HARIANNKRI.ID – Meski kejadian kekerasan terhadap wartawan di Surabaya terjadi pada 12 Oktober 2012, namun hingga kini terdakwa belum menjalani hukuman karena putusan pidana masih belum berkekuatan hukum tetap (inkracht). Terdakwa yang dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya menggunakan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No 40 Tahun 1999 (UU Pers) “hanya dihadiahi” Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dengan kurungan 7 bulan penjara.
Slamet Maulana membenarkan kasus kekerasan terhadap wartawan yang terjadi 9 tahun lalu adalah kejadian yang menimpa dirinya. Ia menuturkan, kejadian tersebut menimpanya saat pria yang akrab dipanggil Ade sedang meliput peristiwa tabrak lari.
“Pelaku tabrak lari tersebut seorang wanita. Ia meminta paksa kamera pocket saya. Petugas kepolisian yang datang membantu meminta kamera saya, tapi waktu dikembalikan, memorinya sudah tidak ada. Jadi semua hasil foto saya hilang,” kata Ade saat dihubungi hariannkri.id melalui sambungan selular, Senin (9/8/2021).
Ade melanjutkan, ia pun segera melaporkan kejadian tersebut ke kantor polisi. Wanita yang kemudian diketahui bernama Irene Madalena pun harus berurusan dengan hukum dengan dugaan menghalangi pekerjaan jurnalistik sesuai Pasal 18 ayat (1) UU Pers No 40 Tahun 1999.
Pada tanggal 6 April 2017, Majelis Hakim memutuskan Irene bersalah dan menjatuhkan hukuman pidana penjara 7 bulan. Irene pun pada tanggal 13 April 2017 menyatakan banding.
Berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya tanggal 16 November 2017, PT Surabaya menguatkan putusan PN Surabaya dengan membebankan biaya banding sebesar 5 ribu rupiah.
Kepada hariannkri.id, Ketua Komunitas Jurnalis Jawa Timur (KJJT) ini mengaku tidak mengetahui apakah putusan tersebut sudah inkracht atau belum. Ade mengaku dirinya hanya tahu bahwa saat ini terdakwa sedang melakukan proses banding.
“Banding. Hasilnya gimana, saya belum dapat informasi dari Kejari Surabaya atau Kejati Surabaya. Saya pun tidak diberi tahu atau dihubungi,” ujarnya.
Terkait peristiwa kekerasan terhadap wartawan yang menimpa dirinya, Ade mengaku kecewa dengan lambannya proses hukum yang berjalan. Ia mempertanyakan, mengapa hingga sekarang Irene belum juga menjalani hukuman penjara.
“Saya rasa harapan saya sama seperti harapan para wartawan yang lain. Konsekuensi wartawan sebagai sebuah profesi sangat besar resikonya. Represi terhadap wartawan sangat rentan, bahkan ada yang sampai meninggal. Apa yang saya lakukan adalah membuktikan bagaimana praktek UU Pers dalam melindungi wartawan. Pada kasus saya, terdakwa divonis bersalah dengan penjara hanya 7 bulan. Itu pun sudah 9 tahun belum juga menjalani hukuman,” tegas Ade.
Ketua KJJT ini menegaskan, sangat penting untuk melihat bagaimana UUD Pers ini ditegak kan oleh penegak hukum. Apa yang ia perjuangkan selama 9 tahun ini demi kebaikan rekan-rekan profesi dan generasi muda yang ingin menggeluti dunia jurnalistik.

Ia mengingatkan, Pasal 18 ayat (1) UU Pers menyatakan, “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
“Pada kasus saya, terdakwa hanya divonis 7 bulan dengan biaya perkara 2 ribu. Apa ini memberikan efek jera? Padahal, jika terdakwa dikenakan denda maksimal, kan uangnya masuk kas negara,” tuturnya.
Ade juga mengaku sempat didatangi pihak terdakwa untuk menyelesaikan secara “kekeluargaan”. Namun ia tegas menyatakan menolak, karena tujuan utamanya melaporkan kejadian tersebut adalah untuk mengangkat marwah wartawan.
“Dua kali dinego dengan nominal uang 20 juta hingga datang ke rumah saya. Saya tolak. Dimana marwah wartawan kalau semua dihargai dengan uang? Saya yakin, ini tidak hanya terjadi di diri saya pribadi. Di daerah lain saya yakin sama,” kata Ade.
Tanggapan Pihak Kejaksaan Terkait Kelanjutan Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan
Media online hariannkri.id menghubungi pihak Kejari Surabaya. Ferry Rachman yang pada kasus kekerasan terhadap wartawan tersebut bertindak sebagai JPU, saat diminta kesediaan wawancara melalui sambungan selular mengaku harus meminta ijin pimpinan terlebih dahulu.
“Kami konfirmasikan ke pimpinan apakah boleh menjawab lewat WA. Kalau boleh langsung saya telpon,” katanya, Senin (9/8/2021) pukul 06:50 WIB.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada konfirmasi permintaan wawancara melalui sambungan selular.
Sementara itu, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Jatim, Fathur Rohman mengaku harus melihat lebih dahulu asal pelimpahan perkara.
“Saay ini gak mungkin hafal satu persatu perkara, apalagi ini menurut njenengan putusan Pengadilan Tinggi yang wilayah hukumnya se-Jatim. Saya harus tanya dulu ke Kejari yang melimpahkan perkara tersebut sebelum saya bisa jawab pertanyaan njenengan. Ini yang limpah JPU dari Kejari mana,” tanya Fathur Rohman, Senin (9/8/2021).
Saat hariannkri.id menyampaikan bahwa JPU dimaksud dari Kejari Surabaya, Fathur meminta untuk mengkonfirmasi langsung ke Kejari Surabaya.
“Mengingat JPU dari Kejari Surabaya, monggo konfirmasi ke Kejari Surabaya. Saya posisi di Kejati Jatim. Terimakasih,” jawabnya.
Media online hariannkri.id juga mengajukan beberapa pertanyaan. Diantaranya, berdasarkan prosedural, berapa lama terdakwa diberi waktu untuk memutuskan melakukan kasasi atau menerima putusan PT Surabaya? Mengingat putusan PT Surabaya terjadi hampir 4 tahun yang lalu? Apakah pihak PT Surabaya tidak berkewajiban untuk mempertanyakan hal tersebut kepada terdakwa? Ataukah memang perkara tersebut dipetieskan?
“Kalau terkait dengan pertanyaan pertama, apakah PT surabaya tidak berkewajiban … dan seterusnya, monggo tanyakan ke PT Surabaya,” ujar Fathur Rohman. (OSY)