Pemerintah Pakai Starlink Karena Malas Kerja Keras?

Pemerintah Pakai Starlink Karena Malas Kerja Keras?
Ilustrasi artikel berjudul"Pemerintah Pakai Starlink Karena Malas Kerja Keras?"

HARIANNKRI.ID – Mantan Staff Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Henri Subiakto menyebut, keputusan pemerintah menggunakan Starlink untuk Puskesmas karena buruknya kordinasi antar kementerian dan malas kerja keras hingga pelosok. Pemerintah tergoda dengan teknologi lama yang seolah-olah baru karena kepintaran Elon Musk dalam komunikasi dan pemasaran.

Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga ini menjelaskan, untuk melihat Starlink sudah teruji dan mampu bertahan atau tidak, perlu waktu 10-15 tahun. Kalau bisnis satelit GEO sudah teruji lebih dari 50 tahun dan Starlink yang baru diluncurkan pertama 2019 lalu melayani publik mulai 2020 di AS.

“Apakah sudah teruji Starlink lebih baik dari satelit GEO?’ kata Henri melalui sambungan selular, Minggu (07/07/2024).

Dalam pertimbangan yang kompleks itulah saat pemerintah Indonesia merencanakan melayani desa berdering untuk daerah-daerah terpencil, terluar terdepan di seluruh Indonesia, maka satelit GEO adalah pilihannya. Awalnya menyewa beberapa satelit untuk program USO. Pada tahun 2017, diputuskan memiliki satelit GEO sendiri untuk menggelar internet di seluruh negeri.

Henri menuturkan, pada Juni  2023, Satelit Republik Indonesia (Satria 1) yang merupakan jenis GEO diluncurkan dari Florida AS. Satelit ini melengkapi Fiber Optic Palapa Ring dan RIbuan BTS untuk mewujudkan Indonesia terkoneksi internet. Awalnya hanya terkoneksi telekomunikasi, namun belakangan sesuai tuntutan perkembangan ditujukan untuk pemerataan internet. Tentu dengan teknologi yang lebih berbeda atau lebih maju, minimal 4G, bahkan 5G.

“Karenanya, Satria 1 adalah satelit yang dirancang khusus untuk internet terbesar di Asia,” imbuhnya.

Lanjutnya, operasionalnya menggunakan VISAT (Very Small Aperture Terminal) yang  akan dideploy dan dibiayai  pemerintah lewat disubsidi untuk internet di fasilitas-fasilitas umum. Seperti sekolah, pesantren, puskesmas, kantor desa, taman-taman, pasar dan lain-lain di daerah perbatasan dan terluar, terpencil dan terdepan. Dengan kapasitas secara teknis bisa sampai 100 bahkan 200 mbps. Sayangnya, ada yang ingin hanya 20 mbps, tentu terlalu kecil dan malah idle untuk infrastruktur yang sudah digelar.

“Tiba-tiba saja muncul keputusan Menkes pakai starlink untuk Puskesmas. Ini jelas kebijakan inkonsisten dengan rencana dan road map digital Indonesia,”ujar Profesor Henri.

Padahal, tekannya, sejak awal puskesmas akan disediakan VSAT. Bahkan masyarakat umum di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar) juga bisa pakai VISAT. Proseduralnya melalui Bumdes (badan usaha milik desa) yang bisa didanai oleh dana desa untuk melayani masyarakat anggotanya.

“Semua itu sudah diantisipasi dan tidak ada yang gak mungkin. Sayangnya pemerintah buruk dalam kordinasi antar kementerian,  dan malas kerja keras hingga pelosok. Jadinya seakan hanya bisa belanja infrastruktur tapi lemah dalam implementasi,” tegas Henri.

Keputusan Pemerintah Gunakan Starlink Karena Faktor Elon Musk

“Pemerintah tergoda dengan teknologi lama yang seolah-olah baru karena kepintaran Elon Musk dalam komunikasi dan pemasaran serta menggunakan trend ekonomi valuasi. Yang sesungguhnya lebih mengandalkan image daripada realitas yang kompleks,”ungkap Henri.

Iajuga menyayangkan sikappragmatis masyarakat yang asal ingin cepat terlayani. Walau sebenarnya yang banyak bersuara justru dari daerah-daerah yng sudah terlayani internet.

“Kalau masyarakat daerah 3T bagamana mau langganan Starlink, jika pasang peralatannya saja harus bayar  7-8 juta, dengan harga langganan paling murah 1.5 juta perbulan. Rumah-rumah masyarakat di 3T tentu sulit menjangkau biaya itu. Sedangkan di daerah perkotaan mereka sudah dilayani ISP dengan FO yang jauh lebih cepat, lebih besar kapasitas dan juga lebih murah langganannya. Starlink akan kesulitan bersaing untuk memasarkan,” pungkas Henri. (OSY)

Loading...