Cek Hujannya, Ukur Dampaknya, Kenali Pemimpinnya. Opini Tony Rosyid

Selamat Jalan Mujahidku. Opini Tony Rosyid

Cek Hujannya, Ukur Dampaknya, Kenali Pemimpinnya. Oleh: Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Indonesia langganan banjir. Bukan hanya Jakarta, tapi Indonesia. Silahkan anda cek di google. Satu persatu wilayah provinsi di Indonesia. Tahun demi tahun. Anda akan melihat data hujan dan banjir. Akurat dan terukur. Jejak digital menyajikan semua data itu.

Awal tahun 2020, curah hujan sangat ekstrem. Wilayah terdampak pun lebih luas. Seluruh provinsi di Jawa mengalami banjir. Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten dan Jakarta. Banjir juga terjadi di provinsi Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan.

Hanya saja, yang banyak diberitakan oleh media dan ramai di medsos adalah Jakarta dengan semua dinamika politik dan dramaturginya. Kenapa Jakarta? Selain faktor ibu kota dimana media begitu dekat, juga faktor gubernurnya, yaitu Anies Baswedan. Anies selalu jadi berita seksi.

Saat Jakarta dipimpin oleh Jokowi dan Ahok, Jakarta juga banjir. Tapi, tak seramai seperti ketika dipimpin Anies. Apakah dampak banjir era Jokowi dan Ahok lebih kecil? Yuk kita cek.

Data dari BMKG, Bappenas dan BPBD bahwa tahun 2013 (era Jokowi) curah hujan 100 mm/hari. Luas area tergenang 240 km2 di 599 RW. Jumlah pengungsi 90.913 di 1.250 tempat pengungsian. Banjir baru surut setelah tujuh hari.

Tahun 2015 (era Ahok) curah hujan 277 mm/hari. Luas area tergenang 281 km2 di 702 RW. Jumlah pengungsi 45.813 di 409 tempat pengungsian. Banjir surut setelah tujuh hari.

Tahun 2020 (era Anies), curah hujan 377 mm/hari. Luas area tergenang 156 km2 di 390 RW. Jumlah pengungsi 31.232 di 269 tempat pengungsian. Banjir surut setelah empat hari.

Dari data di atas, curah hujan era Anies jauh lebih basar, hampir 4 kali lipat dibanding era Jokowi dan naik sekitar 40 persen dibanding era Ahok. Tapi wilayah banjir lebih sempit dan jumlah pengungsinya jauh lebih kecil. Lama banjir lebih pendek yaitu empat hari. Sementara era Jokowi dan Ahok banjir baru surut setelah tujuh hari. Sampai disini jelas perbandingannya. Angkanya bisa dibaca.

Dari data inilah kerja Anies diapresiasi dan mendapat pujian diantaranya dari pakar hedrodinamika ITB Bandung, Muslim Muin. Anies dianggap berhasil mengendalikan dampak banjir. Curah hujan jauh lebih besar, tapi dampak bisa diminimalisir.

Kendati begitu, ada pihak-pihak yang justru menjadikan banjir ini sebagai peluang untuk menyalahkan, bahkan cenderung membabibuta menyerang Anies. Sayangnya, isunya terkesan dipaksakan. Mereka cenderung abai pada data akurat yang tersedia. Ada kesan lebih suka dan sengaja bermain hoaks. Lebih mementingkan kemasan dan aspek manuver dari pada data. Ini mudah dibaca polanya, karena selalu berulang.

Polanya selalu sama: buzzer massif bergerak, meme dan video serentak penyebarannya, lalu petisi muncul, kemudian ada ajakan demo. Sistematis, dan tak mungkin tanpa pengendali. Dari waktu ke waktu polanya selalu begitu. Sama dan mudah dibaca.

Siapa mereka? Yang pasti mereka bukan dari BMKG, bukan dari Bappenas, dan bukan pula dari BPBD. Mereka juga bukan ahli metereologi dan hedrodinamika.

Lalu siapa mereka sesungguhnya? Publik menduga mereka adalah Pertama, orang-orang yang belum “move on” sejak kekalahan Ahok di pilgub DKI 2017. Kedua, buzzer bayaran yang disewa oleh ‘konglomerat hitam” yang terganggu bisnisnya oleh kebijakan Anies. Konglomerat yang kena dampak penyegelan reklamasi, penutupan Alexis, keluarnya pergub 132/2018 (133/2019 hasil revisi) tentang penertiban apartemen, dan pergub 42/2019 tentang bebas pajak rumah pahlawan dan guru sehingga tak bisa dibeli murah propertinya. Ketiga, pihak yang tak ingin Anies jadi presiden 2024.

Sebenarnya, kegaduhan soal banjir tidak akan terjadi apabila tidak ada “tiga kelompok itu” . Apalagi para korban sedang berduka. “Jangan saling menyalahkan,” pesan Pak Jokowi. Dan Anies sudah benar ketika mengatakan: “kami tanggung jawab, tidak salahkan siapapun”.

Ketika ‘kebencian”, “kepentingan bisnis” dan “project politik” bertemu, di situlah kegaduhan akan terus terjadi. Ini bisa jadi teori baru. Jika Anies terus mampu menghadapi kolaborasi “tiga kelompok” tersebut hingga 2024, peluang Anies menjadi presiden akan sangat besar.

Soal banjir, masyarakat paham dan mengerti betul data di atas. Tak mudah terprovokasi dengan hoaks dan fitnah yang dikemas dalam bahasa buzzer, petisi dan demo. “Becik ketitik, olo ketoro”, begitu kata orang Jawa. Gubernur baik atau buruk, akan ketahuan. Rakyat tidak buta untuk melihat dan mengenalinya.

Loading...