Tony Rosyid
Pengamat politik dan Pemerhati Bangsa
Jumat kemarin (15/3) jadi hari keramat. Dua peristiwa besar terjadi. Yang satu menghebohkan dunia internasional. Satunya lagi memenuhi halaman berita di media nasional.
Pembunuhan massal umat Islam di dua masjid di New Zealand. Lebih dari 40 jama’ah shalat Jumat dibantai. Dunia berkabung. Seluruh umat manusia, apapun agamanya, mengutuk tindakan itu. Sebuah bentuk prilaku terorisme. Ini tidak akan bisa dilakukan kecuali oleh orang yang tak waras akal dan ideologinya. Mewakili masyarakat Jakarta, Anies Baswedan telah menyampaikan bela sungkawa dan keprihatinannya. Kok tidak mewakili Indonesia? Bukankah Anies gubernur Indonesia? Masih ada Pak Jokowi, “dejure” adalah presiden Indonesia. Kita tunggu pidato bahasa Inggrisnya beliau. Semoga tak kalah fasih dari Anies Baswedan.
Peristiwa satunya lagi terkait OTT Romahurmuziy. Orang lebih mengenalnya dengan nama Romy. Ketum PPP yang kalah dalam sengketa partai di pengadilan, tapi pemegang SK sah dari Menkumham ini terpaksa harus berurusan dengan KPK.
Romy kena OTT. Kabarnya terkait masalah pengisian jabatan di Kemenag. Apakah termasuk jabatan rektor PTAIN yang SK penentuannya ada di tangan menteri? Silahkan tanya satu persatu rektor yang sudah dilantik. Gratis, atau ada fee, gak ada yang tahu. Tapi, jangan su’udhan. Tetap praduga tak bersalah. Itu prinsip hukumnya.
Dalam konteks pemilihan rektor ini, negara mundur jauh. Kembali ke sistem Orde Baru. Rektor dipilih dan ditentukan menteri, maka otomatis bisa dikontrol penguasa. Dunia akademik tak berkutik. Kendati senat universitas atau institut bisa mengusulkan tiga nama, tapi menteri yang menunjuk siapa yang jadi rektornya. Akhirnya, siklus “sandera” model Orde Baru berlaku. Mahasiswa takut pada dosen, dosen takut pada dekan, dekan takut pada rektor (karena dipilih dan ditentukan secara otoritatif oleh rektor), rektor takut pada menteri, dan menteri takut pada presiden. Ini nyanyian yang dihafal hampir seluruh aktifis mahasiswa era Orde Baru. Termasuk saya adalah bagian dari aktifis di rezim Orde Baru.
Rakyat tahu, Kemenag di kabinet Jokowi itu jatahnya PPP. Otoritasnya tentu ada di menteri agama. Sebagai petugas -dan orang yang direkomendasikan partai- menag akan tunduk dan patuh pada instruksi partai. Ini hukum politik. Tak tunduk, ya diganti.
Yang perlu publik pahami, ini tidak hanya berlaku di Kemenag dan PPP saja. Hampir semua jabatan menteri dikendalikan oleh partai yang merekomendasikan. Mulai dari pengisian jabatan hingga proyek-proyek bernilai miliaran. Hanya saja, Romy apes. Kena OTT. Ini soal nasib saja. Ada yang sial, ada yang selamat.
Justru Romy selamat, kata para kiyai. Tuhan amankan dia supaya tidak terlalu jauh tersesat di jalan yang sesat. Di penjara bisa banyak beristigfar, dzikir, ibadah dan baca Al-Qur’an. Bener juga. Romy punya darah guru besar dan ulama besar. Tuhan sayang padanya.
Pelajaran yang bisa kita peroleh adalah bahwa risiko bagi-bagi jabatan kementerian untuk partai berpotensi menjadi sapi perah bagi partai. Ini sulit dihindari mengingat biaya operasional partai sangatlah besar. Dari mana partai dapat dana? Iuran anggota DPR dan DPRD-nya? Tak akan cukup. Donatur? Hanya ada jika musim pemilu tiba. Sumbangan para pengusaha tak lebih dari investasi politik. BUMN dan BUMD dikuasai oleh partainya penguasa. Itu mah semua orang tahu.
Romy sebagai pelaku, betul. Tak bisa disangkal. Tapi, Romy juga sebagai korban. Korban sistem demokrasi berbiaya tinggi. Ingat kata ketua KPK, jika KPK tak kekurangan tenaga penyidik, hampir setiap hari KPK melakukan OTT. Diantara targetnya adalah para ketua dan pengurus partai. Selain para anggota legislatif tentu saja.
Jadi ketua partai itu berat bro. Dia harus sanggup menyiapkan dana operasional partai yang jumlahnya tidak cukup hanya 50-100 miliar. Belum lagi biaya sebagai calon ketua partai. Besar sekali. Dari mana dana itu, kalau tidak main proyek, jasa dan fee jabatan serta memalak para calon kepala daerah saat pemilu. Ini sekaligus harus menjadi pelajaran buat Gus Wafi, panggilan akrab K.H. Ahmad Wafi Maemoen Zubair, putra K.H. Maemoen Zubair jika nanti ditakdirkan jadi ketua umum PPP menggantikan Romy.
Sebelum Romy, sejumlah ketua partai telah lebih dulu ditangkap KPK. Ada Surya Darma Ali, juga Ketua Umum PPP. Ada Lutfi Hasan Ishaq (presiden PKS), Anas Urbaningrum (Ketua Umum Demokrat), dan Setya Novanto (Ketua Golkar).
Persoalan Romy, juga ketua umum-ketua umum partai sebelumnya yang berurusan dengan KPK bukanlah semata-mata persoalan personal, tapi lebih pada sistem demokrasi yang melibatkan cost politik yang tidak mampu disiapkan oleh partai dengan cara normal dan wajar. Korupsi akhirnya jadi pintu (boleh jadi satu-satunya) yang terbuka sebagai solusi.
Lepas dari gaya kepemimpinan Romy yang “zig zag”, sering serang sana-sini, over komentar, dan suka ralat doa. Tapi, persoalan korupsi ketua partai itu lebih dari sekedar persoalan personal Romy cs, tapi ini masalah sistem.
Ketika di pilpres 2014 Jokowi janji tak akan bagi-bagi jabatan menteri untuk parpol pendukung, dan akan menyerahkannya kepada tenaga profesional, maka rakyat mulai punya harapan. Sayangnya, itu hanya janji. Janji tinggal janji. Ironisnya, PPP dan Golkar yang bukan partai pendukungpun ditarik dan diberi jatah menteri. Malah ketua Golkar merangkap jadi menteri. Padahal, Jokowi sebelumnya janji tak boleh menteri merangkap ketum partai. Soal janji inilah yang jadi beban terberat Jokowi nyapres di 2019.
Usul Rizal Ramli bahwa partai harus dibiayai (cukup) oleh negara sehingga dapat meminimalisir beban dan tindakan koruptif partai perlu dipertimbangkan. Setidaknya ini bisa menghambat siklus korupsi di lingkaran pejabat dan partai. Dan tak kalah pentingnya, janji Jokowi tidak bagi-bagi menteri di 2014 akan baik jika ditunaikan oleh presiden penggantinya. Kalau toh harus bagi-bagi jabatan, sebaiknya ada fit and proper test buat calon menteri, supaya lebih profesional dan tak jadi sapi perah buat partai yang merekomendasikan.
Jakarta, 16/3/2019