Dari Pemilu Presiden 2019, Menyegarkan Paham Agama, Melembagakan Demokrasi. Oleh: Denny JA, Pengantar Buku: Merenungkan Pemilu Presiden.
Gagasan apa paling berharga sepanjang pemilu presiden 2019 ini untuk dikapitalisasi? Ide mana yang bisa dipilih dari pemilu presiden 2019 untuk dilanjutkan membangun demokrasi Indonesia?
Pikiran itu yang pertama muncul. Di hadapan saya tersaji sekitar 35 esai saya sendiri yang ditulis sepanjang pemilu presiden 2019. Semua esai itu sudah dipublikasi di media sosial. Tak hanya esai, sebagian gagasan dan kritik saya dituliskan juga dalam bentuk cerpen dan puisi esai.
Ternyata 7 bulan pemilu presiden sudah menjadi hari raya bagi saya. Adrenalin seperti terpompa. Kreativitas datang dalam puncak. Tak hanya membuat survei nasional setiap bulan, konferensi pers setiap 2 minggu, tiga meme politik setiap hari, saya juga menulis esai.
35 esai dalam waktu 7 bulan, sama dengan setidaknya seminggu sekali ada yang saya tuliskan dalam esai merespon situasi.
Dilihat dari topik, sangat beragam isu yang saya bahas. Mulai dari kritik kepada sesama lembaga survei. Katakanlah itu semacam percakapan sesama peneliti soal metodelogi dan cara menarik kesimpulan yang sahih.
Ada pula tema soal kejadian yang menjadi trending. Misalnya kasus tertangkapnya Romy, Ketum PPP, Hardliner Jokowi, oleh PPP. Atau kisah membludaknya pawai Prabowo Sandi di daerah, namun tetap saja mereka kalah dalam survei opini publik lembaga yang kredibel.
Tak sedikit pula saya membahas isu dan gagasan yang penting. Yang paling kuat itu soal NKRI bersyariah. Isu ini berulang-ulang diangkat Habieb Rizieq sebagai paketnya mendukung Prabowo. Dan juga pernyataan Luhut Panjaitan serta Hendropriyono bahwa di balik pertarungan presiden, bertarung pula ideologi Pancasila versus paham keagamaan yang disebut garis keras.
Di hadapan saya sudah tercetak aneka makalah, foto kopi jurnal soal pelembagaan demokrasi. Gagasan ini yang menurut saya perlu dikapitalisasi. Idenya sudah lahir dalam percakapan publik sepanjang pemilu presiden 2019. Selesai pilpres, gagasan ini kembali harus dituntaskan. Ialah gagasan memperkuat demokrasi di Indonesia.
Pemilu presiden bagi saya hanya sebuah ritual politik lima tahunan. Jangan sampai kita “win a battle but lose the war.” Jangan sampai kita hanya menang pemilu presiden namun kalah dalam tema yang lebih besar: konsolidasi demokrasi dalam negara yang mayoritasnya Muslim.
Saya terpaku menganalisa rangking data itu. Judul besarnya: Indeks Demokrasi 2018 berdasarkan unit negara. Lembaga The Economist Inteligence Unit menyusun rangking itu sejak 2006, dan memperbaharuinya setiap tahun.
Sengaja saya mencari rangking tertinggi untuk negara berdasarkan mayoritas agama warga negara. Ingin saya eksplorasi baik data kuantitatifnya ataupun narasi penjelasnya.
Indeks demokrasi negara itu paling bagus. Dalam tabel, posisi negara itu urutan 1-10. Di antara negara yang dianggap paling berhasil sebagai negara demokrasi antara lain Norwegia, Denmark, Iceland, Swedia. Ini negara yang mayoritas agama penduduknya Protestan.
Untuk yang mayoritas penduduknya Katolik, ada negara Portugal. Ia berada di posisi yang termasuk papan atas, no 27. Yang mayoritas penduduknya Hindu, ada India (rangking 41).
Adakah negara yang posisinya bagus, yang mayoritas penduduknya Buddha dan Shinto. Terpampang Jepang di urutan 22. Bagaimana agama Yahudi? Israel di rangking ke 30.
Dan ini yang saya utamakan. Bagaimana dengan negara yang mayoritas penduduknya Muslim? Paling hebat mereka ada di rangking berapa?
Negara Muslim hanya ada di rangking tengah dan bawah saja. Paling tinggi posisi Malaysia: rangking ke 52. Lalu disusul oleh Tunisia dan Indonesia, rangking 63 dan 65. Turki bahkan merosot di rangking 110.
Bagaimana dengan negara Muslim lain di Timur Tengah? Negara ini ada dalam jajaran negara yang paling buruk kualitas demokrasinya. Afganistan di rangking 143. Irak di rangking 114. Mesir di rangking 127. Iran di rangking 150. Saudi Arabia di rangking 159.
Apa yang terjadi dengan negara yang mayoritasnya Muslim? Kendala apa yang ada dalam kultur agama Islam yang bisa menjadi penghalang? Ataukah ini masalah paham agama yang dominan saja? Yang bisa disegarkan?
Saya periksa bagian metodelogi. Kriteria apakah gerangan yang dijadikan para ahli menyusun index demokrasi.
Mereka membuat empat kategori besar: Negara demokrasi yang penuh (Full Democracy). Negara demokrasi yang masih bermasalah (Flawed Democracy). Negara sistem campuran: belum demokratis, tapi tidak sepenuhnya otoritarian (Hybrid Regime). Yang paling rendah: Negara otoriter (Authoritarian).
Negara yang mayoritas penduduknya Muslim paling tinggi hanya ada di kategori Flawed Democracy. Demokrasi yang masih bermasalah. Jauh lebih banyak negara yang mayoritas penduduknya Muslim di kategori Hybrid Regime atau Authoritarian.
Empat kategori yang dijadikan ukuran. Pertama: kualitas sistem pemilu. Apakah ada pemilu yang diselenggarakan di negara itu? Jika ada, seberapa demokratis, terbuka dan setara bagi semua warga?
Kriteria kedua: fungsi pemerintahan. Seberapa pemerintah bekerja untuk masyarakat? Seberapa pemerintah efektif dan hadir melindungi kebebasan individu? Seberapa pemerintah yang ada dapat pula dikontrol masyarakat?
Ketiga: Partisipasi Warga Negara. Seberapa terbuka, setara, dan bebas terselenggara kehendak individu warga negara untuk aktif dan terlibat dalam politik. Yang paling diperhatikan terutama kaum minoritas. Seberapa terbuka kemungkinan mereka bisa ikut bertarung menjadi penguasa negeri?
Keempat: Kultur politik. Seberapa terjadi penghormatan atas hak asasi, hak individu untuk memiliki apapun keyakinan dan gaya hidup. Bolehkan dan amankah, terlindungikah warga yang memilih paham agama yang berbeda? Apakah mereka dianiaya?
Untuk Indonesia dan umumnya negara yang mayoritas Muslim memang masih ada problem dengan soal fungsi pemerintahan, dan kultur politik. Tapi untuk umumnya negara di Timu Tengah, bahkan elemen dasar seperti pemilu masih menjadi problem.
Untuk Indonesia, lebih khusus dan spesifik. Bagimana mengapresiasi kebebasan dan kesetaraan warga negara, apapun pilihan pagam agama dan gaya hidup? Dan bagaimana ketegasan pemerintah melindungi kebebasan dan keberagaman itu?
Isu NKRI bersyariah yang digaungkan Habieb Rizieq, yang ia jadikan paket mendukung Prabowo pada pilpres 2019, tak hanya menjadi blunder elektoral. Pemilih minoritas berbondong-bondong meninggalkan Prabowo. Pemilih Muslim yang moderat, abangan apalagi yang liberal segera hijrah pula pergi dari Prabowo.
Namun dampak jangka panjangnya melampaui efek elektoral belaka. Dengan mengasumsikan sebagian warga negara tetap gigih memperjuangkan NKRI Bersyariah atau apapun yang bukan sistem demokrasi modern, inilah “war” yang sesungguhnya.
Inilah pertarungan membentuk Indonesia. inilah perjuangan mencari model untuk Indonesia. Pemilu presiden hanyalah pertarungan antara untuk pertarungan yang lebih besar itu.
Selesai pemilu presiden, pekerjaan rumah selanjutnya semakin terpetakan. Indonesia bagaimana yang akan kita bentuk?
Mengikuti pola indeks demokrasi, Indonesia sudah masuk separuh jalan. Perlu penuntasan hingga akhirnya Indonesia bisa dikategorikan ke dalam demokrasi penuh (Full Democracy).
Agenda lebih besar terbayang. Indonesia akan berkompetisi dengan Malaysia, Tunisia dan Turki, berlomba menjadi model aneka dunia Islam. Roadmap mana yang bisa dicontoh oleh negara mayoritas Muslim lain untuk menuju demokrasi penuh?
Saya meyakini, sekaligus berharap, roadmap Indonesia lebih mungkin berhasil. Kita sudah memiliki Pancasila. Ini platform bersama yang sudah diterima mayoritas Muslim apalagi kalangan minoritas.
Tinggalah kita semua yang peduli menyusun action plannya. Kembali hati saya berdebar. Tersaji perjuangan lain yang mengasyikkan selesai pemilu presiden 2019.*