Gibran Rakabuming Jadi Cawapres, Simbol Pemimpin Muda Atau Machiavellian?

Gibran Rakabuming Jadi Cawapres, Simbol Pemimpin Muda Atau Machiavellian?
Gibran Rakabuming Jadi Cawapres, Simbol Pemimpin Muda Atau Machiavellian?

HARIANNKRI.ID – Kehadiran Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto menjadi kontroversi simbol semangat muda atau upaya pelanggengan kekuasaan (Machiavellian) belaka. Kontroversi ini bisa dilihat dari proses majunya putra sulung Jokowi untuk maju di kontestasi pilpres 2024.

“Mas Gibran memang muda. Bisa saja dipilihnya dia sebagai cawapres diklaim memberi kesempatan pada generasi muda untuk memimpin bangsa. Atau berusaha diframing bagian dari semangat generasi muda. Boleh saja klaim dan framing itu,” kata Profesor Henri Subiakto melalui pesan WA, Jumat (27/10/2024).

Ia mengingatkan, jiwa anak muda itu berkarakter punya idealisme dan menyukai profesionalisme. Cinta keadilan, kesetaraan dan kemandirian. Menyukai nilai- nilai demokrasi, dan meritokrasi serta tidak suka pada jalan pintas.

“Apalagi kalau harus bypass yang telah disiapkan keluarganya atau didukung kekuasaan politik orang tuanya,” imbuh Henri.

Menurut pakar Komunikasi Politik ini, dengan mengusung Gibran sebagai cawapres, pada dasarnya bukan otomatis mengusung nilai-nilai anak muda. Karena proses dan nilai yang disandangnya justru bertentangan dengan nilai-nilai anak muda pada umumnya. Diakuinya, dari sisi umur, secara wujud fisik Gibran memang muda. Tapi nilai-nilai yang dibawa dan tersemat saat menjadi cawapres, adalah nilai-nilai lama. Karena pada kenyatannya, dari tampilan dan previledge yang dimiliki, berbeda dengan sebayanya.

“Hingga diakui atau tidak, disadari atau tidak, mas Gibran sekarang dibaca sebagai simbol upaya keluarga menjaga kekuasaannya. Walau sudah terbungkus rapi dengan berbagai alasan dan rencana untuk negara, tapi tetap saja kentara. Apalagi dengan keributan terkait saat MK memberikan keputusan yang membuka peluang dan jalan baginya  sebagai cawapres,” tegas salah satu Guru Besar Universitas Ailangga ini.

Disampaikan Henri, sebenarnya boleh-boleh saja orang mengembangkan politik dinasti dan keluarga. Tapi tatkala upayanya sampai mengurbankan marwah dan kredibiltas MK, kesannya jadi berbeda.

“Ini bukan sekedar yang membuat para pecinta seperti tidak percaya. Tapi telah mencederai demokrasi dan reformasi,” ungkapnya.

Gibran; Antara Simbol Semangat Anak Muda dan Machiavellian

Henri menjelaskan, keterlibatan keluarga dalam mempengaruhi putusan MK adalah persoalan moral politik negara. Politik Machiavellis memisahkan legitimasi dan moralitas. Bagi penganut Machiavelli, urusan negara adalah sisi nyata dari perpolitikan yakni untuk mempertahankan kekuasaan. Hal-hal yang berbau moral dapat diabaikan. Itu inti pemikiran Machiavelli tentang politik tanpa moralitas yang terdapat dalam isi suratnya yang berjudul Il Prince, saat ditulis untuk menasehati penguasa Italia pada zamannya, Lorenzo De’Medici.

“Jadi upaya-upaya melakukan apa saja demi kekuasaan itu selain sesuai saran Machiavelli, cocok juga dengan apa yang ditulis Lord John Emerich Edward Dalberg Acton, “Power tends to corrupt but absolut power, corrupt absolutely”. Di awal abad 19,” seru mantan staff ahli bidang hukum Kemenkominfo ini.

Ia menambahkan, disadari atau tidak, suka atau tidak, saat ini Gibran dilihat bukan simbol semangat anak muda di jamannya. Putra sulung Jokowi ini lebih dilihat sebagai simbol keluarga yang sedang berupaya mempertahankan kekuasaan dinastinya.

Cara yang dilakukan, lanjut Henri, lewat cara apa saja. Termasuk koalisi dengan kelompok yg mengusung orang tua, yang terkait kekuatan Orba. Bahkan, sampai ada cara yang dibiarkan menabrak norma sosial, moral dan etika.

“Jadi dibalik legitimasi sebagai cawapres, dia membawa simbol politik Machiavellian yang memisahkan politik dan moral,” tukasnya.

Karenanya, tambah Henri, jangan heran jika banyak muncul kritik berupa makian dan candaan dalam berbagai bentuk. Hal ini karena banyak pihak yang merasa kecewa dengan cara-cara Machiavellian.

“Kalau dulu pemikiran Machiavelli itu ditujukan sebagai nasehat pada penguasa Itali saat itu, apakah dalam konteks sekarang, cara-cara ini juga hasil dari nasehat seseorang? Kita lihat nanti,” pungkas Henri Subiakto. (OSY)

Loading...