HARIANNKRI.COM – Marga Kalami suku Moi menuntut Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengangkat kembali Hermanto Suaib menjadi rektor UM Sorong Papua Barat. Jika tuntutan ini tidak dipenuhi, mereka meminta ganti rugi 150 miliar atas tanah adat yang dipakai sebagai lokasi kampus universitas tersebut.
Ketua Perhimpunan Marga Kalami Klaglas Klakalus, Herkanus Kalami mengakui sumpah adat yang disebut berujung meninggalnya Kalvin Kwatolo beberapa waktu lalu berawal dari keinginan suku Moi untuk tetap menjadikan Hermanto Suaib sebagai rektor UM Sorong periode 2020-2024. Ia menjelaskan, semua konflik yang terjadi berawal dari dikeluarkannya surat pengangkatan Muhammad Ali sebagai rektor UM Sorong periode 2020-2024 oleh PP Muhammadiyah.
Munculnya surat pentapan ini mendapat penolakan dari sebagian mahasiswa dan masyarakat suku Moi. Karena hak ulayat tanah adat tempat berdirinya kampus UM Sorong adalah milik suku Moi. Mereka pun melakukan aksi pemalangan adat di gerbang kampus tersebut, Jumat (17/4/2020) sekitar pukul 05.00 WIT.
“Pemalangan di UM Sorong ada kaitannya dengan pemilihan rektor. Karena yang bertanggungjawab dalam hal ini kami. Dari masyarakat adat, khususnya marga Kalami, menuntut pak Hermanto kembali jadi rektor. Karena yang bertanggung jawab selama 30 tahun atas kampus UM Sorong itu adalah pak Hermanto. Justru itu kami dari masyarakat adat minta pak Hermanto kembali satu periode lagi,” kata Herkanus Kalami saat dikonfirmasi melalui sambungan selular, Sabtu (30/5/2020).
Pemalangan adat tersebut dibuka pada Jumat 15 Mei 2020 oleh dua marga dari suku Moi yang mengaku punya hak atas hak ulayat tanah tersebut. Dibukanya palang adat disaksikan pula oleh Muhammad Ali bersama Kapolres dan Walikota Sorong yang diwakili staf ahli. Pada saat itu ada biaya buka palang sebesar 300 juta.
Menurut Herkanus, dalam pernyataan Muhammad Ali pada Rabu 20 April 2020, Rektor UM Sorong yang dilantik pada Sabtu 18 April 2020 ini menyebut bahwa buka palang dilakukan dengan restu 2 marga dari suku Moi. Jumlah uang tersebut pun diakui telah dikeluarkan. Pernyataan ada dua marga yang mengaku punya tanah adat dalam kampus UM Sorong inilah yang menurut pengakuan Herkanus, membuat marga Kalami tidak terima.
“Muhammad Ali harus bertanggung jawab atas kata-katanya yang diedarkan lewat surat dan WA. Kalau memang marga Ulin dan Kwatolo, ya kita buktikan dengan sumpah adat di dalam kampus UM Sorong. Makanya pada hari Jumat tanggal 22 Mei 2020, kami lakukan sumpah adat jam 10 tepat (WIT-red). Dan 2 marga itu tidak hadir. Dan termasuk pak Ali juga tidak hadir di kampus untuk melakukan sumpah adat,” ujar Herkanus Kalami.
Pada hari Senin 25 Maei 2020, salah satu marga Kwatolo, Kalvin Kwatolo, meninggal dunia. Peristiwa ini diklaim marga Kalami sebagai bukti sumpah adat tentang kepemilikan hak ulayat tanah adat.
“Karena ada korban, maka secara adat marga Moi berhak atas tanah tersebut. Perjanjian dalam bentuk apapun tidak diakui oleh masyarakat Moi,” imbuhnya.
Herkanus menambahkan, karena status kepemilikan tanah adat tersebut sudah jelas, maka pihaknya pun meminta agar PP Muhammadiyah membatalkan SK pengangkatan Muhammad Ali.
“Itu tuntutan dari kami masyarakat adat. Siapapun tidak bisa intervensi masyarakat adat, khususnya kami dari suku Moi di kota dan kabupaten Sorong. Jadi itu tuntutan dari kami. Dan kami minta lebih tegas. SK pengangkatan Muhammad Ali jadi rektor dibatalkan dan Hermanto Suaib mendapatkan SK baru pengangkatan rektor,” ujarnya.
Marga Kalami meminta agar PP Muhammadiyah datang langsung ke Sorong Papua Barat untuk melihat sendiri permasalahan yang sedang terjadi di UM Sorong. Herkanus Kalami pun menegaskan tuntutan marga Kalami. Ia juga menyebut ada ganti rugi yang harus dibayar oleh PP Muhammadiyah jika tidak memenuhi tuntutan tersebut.
“Yang kami minta pak Hermanto Suaib harus kembali menjadi rektor satu periode. Dari kami menekankan untuk meminta itu. Kalau memang pak Hermanto tidak bisa naik jadi rektor untuk satu periode, maka kami minta PP Muhammadiyah harus menyelesaikan ganti rugi tanah adat sebesar 150 miliar,” tegas Herkanus.
Kedepannya, Herkanus mengaku marga Kalami akan melakukan pendataan atas aset yang mereka miliki. Hal ini tak lepas dari besarnya hak ulayat tanah adat yang dimiliki suku Moi, sekitar 1.067 hektar. Yang termasuk didalamnya tanah tempat berdirinya UM Sorong, seluas 1.700 meter. Marga Kalami juga sudah menunjuk penasehat hukum untuk menyelesaikan sejumlah masalah terkait penyelesaian masalah hak tanah adat mereka.
“Setelah sumpah adat, saya akan melakukan pendataan ulang terhadap setip bangunan yang ada di atas tanah adat seluas 1.067 Hektar. Untuk kampus UMS, yang hingga saat ini belum membayar ganti rugi tanah adat, saya akan meminta penasehat Hukum keluarga, saudara Nando Genuni SH, untuk segera melakukan somasi, dan terhitung satu minggu setelah somasi, apabila UMS tidak membayar ganti rugi adat, maka saya bersama tua-tua adat, akan melakukan pemalangan kembali,” tutup Herkanus Kalami. (OSY)