Demokrasi yang Tidak Demokratis. Oleh: Malika Dwi Ana, Pengamat Sosial Politik.
“Sesungguhnya Pembebas Rakyat itu tidak ada, Rakyatlah yang harus membebaskan dirinya sendiri”- Che Guevara
Senada dengan Che Guevara, sejak 4 (empat) abad yang lalu, John Locke di Inggris telah menggaungkan: RAKYAT memiliki hak untuk turun melawan pemimpin yang mengkhianati janjinya. Baik eksekutif maupun legislatif. Dan pendapat John Locke ini diadopsi oleh hukum internasional sebagai dasar untuk mengakui sahnya people power.
Flash back saja, jika ada yang bilang tahun 1998 M. dan sekarang itu adalah demonstrasi yang berbeda, maka sebenarnya karena sudut pandang saja yang berbeda. Esensinya tetaplah sama. Ada sebagian masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil, di-tidakjujuri, alias dicurangi, dilukai, dikecewakan, disakiti atau dijahati oleh rezim penguasa. Dan mereka melawan.
Di kubu capres-cawapres 01 pada pilpres 2019 M. sebagai status quo (petahana) menginginkan mempertahankan kekuasaan dengan bernarasi bahwa Demo tempohari tidak konstitusional bla bla bla. Di era Jaman Soeharto, demo-demo oleh mahasiswa di 1997-1998 M. juga dilabeli sama; “makar”, yang berujung kerusuhan.
Beberapa di antara anda yang dulunya aktifis ngotot dengan mengatakan rezim orde baru pantas ditumbangkan karena korupsi, fasis dan otoriter. Berdarah-darah memperjuangkan demokrasi, beberapa orang ada yang hilang diculik ‘hantu’ reformasi. Dan kalian mengutuk-ngutuk rezim ORBA hingga saat ini.
Menurut yang demo tempo hari (21 – 22/6), rezim sekarang ini juga penuh dengan korupsi, ketidakadilan, kecurangan, pemiskinan, dan pembodohan massal. Fasisnya juga sudah nyata, Hukumnya memihak penguasa. Terbukti Wiranto dan Tito Karnavian (Kapolri) tempo hari punya nyali untuk ‘menyikat’ para demonstran yang katanya disusupi perusuh itu. Ada 8 (delapan) orang yang meninggal. Ratusan orang yang luka-luka. Sebagiannya hilang entah kemana. Lalu anda tepuk tangan? Ya semata karena anda merasa diuntungkan, begitukah?
Jika Soeharto pada tahun 1998 M. masih punya hasrat untuk berkuasa dan memerintahkan tentara untuk ‘sikat’ habis demonstran itu, tetap akan ada sebagian masyarakat yang bertepuk tangan, masyarakat pro status quo tentunya. Persis kalian hari ini.
Akan halnya tuntutan pihak yang katanya kalah ke MK (Mahkamah Konstitusi) juga sama. Pantaskah anda nyumpah-nyumpahin orang yang sedang menuntut keadilan? Dan kematian warga negara di dalam demonstrasi (21-22/6) oleh aparat itu tidak bisa dianggap remeh. Sungguhpun anda tidak segolongan dengan yang meninggal. Juga kematian petugas KPPS pada pemilu/pilpres 2019 M. yang berapa ratus itu, tetap harus diinvestigasi dengan sungguh-sungguh. Negara tetap harus bertanggung jawab atas banyak kematian pada demontrasi itu.
‘Sampeyan’ tahu arti demokrasi? Democracy is regulated. Menegakan aturan main.
Dalam demokrasi ada adagium,
“it is not the function of the government to oversee the people but on the contrary is the duty of the people to control the government …” Fungsi pemerintah itu
BUKAN untuk mengawasi rakyat, tetapi sebaliknya, adalah TUGAS RAKYAT UNTUK MENGENDALIKAN PEMERINTAH… ”
Jika yang terjadi sebaliknya itu bukan mentalitas demokrasi. Tapi itu totaliter!
Ketika pemeritah tidak menghormati rakyatnya, dan rakyat sudah tidak lagi percaya pada pemerintahnya dan tidak lagi mendapatkan perlindungan dari pemerintahnya; mau jadi apa bangunan yang disebut negara itu? Masihkah ada negara?