Partai Politik dan Media Sebagai Avant-Garde Politik Edukatif. Ditulis oleh: Prof. Rachmat Kriyantono, PhD,. Guru Besar Ilmu Hubungan Masyarakat Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya
“Penipu pertama kalinya ternyata menipu dengan menyebut Asma Alloh. Iblis menipu Nabi Adam AS dengan bersumpah demi Allah” (Gus Baha).
Politisasi Agama
Dalam berpolitik atau aktivitas hidup yang lain, tidaklah mengagetkan ada orang menipu dengan memakai simbol-simbol agama. Bukan agama yang menipu, tapi, orang menipu memakai simbol agama.
Karena agama itu keyakinan kepada Tuhan dan tentang pahala-dosa, sehingga bersifat dogma yang mudah mempengaruhi orang (taken for granted). Kenyataan pada pemilu-pemilu sebelumnya, simbol-simbol agama laris manis dipakai.
Pada periode itu, banyak bermunculan orang dengan gelar habib, orang mengaku ustadz, ulama, dan Gus. Seorang penjual obat yang tidak punya nasab kyai atau tidak pernah mengaji di pondok pesantren pun bergelar Gus dalam pengertian anaknya kyai.
Simbol agama banyak didegradasi ke posisi rendah dan didegradasi menjadi simbol keburukan. Teriakan “Allohu Akbar”, contohnya, digunakan untuk menyertai kata-kata caci maki, fitnah, menghina, memukuli orang, melempar batu kepada polisi hingga merusak pagar DPR.
Simbol-simbol agama yang terepresentasi pada diri ustadz, ulama dan habib menjadi pembenar orang-orang itu untuk berkata-kata provokatif dan buruk, seolah kata-kata itu lazim diucapkan. Benar kata Ibnu Rusyd bahwa “keburukan jika dibungkus agama bisa menjadi kebaikan”. (Tentu, kebaikan menurut orang dan pendukung keburukan tersebut).
Seperti perilaku membunuh yang dianggap kebaikan oleh teroris karena kata “membunuh” ini dibungkus dengan konsep agama “berjihad” yang disalahgunakan. Kekuatan agama yang diselewengkan ini telah mampu menggerakkan emosi buta pengikut demonstrasi berjilid-jilid yang berpusat di Monas.
Kata “Ijma ulama” yang sakral digunakan oleh ulama-ulama besar Nusantara untuk konsensus berdirinya NKRI berdasarkan Pancasila, UUD 45, dan kebhinekaan, telah didegradasi menjadi simbolisasi strategi komunikasi politik praktis oleh orang-orang yang mengaku atau diaku sebagai ulama.
Kata haram, sesat, munafik, atau jihad digunakan untuk mengebiri hak orang lain yang berbeda pilihan politik.
Jangan Berulang
Strategi komunikasi politisasi agama tersebut jangan berulang di pilpres, pilkada serentak, dan pileg 2024.
Strategi politik yang mewabah pada awal reformasi lalu, saat Koalisi Poros Tengah dengan strategi “haram pemimpin perempuan” di Sidang Umum MPR tahun 1999, jangan lagi diwariskan ke generasi penerus. Sejarah pun mencatat inkonsistensi sikap jika kita menyelewengkan konsep agama dalam berpolitik. Poros Tengah pada akhirnya yang menjatuhkan Gus Dur dan otomatis memilih Bu Mega, seorang perempuan.
Penggunaan simbol agama tidak boleh? Boleh! Bahkan, agama harus menjadi fondasi adab berpolitik, sama seperti agama sebagai adab berekonomi, berorganisasi, berilmu, dan berinteraksi sosial.
Agama Islam pun mengajari strategi politik (siyasah). Strategi politik yang rahmatan lil alamin, yakni komunikasi politik yang tidak menstimuli aspek irasionalitas umat dan tidak memecah belah keberagaman masyarakat. Strategi politik yang berbasis agama pasti bersifat edukatif dan menggembirakan, bukan membodohi dan menakutkan.
Dalil, ayat, dan simbol agama jangan dipelintir hawa nafsu sehingga memunculkan politik identitas. Pilkada Jakarta 2017 adalah contoh nyata agama sebagai identitas yang paling dijual sebagai komoditas politik para elit demi sebuah kemenangan kuasa.
Politik Edukatif Bukan Semata Hasil Survei
Sebenarnya, agama Islam itu dogma yang rasional karena berasal dari Tuhan Yang Maha Rasional. Manusia itu homo sapiens/homo rationale, tentu yang menciptakan manusia pasti Maha Rasional sehingga agama sebagai kodifikasi pesan Tuhan pasti rasional.
Tugas parpol untuk mendeliverkan pesan-pesan komunikasi politik edukatif, yakni pesan-pesan komunikasi yang berbasis pada nilai-nilai agama sebagai adab politik.
Dalam konteks pemilihan bakal capres dan cawapres, diperlukan kejujuran dalam menawarkan figur-figurnya. Hasil survei elektabilitas perlu dibaca bahwa masyarakat belum tentu paham karakter calon. Survei dimungkinkan masih mewakili pendapat masyarakat yang belum teredukasi politik karena masih terkonstruksi strategi komunikasi politik identitas yang pernah ada.
Hasil survei mestinya bukan satu-satunya rujukan menawarkan bakal capre dan cawapres ke masyarakat. Tugas parpol, dibantu media massa untuk menyampaikan figur yang memiliki rekam jejak yang baik secara terus-menerus sebagai bagian politik edukatif. Jika ini dilakukan, mengadopsi Teori Spiral of Silence-nya Elizabeth Noelle Neuman, maka rekam jejak yang baik ini akan menjadi opini yang mayoritas di masyarakat.
Bersama para akademisi, seniman, budayawan, parpol dan media massa bisa menjadi avant-garde, yakni kelompok yang menawarkan ide dan gagasan yang positif seorang calon dan membangun kesadaran dan memberdayakan masyarakat. Karena sering kali, elektabilitas atau kepopuleran seorang figur tidak berkorelasi positif dengan kapabilitas figur. Situasi ini makin besar setelah kita diterpa politik identitas yang masif pasca-reformasi dan literasi politik masyarakat masih rendah.