pada kampus. Apa lulusannya pasti jadi orang-orang yang berdosa?” tanya Eka.
Sebelum mempermasalahkan sesuatu, sambungnya, harus jelas dulu definisinya apa. Indikator yang dipakai juga harus jelas. Jika yang dipermasalahkan adalah moral, maka indikatornya bukan hanya yang berkaitan dengan kehidupan seksual.
“Ada banyak indikator moral. Tidak jujur, mencuri, tidak bertanggung jawab, simpati, empati. Ada banyak. Kalau sudah jelas indikatornya, semuanya harus dinilai soal moral dengan indikator itu. jangan hanya satu, lalu dihakimi. Harus konsisten. Jangan hanya tiba-tiba sekarang menggunakan analisis atau indikator, padahal sebelumnya tidak pernah,” tegasnya.
Tanggapan Eka Simanjuntak Terkait “Operasi Bunga”
Kepada hariannkri.id, Eka mengaku sudah mendengar terkait buletin yang diterbitkan oleh Svara Satya Wacana. Meski ia tidak membenarkan atau menolak isi buletin tersebut, namun alumnus UKSW ini mengingatkan semua pihak agar tidak serta merta melabeli seseorang tidak bermoral.
“Saya sudah lama dengar soal buletin itu. Tapi tidak bisa juga seketika kita bilang orang itu tidak bermoral. Memangnya menilai moral itu tidak pakai proses? Indikatornya apa? Lalu bukti yang ada itu apa? Yang layak menilai moral itu siapa? Harus jelas siapa orang yang kita percaya menilai moral. Yang pasti bukan pengacara. Bidang pekerjaan mereka saja membuat kita bertanya-tanya apakah mereka pantas menilai moral orang lain kan? Kalau guru saya masih ok lah,” ujarnya.
Ia berharap semua pihak agar berhati-hati dalam bersikap jika memang peduli dengan UKSW. Karena kabar yang beredar selama ini belum tentu terbukti kebenarannya.
“Kalau mereka mengatakan terpilihnya IU menjadi rektor UKSW merugikan alumni, mahasiswa atau merusak nama baik UKSW, yang saya mau bilang, yang mempermalukan itu orang-orang yang menyebarkan berita-berita yang gak benar itu. Karena ngomong kemana-mana padahal kriterianya gak jelas, yang menilai siapa, buktinya mana, yang dirugikan siapa. Gak jelas semuanya,” pungkas Eka. (OSY)