Reinterpretasi Makna Kurban. Oleh: Ustad Subairi, Pengasuh Pondok Pesantren Modern Darul Madinah Wonosari
Refleksi komitmen sosial yang hendak dibangun lewat kurban, tampaknya, sudah tidak relevan lagi bila tetap diejawantahkan dengan distribusi daging. Kurban ditengah keprihatinan ini tampaknya akan lebih compatible dan applicable. Bila berkelit-kelindang dengan kebutuhan mendesak umat, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, maupun politik. Inilah barangkali yang dimaksud oleh Imam al-Ghazali, dalam kitab Ihya’Ulumuddin, bahwa “makna luhur ibadah kurban terdistribusikannya nilai-nilai kemanusiaan secara universal”.
Oleh karena itu, Idul Adha dalam ritual penyembelihan hewan kurban sejatinya merupakan proses dekonstruksi rohaniah secara total agar setiap muslim keluar dari belenggu hasrat-hasrat primitif menuju martabat insan mulia. Pengorbanan Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail, itu sungguh revolusioner. Ketiganya sebagai role model atau uswah hasanah, selaku insan profetik yang rela berkorban untuk kepentingan orang banyak. Ketiganya memberi contoh bagaimana bebas dari belenggu diri dan duniawi untuk menjadi insan pemberi kemanfaatan dan kebajikan terbaik bagi sesama dan dunia.
Ritual kurban sebenarnya merupakan hasil apresiasi terhadap tradisi dan budaya lokal Arab. Kala itu, kurban diimplementasikan sebagai bentuk simbol persembahan kepada Tuhan. Dalam konteks ini, tradisi kurban sebenarnya tak lain merupakan bentuk persembahan kepada Tuhan. Hanya, pada kelanjutannya, tradisi membagikan daging hewan kurban kemudian dimaknai sebagai bentuk kepadulian serta solidaritas sosial.
Dengan kata lain, tradisi simbolis kurban tetap dijalankan, tapi penyembelihan hewan kurban sudah saatnya tidak dilakukan secara berlebihan dalam jumlah yang besar, karena sebagian dana kurban itu sesungguhnya bisa didayagunakan untuk kebutuhan yang bersifat urgen dan mendesak pada sementara bangsa kita yang kini hidup dalam kemiskinan. Ibadah yang dirayakan pada 10 Zulhijjah ini, yang hanya dipahami sebagai pelaksanaan shalat dua rakaat dan berkurban.
Sementara itu, bagaimana mewujudkan pesan tersirat dari Idul Adha, itu sendiri tidak ditonjolkan. Penegasan Nabi bahwa tidak ada yang lebih dekat dengan Tuhan selama hari-hari kurban selain menyembelih binatang ternak menunjukkan bahwa ”Tuhan hadir bukan hanya di tempat ibadah, tetapi juga dalam ritual penyembelihan kurban”. Dengan kata lain, hal ihwal duniawi merupakan jalan lain menuju ilahi.
Terkesan ibadah kurban hanya merupakan ekspresi sikap determinan ibadah yang dianjurkan bagi setiap muslim yang memiliki kemampuan materi. Kurban hanya rutinitas ibadah tahunan dan sekedar acara pesta-pora daging yang dibungkus ritual dan rutinitas ubudiyah saja. Pemaknaan dan pemahaman yang cenderung literalis-dogmatis ini jelas akan membuat teks kurban menjadi out of date dan kurang memberi motivasi kuat bagi setiap muslim untuk memenuhi panggilan berkurban.
Masyarakat era Nabi Ibrahim, bercorak pastoralis. Karena itu, investasi dan komoditas paling berharga terletak pada pemeliharaan binatang ternak, dan pemberian makanan berupa daging saat itu merupakan pengorbanan bernilai tinggi. Demikian pula pada kurun Nabi Muhammad SAW. Teks kurban diturunkan dalam rangka waktu khusus saat beliau hidup. Tentu saja yang berlaku adalah subyektivitas yang disesuaikan dengan kebutuhan zamannya.
Sehingga kurban berbentuk binatang ternak merupakan manifestasi solidaritas tertinggi. Berbeda dengan konteks sosio-kultur Nabi Ibrahim dan Muhammad SAW, meski bangsa Indonesia, memiliki tanah subur, gemah ripah loh jinawi, eksploitasi terhadap penduduk berekonomi lemah juga tidak kalah suburnya. Sekat ekonomi begitu dalam anatara si kaya dan si miskin, apalagi kini bangsa kita tengah dililit beragam krisis, sehingga jumlah penduduk miskin kian membengkak dan pegangguran merajalela.
Kenyataan di atas jelas menuntut reinterpretasi atas makna kurban yang berbeda dengan kondisi sosio-kultur di mana Ibrahim dan Muhammad hidup. Dengan kata lain, agar teks kurban tetap up to date, ia mesti membuka diri untuk ditransformasikan makna internal dan orisinilnya ke dalam interpretasi yang lebih kondusif dan kontektual dengan perkembangan zaman.