Republik Indonesia Bab Dua Pasca Jokowi (11) Hukum Kita dan UUD 1945. Oleh: Sri Bintang Pamungkas, Aktivis.
Konon Indonesia adalah Negara Hukum. Di Dunia, Negara-negara menjadi besar dan maju, karena Hukumnya dipegang teguh. Sedang Republik Indonesia semakin terpuruk, karena para ahli hukumnya, terutama para hakimnya, suka bersilat lidah dengan hukum. Sengaja atau memang dungu. Hukum tidak digunakan untuk mencari kebenaran demi menegakkan keadilan, tetapi untuk menang-menangan!
Saya paling suka nonton film seri Law & Order dan yang semacam itu, sambil belajar memahami bagaimana hukum harus ditegakkan di sana. Konon film seri semacam itu tidak diputar lagi di saluran-saluran TV kita. Untuk menghindarkan masyarakat menjadi tahu betapa bobroknya penegakan hukum di Indonesia.
Saya sudah dua tahun dilepas dari hampir empat bulan tahanan, karena tidak terbukti berbuat makar seperti dituduhkan. Tetapi status Tersangka masih disimpan Penyidik Polri. Tersangka kasus lain lain “disita” Akun-akun Email dan Password-nya tanpa surat penyitaan yang benar menurut hukum. Sehingga aset-aset internet miliknya ikut terampas.
Di Negeri-negeri maju, hal-hal semacam itu tidak akan terjadi. Para Hakim kita pun tutup mata, menganggap itu hal kecil, lalu memutus seenaknya! Apalagi dalam Perkara ITE yang melibatkan Taipan, ada Doku besar di belakangnya! Sebuah kesempatan untuk memenangkan si Taipan dan menjadi kaya sejenak. Tentu dengan bersilat lidah demi milyaran! Begitulah hukum kita, seperti di negara fasis!
Itu masih pribadi-pribadi yang terlibat. Dalam Pemilu yang korbannya bisa jutaan orang, para Hakim pun tetap bersilat lidah, tentu demi menang-menangan. Tahun 1999, ketika tokoh Golkar Baramuli bagi-bagi duit di sebuah lapangan Kota di Buton, Sulawesi Tenggara,
Saksi yang dihadirkan cukup ditanya Hakim Agung, apa Saksi melihat uang yang dibagi-bagikan. Saksi menjawab tidak, karena duduknya agak jauh. “Jadi, Saksi tidak juga tahu, bahwa yang dibagikan adalah uang. Saksi tidak memegang uangnya. Saksi tidak menghitung berapa uang yang dibagikan?!” Tentu jawab semuanya “Tidak!”. Maka selesailah Sidang Mahkamah Agung dan Baramuli tidak tersentuh, Golkar pun menang di sana!
Hal yang mirip kemarin terjadi di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi. Secara implisit, setiap kejahatan pasti ada motovasinya. Motivasi ini sering tidak dibongkar, dan hanya mendalilkan pada bukti-bukti. Maka seorang pembunuh bisa bebas, atau menjadi ringan hukumannya, karena bukti pisau tidak diketemukan, sekalipun motivasi dan ancaman pembunuhan sudah jelas ada.
Kecurangan-kecurangan dalam Pemilu/Pilpres sudah jelas-jemelas, bahkan terstruktur dari hulu sampai hilir. Tetapi dengan tenang dan dengan berbagai silat-lidahnya, para Hakim Konstitusi bersepakat dalam sebuah kejahatan terhadap Rakyat, Bangsa dan Negara, mengatakan bahwa semua bentuk kecurangan itu tidak terbukti berpengaruh terhadap perolehan suara. Dan putusannya memang fatal: Jokowi menang, tanpa menyebutkan berapa perolehan suara sesungguhnya!
Bagi saya pribadi, delapan Hakim Konstitusi itu tidak saya kenal dengan baik. Tetapi Saldi Isra dari Universitas Andalas itu namanya pernah harum dan menjadi harapan banyak orang untuk bisa memperbaiki penegakan hukum di Indonesia. Tetapi rupanya dia terhanyut juga oleh jabatan, kedudukan dan derasnya pikiran hukum para Hakim Konstitusi lainnya, yang sudah dibeli Rezim Amandemen!
Kasihan Saldi, kasihan Indonesia. Para Ahli Ketatanegaraan yang kita kira hebat-hebat itu ternyata tega terhadap nasib dan masadepan NKRI. Dalam percaturan Dunia, Sama saja. Didik Rachbini, Drajad Wibowo dan lain-lain ternyata juga membiarkan saja Ekonomi Indonesia terpuruk. Ilmunya hanya hiasan saja dalam forum Wakil Rakyat, padahal Gombal!
Banyak ahli yang tidak sadar, atau memang goblog, bahwa dua Calon dalam semacam Pilpres 2019 itu adalah sistim terlemah bagi kecurangan. Macam dua tumpukan buku, tinggal menggeser buku-buku dari salahsatu tumpukan ke tumpukan lain, maka tumpukan yang satu akan menjadi lebih tinggi daripada yang lain. Itulah Sistim Koalisi Kepartaian yang menjadi panutan dalam UUD Amandemen. UUD 1945 Asli tidak begitu, kecuali yang diselewengkan Soeharto dengan Calon Tunggal.
Karena itu dibutuhkan Calon Banyak. Dengan Calon Banyak akan sulit bermain curang. Manusia-manusia Berkualitas bisa terjaring, bukan tokoh-tokoh Gombal seperti selama ini, tetutama sejak Amandemen. UUD 45 Asli memenuhi syarat Calon Banyak, bahkan tanpa harus ada Partai Politik. Mahkamah Konstitusi pun tidak perlu khawatir hilang, karena UUD 1945 bisa mengakomodir Majelis Pertimbangan Konstitusi di Mahkamah Agung seperti UUD49 dan UUD50.
Calon ke Tiga, Empat, Lima dan seterusnya itu tentu tidak sama dengan Poros III-nya Wei Jian. Yang disebutkan Wei Jian itu Poros PKI yang OTB dan Hantu. Entah bagaimana Pikiran Aktivis Cina teman Lieus Sungkarisma ini beracara. Entah pula yang dimaksud dengan Poros III yang mirip PKI itu. Tapi itu jelas perasaan kebencian kepada Warga Negara Indonesia yang berdasarkan Konstitusi berhak berkumpul, berserikat dan berpendapat dengan mendirikan Poros ke berapa pun!
Wei Jian ini adalah dari kelompok berbahaya yang menentang Dasar Demokrasi (baca: Daulat Rakyat) dalam setiap Konstitusi di Dunia mana pun. Dengan pikiran-pikiran kotornya itu, dia juga mencatut nama Prabowo, seakan-akan adakah Aktivis Pendukungnya. Pendukung Amandemen!