Amien Rais di Negeri Ken Arok. Opini Dimas Huda

Amien Rais di Negeri Ken Arok. Opini Dimas Huda
Ilustrasi

Amien Rais di Negeri Ken Arok. Oleh: Dimas Huda, Pemerhati Sosial Politik.

Mendung di Kendari, menyelimuti matahari. Tokoh Partai Amanat Nasional (PAN), Amien Rais, pun kehilangan taji. Pada Selasa, 11 Februari 2020, kader Matahari saling serang. Mereka baku hantam dan saling melempar kursi. Amien lari tunggang langgang, menyelamatkan diri. Hasrat Amien mengganti Zulkifli Hasan atau Zulhas dengan Mulfachri Harahap kandas. Zulhas kembali terpilih.

Begitulah ending Kongres PAN V di Kendari, Sulawesi Tenggara. Amien telah tanggal gigi. Dedengkot PAN ini kehilangan kendali di partai yg ia dirikan. Sang besan menggantikannya.

Jabatan Amien terakhir di PAN adalah Ketua Dewan Kehormatan. Bukan Jabatan eksekutif. Namun, selama 21 tahun ini, ia amatlah dominan di PAN. Ibarat kata, PAN adalah Amien dan Amien adalah PAN. Calon presiden maupun presiden terpilih jika ingin berurusan dengan PAN mesti berurusan dengan Amien Rais dulu.

Amien imam tinggi di PAN. Iya, kata dia, maka iya pula kata kader. Tidak, kata Amien, maka tidak pula kata kader. Titah Amien adalah idu geni. Seluruh kader PAN patuh. Kader hanya sami’na wa atho’na, mendengar lalu mentaati.

Tiap Kongres PAN, Amien selalu memilih jagoannya. Partai ini sudah lima kali menggelar kongres. Kongres II, Amien menunjuk Soetrisno Bachir (SB) sebagai penggantinya. Padahal saat itu SB bukan kader PAN. Begitu juga ketika berlangsung Kongres III, Amien menginginkan Hatta Radjasa menggantikan SB. Maka jadilah Hatta sebagai Ketum.

Peristiwa serupa kembali terjadi pada Kongres IV, Hatta yang ingin kembali memimpin PAN dihadang Amien. Zulhas terpilih sebagai ketum.

Amien menghendaki tradisi ketum hanya menjabat satu periode. Sikap itu juga dia berlakukan kepada dirinya sendiri. Ia hanya satu periode menjabat sebagai ketum.

Kongres V, menjadi berbeda. Amien kalah. Rupanya ada pergeseran di Partai Matahari yang tidak terbaca oleh Amien.

Zulhas mendapat restu dan dukungan dari istana. Sinyal itu secara gamblang disampaikan oleh Zulhas ketika dia menyampaikan ucapan terima kasih kepada Jokowi, tak lama setelah penghitungan suara. Jurubicara Presiden Joko Widodo pada Kabinet Indonesia Maju, Fadjroel Rachman, di akun media sosialnya juga secara agresif memasang status insiden lempar-lempar kursi pada kongres PAN. Itu tak biasa. Biasanya, ia rajin memosting kegiatan presiden dan hasil-hasil pembangunan.

Dukungan dari Jokowi ini tidak terlalu mengejutkan. Sejak sebelum penetapan capres-cawapres pada Pilpres 2019, Zulhas cenderung lebih mendukung Jokowi. Namun sikap Amien yang tegas dan keras, membuatnya tidak berkutik. Tidak ada pilihan lain dia ikut mendukung pasangan Prabowo-Sandi.
Tak disangka, ini adalah kekalahan Amien selanjutnya.

Negeri Ken Arok

Dulu, Soeharto kehilangan kontrol atas Golkar. KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur juga kehilangan kontrol atas Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB. Lalu, Wiranto kehilangan Hanura. Kini, giliran Amien Rais.

Pada suatu hari nanti, boleh jadi, Megawati Soekarnoputri juga akan menjadi masa lalu di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP, Prabowo Subianto di Gerindra dan Susilo Bambang Yudhoyono di Partai Demokrat. Semua hanya soal waktu saja.

Mega punya Puan Maharani, SBY punya Agus Harimurti dan Edhie Baskoro. Prabowo menanam saudara-saudaranya di Gerindra. Semua itu tak menjamin mereka tetap perkasa. Amien juga sudah menyiapkan putranya, Hanafi Rais di PAN, toh jatuh juga.

Suksesi di negeri ini juga begitu. Sukarno yang pada eranya dielu-elukan, dijadikan presiden seumur hidup segala, akhirnya jatuh digantikan Soeharto. Bapak Pembangunan ini akhirnya juga tumbang dan digantikan anak didiknya, BJ Habibie. Selanjutnya, Habibie mundur dan digantikan Gus Dur. Hanya sebentar. Kiai ini digeser Megawati. Pemilihan presiden langsung terjadi. Mega dipecundangi anak buahnya sendiri. SBY menang.

Kini, Presiden Jokowi nyaris saban hari mendapat caci maki selain puja puji dari pendukungnya. Jokowi sedang berkuasa dan tentu saja pasti akan berakhir. Entah dengan ending yang baik atau husnul khatimah, apa buruk atau su’ul khotima.

Negeri ini adalah negeri Ken Arok. Penjudi dan perampok yang melahirkan raja-raja di Jawa. Raden Wijaya, pendiri Majapahit tahun 1305, dalam Prasasti Balawi menyebut dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa. Sang Raja memang keturunan Ken Arok.

Dalam kitab Pararaton, tokoh Ken Arok dikisahkan sebagai pemuda yang nakal dan gemar berkelahi. Di sisi lain, Ken Arok juga diberitakan sebagai putra Brahma, titisan Wisnu, serta penjelmaan Siwa, sehingga seolah-olah kekuatan Trimurti berkumpul dalam dirinya. Ken Arok membangun dinasti baru yang menggantikan dominasi keturunan Airlangga dalam memerintah pulau Jawa.

Kisah Ken Arok adalah kisah klik politik perebutan kekuasaan antarsaudara. Kisah ini dipenuhi darah, nafsu, ambisi, pertarungan yang keras dan brutal. Dan, kisah itu berlanjut hingga kini.

Cakra manggilingan memang terus bekerja. Berputar dan menggerus. Kehidupan ibarat roda yang berputar. Perubahan-perubahan yang terjadi sudah menjadi kodrat manusia, baik dari hari ke hari, bulan ke bulan maupun tahun ke tahun.

Itu sebabnya, pemimpin mesti memiliki pemahaman spiritual akan cakra manggilingan ini. Sebab, dengan itu mereka bisa selalu siap dengan keadaan yang akan dihadapi, baik atau buruknya. Dengan memahami esensi cakra manggilingan, seseorang bisa mempersiapkan diri untuk tidak larut dalam kekuasaan.

Loading...