HARIANNKRI.ID – Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra, menyampaikan keprihatinan mendalam atas insiden keracunan makanan pada anak-anak dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Ia menegaskan pentingnya sinergi lintas sektor untuk memastikan keamanan pangan yang dikonsumsi anak-anak.
“Memang, bila kita traking di mesin pencarian internet, sebenarnya keracunan makanan yang diselenggarakan untuk anak-anak selama tahun 2024 sampai 2025 banyak terjadi. Ada yang peristiwanya di sekolah, pesantren atau pasca acara tertentu. Yang membuat anak-anak mengalami keracunan makanan atau food poisoning. Kondisi dimana makanan dan minuman terkontaminasi zat tertentu,” kata Jasra Putra dalam pernyataannya, Jumat (16/05/2025)
Berdasarkan keterangan berbagai sumber, lanjutnya, food poisoning terjadi disebabkan beberapa sebab. Pertama bakteri, kedua virus, ketiga parasite dan keempat zat berbahaya lainnya.
Beberapa bakteri yang berbahaya bila tercampur dalam makanan adalah Salmonella, E. coli, Staphylococcus aureus, dan Listeria. Begitupun virus seperti norovirus, rotavirus, dan hepatitis A dapat menyebar dalam makanan atau minuman. Parasit seperti Giardia dan Cyclospora juga dapat menyebabkan keracunan makanan. Begitupun zat berbahaya adalah zat kimiawi, seperti racun yang dihasilkan oleh jamur atau logam berat yang tercampur dalam makanan dan minuman.
“Untuk reaksi atas terkontaminasi makanan beracun, bisa reaksi terjadi langsung dan tidak langsung seperti beberapa menit atau jam. Atau setelah beberapa hari,” ungkapnya.
Dampak Keracunan Makanan Pada Anak
Ia meneruskan, gejala awal seperti diare, mual, muntah, sakit perut luar biasa bahkan bisa kram, demam dan sakit kepala. Yang menimbulkan dehidrasi dalam waktu cepat dan terus berat menjadi mulut kering dan BAK berkurang. Beberapa pasien ditemui dalam keadaan sulit menelan dan sulit berbicara, ada juga pendarahan di saluran cerna.
“Situasi anak-anak yang terus memburuk akibat keracunan, juga disertai hal yang tidak mudah. Karena anak-anak tidak terbiasa dengan istilah kesehatan. Tidak terbiasa mendiskripsikan kondisi kesehatan. Yang bisa memperburuk mereka yang tidak bisa menjelaskan kondisi kesehatan akibat food poisoning,” ujar Wakil Ketua KPAI.
Mitigasi resiko, sambungnya, telah disampaikan Kepala Badan Gizi Nasional saat rapat monitoring dan evaluasi MBG di KPAI. BGN bersama KPK telah mendeteksi soal ini, dan telah berkoordinasi. Begitupun saat penyajian setiap hari makanan dan minuman, BGN telah menetapkan target zero accident.
Dengan sedang menyiapkan 30 ribu para ahli gizi setara sarjana untuk memimpin SPPG. Bahkan problematika terakhir soal calo pembayaran, sudah ada sistem pengganti tentang mekanisme pembayaran. Sekarang menggunakan Virtual account dengan rekening bersama yang dibuat oleh BGN kemudian di verifikasi 2 orang (Sarjana SPPG dan PIC dari Mitra) dilakukan bersama dan dikontrol bersama-sama,
“Namun sayangnya di tengah persiapan tersebut, kembali terjadi keracunan makanan akibat MBG. KPAI juga prihatin ya, para calo yang di temukan Ombudsman. Bahwa proyek MBG ini bukan angka besar, hanya ribuan rupiah untuk setiap anak. Namun masih menjadi sasaran, dengan memotong jalur program. Sehingga realisasinya yang paling beresiko di ujungnya, yang harus menanggung adalah anak-anak. Yang tidak mengerti kenapa itu harus terjadi pada mereka,” tegas Jasra.
KPAI Tekankan Pentingnya Koordinasi
Ia mengingatkan, setiap terjadi peristiwa dari setiap kelalaian dapur umum SPPG, dengan penerima manfaatnya ribuan, maka pasti korbannya langsung masif. Jadi sangat mengerikan, sehingga pengawasan tidak boleh ada yang berlubang alias tidak berada dalam pengawasan. Karena ini sesuatu yang langsung masuk ke perut anak, maka reaksinya saat itu juga
“Mau tidak mau dengan peristiwa yang sudah menyentuh 1300 anak. Sudah saatnya SPPG harus belajar dengan pengalaman para catering yang mampu melayani kemampuan besar dan layak. Harus ada kerjasama. Agar pengalaman pengawasannya dapat diterapkan efektif ke SPPG,” kata Wakil Ketua KPAI.
Ia menekankan, perlu ada political will bersama untuk membangun sistem yang baik. Dengan belajar pengalaman yang sudah ada sejak lama. Segera diduplikasi, agar tidak kembali berjatuhan korban yang tak perlu.
“Saya kira situasi anak di Indonesia, laksana darurat ya. Kita bicara hal hal yang kadang di luar nalar, dalam berbicara oknum oknum yang merugikan hak anak,” imbuhnya.
Bahkan, sebutnya, sampai anak saja, harus berhadapan dengan situasi situasi yang tak pernah mereka mengerti dan harus menanggungnya. Sehingga perlu langkah tegas dan tidak ragu dalam menegakkan hak dan kewajiban anak di Indonesia. Agar tidak mengundang para oknum yang tidak bertanggung jawab.
“Kita sedang membayangkan setiap anak. Dengan berita yang terus menerus soal MBG yang menyebabkan keracunan makanan. Ini akan berdampak ke semua anak yang akan mengkonsumsi. Mari kita bayangkan, jika menjadi mereka, kemudian bertanya, apakah makanan di depan saya ini aman di konsumsi? Siapa yang menjamin? Sehingga perlu sensitifitas kita semua,” seru Jasra Putra.
Wakil Ketua KPAI menyimpulkan, kasus keracunan MBG penting segera didialogkan. Pemerintah daerah perlu aktif, meski ini program dari pemerintah pusat. Begitu juga partisipasi pengawasan masyarakat dan media sosial juga sangat penting, agar tidak ada korban yang terlewat. Tidak ada pengawasan satu jengkal pun yang terlewat.
Jika nantinya kembali terjadi kasus keracunan makanan, Jasra yakin dapat lebih cepat tertangani. Artinya selain program penyajian makanan tiap hari, juga penting jaminan mitigasi resiko, dengan dilengkapi layanan rujukan yang cepat dan tepat dalam penanganan ketika ada kejadian Luar Biasa keracunan makanan.
“Agar cita cita mulia MBG dalam menyajikan makanan dan minuman untuk 82 juta lebih penerima manfaat di Desember nanti, benar benar terjamin keamanan konsumsi,” tutup Jasra Putra. (OSY)