Sekjend PP GPI: Demokrasi, Pilpres dan Kesolidan Ummat
Oleh Diko Nugraha
Sekjend Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Islam
Harus kita akui, ajang pilpres telah membelah kekuatan umat Islam. Bahkan keterbelahannya sangat mungkin sulit untuk pulih segera. Umat diobok obok sedemikian rupa sehingga sulit membedakan mana yang murni politik dan sentimen keagamaan.
Adalah fakta, saat ini kekuatan umat terbagi dua blok. Saya tidak tahu di blok mana yang lebih kuat dan lebih banyak. Yang pasti sekarang semua simpul simpul umat sedang berlomba lomba meyakinan Umat calon Presidennyalah yang paling baik,bageur dan sudah terbukti membela umat.
Kita tidak bisa menafikan kondisi umat yang tercabik cabik tidak lain dan tidak bukan akibat dari sistem demokrasi yang mengharuskan para kandidat untuk berlomba lomba agar terpilih.
Ironisnya untuk mencapai tujuan itu banyak yang menggunakan segala cara. Dari yang biasa biasa saja hingga cara cara biadab yang menyesatkan. Hoaks merupakan cara yang sering dipakai untuk kepentingan politik sesaat seperti ajang pilpres ini.
Dampak dari hoaks sangat mengerikan. Umat benar benar terbelah. Bahkan di masyarakat terdengar ada adagium yang ngeri ngeri sedap. Mereka membagi tiga kelompok masyarakat yang tidak bisa dinasehati. Pertama, orang yang sedang jatuh cinta. Kedua orang stres. Dan ketiga, pendukung capres.
Saya membacanya meskipun ini sekedar guyanan tapi menunjukan keseriusan. Bahkan bisa jadi ini merupakan cerminan dari kondisi umat yang sebenarnya.
Terbelahnya sikap umat dalam pilpres sulit untuk dihindari. Memori kearogan dan ketidakadilan penguasa ke Umat sudah menjadi memori kolektif. Akibatnya apapun yang dilakukan oleh rezim untuk membuktikan keberpihakan rezim ke umat akan selalu mentok dan tertolak.
Terbaru, isyu pembebasan Ustaz Abu Bakar Basyir yang sempat heboh. Kita berharap ucapan Prof Yusril yang meyakinkan bisa terealisasi. Bila itu terjadi, minimal bisa mengurangi rasa curiga yang akut kepada rezim Jokowi. Umat juga akan berfikir jernih mana yang politis dan mana yang kemanusiaan. Tapi lagi lagi ekspektasi itu kandas dan menguap tidak jelas.
Malah yang tertanam dalam benak umat adalah mempolitisasi ulama untuk pencitraan. Ini juga harus menjadi catatan penting bagi siapapun terutama para politisi agar berhati hati membikin pernyataan yang bisa menambah kesan yang tidak bagus kepada umat.
Jujur saja, saya menangkap ada semacam krisis kepercayaan umat kepada para politisi dan kaum parpol. Baik dari parpol Islam ataupun dari parpol sekuler. Karena keduanya secara prilaku tidak jauh berbeda. Sama sama sering mengecewakan ekspektasi umat.
Simple saja bagi umat, politik itu kata dan perbuatan harus sama. Dan jangan menyakiti hati umat. Apapun yang dilakukan harus sesuai dengan yang diucapkan. Begitupun sebaliknya. Bila menampilkan politik arogan dan culas. Bersiap siap saja akan menjadi public enemy yang mematikan. Belajarlah dengan bijak dari pilkada dki. Jangan sampai pilpres 2019 menjadi pilkada dki yang di perluas dalam skala nasional.
Umat sudah semakin dewasa dalam berdemokrasi, tidak akan planga plongo atau gagap dalam menentukan pilihan. Sedangkan pilpres merupakan ruang ekspresi umat dalam menentukan sikap. Meskipun berbeda pilihan, saya berharap kesolidan umat tetap terjaga. Amin.