Bendera Merah Putih Harus Berkibar Lebih Tinggi Dibanding Bendera One Piece. Tajuk Rencana hariannkri.id, Amrozi, Pemimpin Redaksi.
Jelang peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia, publik dikejutkan oleh memanasnya perdebatan soal pengibaran bendera One Piece. Simbol bajak laut berlatar hitam dengan tengkorak dan tulang menyilang itu, yang sebenarnya lahir dari dunia fiksi Jepang, tiba-tiba menjadi isu politik dan keamanan nasional.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyebut, berdasarkan informasi aparat keamanan dan intelijen, bendera itu berpotensi menjadi alat memecah belah bangsa. Mensesneg Prasetyo Hadi memberi nada lebih lunak, menganggapnya sebagai ekspresi kreativitas. Namun ia menekankan, tetap membuka ruang bagi penindakan hukum jika dianggap menggeser makna kemerdekaan. Tak berhenti di level wacana, sejumlah aparat di daerah turun tangan. Mural One Piece di Sragen dihapus, disaksikan aparat desa, Polri, dan TNI.
Simbol bajak laut memang lekat dengan kesan “rebel”. Namun, sebagaimana dijelaskan Guru Besar Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Iswandi Syahputra, “rebel” di ranah budaya populer bukanlah pemberontakan fisik, melainkan ekspresi perlawanan terhadap makna lama yang mapan. Ia lahir sebagai bagian dari pergeseran simbol-simbol dalam budaya kontemporer, bukan agenda politik terselubung.
Menurut praktisi hukum & HAM, Dr. Nicholay Aprilindo, pengibaran bendera One Piece tidak secara langsung terkait dengan kritik terhadap pemerintah. One Piece adalah serial manga dan anime populer yang diciptakan oleh Eiichiro Oda, dan bendera One Piece sering digunakan sebagai simbol penggemar atau ekspresi kreativitas.
Konteks spesifik tentang pengibaran bendera One Piece yang terkait dengan kritik terhadap pemerintah, saya memahami lebih baik, namun, secara umum, pengibaran bendera One Piece lebih pada menunjukkan suatu kebanggaan akan patriotisme dan kesetia kawanan.
Memang, ada oknum pemerintah tertentu menganggap bendera One Piece sebagai kritik terhadap pemerintah. Mungkin mereka menganggap bendera One Piece sebagai simbol perlawanan atau kebebasan, yang dianggap mengancam kekuasaan mereka. Bisa jadi mereka salah memahami makna bendera One Piece dan mengaitkannya dengan kritik politik. Atau mungkin mereka terlalu sensitif terhadap simbol-simbol yang dianggap dapat mengancam kekuasaan mereka.
One Piece adalah serial fiksi yang tidak secara langsung terkait dengan politik. Maka jika ada oknum pemerintah yang alergi terhadap bendera One Piece, mungkin perlu dilakukan klarifikasi dan komunikasi. Tujuannya untuk memahami alasan di balik reaksi mereka.
Pengibaran bendera One Piece oleh masyarakat Indonesia “mungkin” juga sebagai bentuk protes atau kemarahan terhadap keputusan Presiden terkait abolisi dan amnesti untuk beberapa koruptor, termasuk Thomas Lembong dan Hasto Kristiyanto. Keputusan ini menuai kontroversi dan kecaman dari publik karena dianggap tidak adil dan tidak transparan. Karena masyarakat tidak tahu secara transparan apa maksud dan tujuan dari “Political will” Pemerintah menempuh kebijakan tersebut.
Kemungkinan, alasan masyarakat mengibarkan bendera One Piece sebagai bentuk protes. Lambang tengkorak dan tulang bersilang tersebut mungkin dianggap sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan yang dianggap tidak adil. Pengibaran bendera One Piece dapat menjadi cara bagi masyarakat untuk mengekspresikan kemarahan dan kekecewaan mereka terhadap keputusan Presiden. Mungkin masyarakat menuntut transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengadilan dan pemberian amnesti bagi koruptor.
Namun, Praktisi Hukum & HAM ini juga mengingatkan, pengibaran bendera One Piece juga dapat memiliki makna lain tergantung pada konteks dan tujuan penggunaannya.
Terlepas dari semua pendapat, ironisnya, di tengah dominasi bendera merah putih yang berkibar di jalan-jalan, bendera One Piece justru lebih banyak beredar di media sosial. Ia menjadi “isu” bukan karena masifnya kehadiran di ruang publik fisik, melainkan karena amplifikasi di ruang maya. Di sinilah kita patut bertanya: apakah negara sedang menghadapi ancaman nyata, atau sekadar menciptakan musuh imajiner?
Pertanyaan itu relevan karena Indonesia saat ini tengah berada di persimpangan yang rumit. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengakui, kondisi global tidak stabil akibat perang di Timur Tengah, perang dagang, dan ancaman kejahatan transnasional. Data ekonomi pun tidak memberi kabar baik: pertumbuhan kuartal II-2025 hanya diproyeksikan 4,8% (yoy), konsumsi dan investasi lesu, PMI manufaktur tetap di bawah 50, dan sektor makanan-minuman yang biasanya tahan banting pun tertekan.
Pemerintah memang mencoba menggerakkan ekonomi lewat bansos, program makan bergizi gratis, gaji ke-13 ASN, dan pelepasan blokir anggaran. Namun, langkah ini bersifat temporer, tambal sulam, dan belum menyentuh akar persoalan. Isu pangan pun belum terselesaikan: harga beras terus berada di atas harga patokan pemerintah. Sementara reformasi klasifikasi beras baru tahap wacana.
Dalam konteks ini, publik tidak bisa disalahkan jika menduga isu bendera bajak laut dijadikan “pengalih perhatian” dari problem nyata yang tak kunjung ditangani tuntas. Mengapa energi politik dan keamanan dicurahkan pada simbol fiksi, sementara masalah-masalah yang menggerogoti daya beli, produktivitas, dan industrialisasi kita justru belum mendapatkan solusi struktural?
Bangsa ini pernah melewati tantangan yang jauh lebih serius (dari agresi militer hingga krisis moneter) tanpa harus membesar-besarkan simbol fiksi sebagai ancaman. Peringatan kemerdekaan seharusnya menjadi momentum memperkuat kesadaran kolektif tentang apa arti kemerdekaan dalam konteks hari ini: kemandirian pangan, kedaulatan ekonomi, perlindungan warga dari gejolak global, dan keberanian menghadapi masalah dengan kepala tegak.
Bendera merah putih adalah simbol persatuan, perjuangan, dan harapan. Ia tidak seharusnya dipertaruhkan untuk bersaing dengan bendera bajak laut yang hanya hidup di layar kaca dan media sosial. Jika pemerintah sungguh ingin mengamankan perayaan HUT RI, amankanlah bukan hanya ruang publik dari simbol-simbol imajiner. Amankan juga ruang hidup rakyat dari ancaman nyata yang menggerogoti kesejahteraan mereka.
Karena kemerdekaan yang sejati tidak diukur dari seberapa cepat kita menurunkan bendera bajak laut, tetapi dari seberapa kuat kita memastikan bendera merah putih terus berkibar di hati rakyat, dengan perut kenyang, pekerjaan layak, dan masa depan yang terjamin.