(Catatan Akhir Tahun, by. Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle)
Rizal Ramli dan Soekarno sama2 anak ITB yang menghuni penjara Sukamiskin ketika mudanya. Keduanya sama2 memperjuangkan nasib bangsa kita agar “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah” dihadapan bangsa-bangsa lain. Ini adalah perjuangan dengan isu Nasionalisme, yang orang2 kebanyakan kurang memahaminya.
Saat ini RR mempersoalkan isu Freeport, kenapa kita beli? kan itu punya kita sendiri setelah berakhir kontrak dua tahun lagi?
Lalu orang2 yang tidak suka pikiran Rizal atau merasa professor pintar atau merasa Rizal oposisi yang iri sama Jokowi, mengolok2 Rizal sebagai goblok atau pengkhianat atau iri dan dengki atau tidak faham dlsb.
Soekarno juga dulu mengalami hal yang sama. Kebanyakan elit2 terpelajar kita pada saat itu puas dengan pemerintah Belanda (Nederlandsch-indie)
Namun bagi Soekarno kepuasaan bersifat relatif. Elit2 Jawa Boedi Oetomo puas dengan kebebasan mereka berekspresi, berorganisasi dan melakukan kegiatan budaya dan seni.
Pemerintah resmi Belanda waktu itu membuat kebijakan “politik balas budi”, dengan memberi kesempatan kemajuan pribumi melalui pendidikan. Orang2 pada senang. Sangat baik Belanda ini.
Belanda resmi karena secara legal (hukum) dia resmi. Mereka memerintah karena “Kontrak Karya”. Bahkan, 200 tahun Indonesia menggunakan mata uang Gulden, sama seperti di Amsterdam.
Tapi Soekarno tidak puas. Soekarno mempersoalkan Nasionalisme. Nasionalisme ini tentu mencakup patriotisme, freedom of the people dan Kedaulatan.
“Enough is not good enough”. Enough buat Boedi Otomo, more than enough bagi elit2 dan demang2 pro Belanda, tapi “not good enough” buat bung Karno.
Perbedaan Soekarno dengan kebanyakan elit bangsa kala itu adalah soal konsep. Konsep Indonesia menurut Sukarno bukan “Nederlandse-indie” yang berpusat di Denhaag dengan pimpinannya Ratu Jualiana, tapi Indonesia yang dipimpin bangsa sendiri.
Konsep ini kenapa bisa muncul setelah ratusan tahun dijajah? Entahlah. Bahasan lain.
Sejarah itu memang unik. Sejarah mungkin memihak orang2 yang dipercayainya. Rakyat itu “makhluk hidup”, mereka “punya mata”.
Kembali ke Rizal Ramli, ini memang makhluk unik juga.
Kenapa RR tidak berunding aja dengan Freeport ketika jadi Menko Perekonomian Gus Dur ? atau Menko Maritim Jokowi? ya Cincai lah, kata orang China. atau 86 kata preman.
Ketika dia menko dan menkeu jaman Gus Dur, saya ingan membawa Nirwan Bakri, Latief dan Bambang Rachmadi ketemu dia. Nirwan mau urusan ambil Arutmin, sebagai satu2nya jalan buat Bakrie hidup lagi. Latief urusan restructuring hutang sedang Bambang mau ambil asset2 BPPN. Nirwan ok katanya mau dibantu, tapi gak usah ketemuan. Ingat ya, “karena pengusaha pribumi, gak usah pake uang2 segala”. Latief? Rizal gak bersedia, dia anggap melakukan korupsi Jamsostek. Bambang Rachmadi, ok. No question. Jadi Rizal memang gak doyan duit.
Ketika saya tanya kenapa dia bisa punya kekayaan 11 Milyar laporan resmi ke KPK (KPKPN), saat Menkoperek? Dia bilang resmi penghasilan suami dan istri (Bu Hera).
Menteri gak doyan duit adalah modal utama melawan “kejahatan” korporasi asing. Kejahatan maksudnya karena memang mereka pikir orang2 kulit sawo mateng seperti kita ini gampang diakali. Tentunya dengan kecanggihan mereka dalam ilmu hukum dan “financial engineering”.
Namun, lebih utama dari tidak doyan duit adalah soal Nasionalisme. Buat pejuang seperti Rizal, tentu mengutamakan kepentingan bangsa berbeda dengan Ginanjar Kartasasmita (andaipun GK gak doyan duit?).
Dalam Kontrak Karya Freeport, GK meminta tolong saya mempertemukan dengan Beathor Suryadi dan Budiman Sudjatmiko, ketika kedua yang terakhir menyerang GK soal Freeport tahun 2006 atau sekitar tahun itu.
Budiman tidak ada. GK disaksikan saya dan Jumhur di Summitmas Tower II, menjelaskan bahwa konsesi emas yang dia perjuangkan sudah cukup baik pada KK2. Kalau mau kita rubah, tunggu saja KK tersebut berakhir 2021. Toh sudah punya kita.
Rizal Ramli juga berbeda dengan Luhut Panjaitan, tangan kanan Jokowi. Sejalan dengan GK, Luhut Binsar Panjaitan dalam video yang viral di medsos, mengatakan bahwa KK2 akan berakhir 2021, kita bisa aja langsung mengambil Freeport, seperti Blok Mahakam, tapi ya kita harus menjaga hubungan dengan Amerika.
Rizal tidak berkompromi dengan urusan harga diri bangsa. Dari segi penghasilan negara, Freeport sebenarnya sangat kecil, 756 juta dollar, tidak sampai 10% dari cukai rokok (Rp147 T), th 2017.
Tapi soal Freeport adalah soal siapa yang atur kekayaan bangsa kita. Disinilah sikap “bahaya” Rizal kepada bangsa asing, khususnya korporasi asing. Dalam catatan Rizal, bahkan pemilik Freeport (dulu), Jim Moffet mengakui telah menyogok Ginanjar Kartasasmita dan bersedia mengembalikan kompensasi sebesar 5 Millay dollar (jauh lebih besar dari hutang kita untuk beli Freeport saat ini).
Apakah Rizal Ramli bodoh dan dungu? Dari segi pendidikan, Rizal dan Budi Sadikin (Bos Inalum yang mengambil alih Freeport) sama2 anak fisika ITB, pengagum teori relativitas Einstein.
Rizal bukan lah orang bodoh. Bukan pula orang doyan duit. Ini hanya sebuah perbedaan konsep, yakni tentang Nasionalisme (dalam artian luas mencakup patriotisme dan freedom serta sovereignty sebuah bangsa).
Ke depan, di era mulai hancurnya globalism, di era pemimpin-pemimpin nasionalistik seperti Trump, Putin, Xie Jin Ping, Erdogan, Evo Morales dll, sebuah bangsa besar hanya akan muncul dari orang2 yang berpikir bangsanya nomer satu, lalu urusan “internasional agreement” nomer dua. Ini sebuah era baru. Hayoo bangkit.