Kekuasaan yang Menebar Kecemasan. Oleh: Akhlis Suryapati, Wartawan Senior
Kekuasaan bisa bertahan, bahkan sampai puluhan tahun, tetapi politik curang, persekongkolan, rekayasa, kezaliman, pembohongan terhadap rakyat dan penistaan terhadap ulama, yang dilakukan oleh Amangkurat (penguasa Mataram 1646-1677), menebarkan kecemasan panjang pada rakyat yang berujung pada runtuhnya negara dan akhir nestapa bagi sang penguasa.
Setelah menista ulama dengan membantai sekitar 6.000 ustad dan kiai beserta keluarganya (1647), sesungguhnya Amangkurat juga gelisah. (Soemarsaid Moertono, State and Statecraft in Old Java, 1968). Dia mengamankan diri di istana dengan penuh ketakutan. Di bawah penjagaan ketat para pengawal pribadinya yang paling kuat, ia terus merasa was-was dengan keputusannya sendiri.
Kegelisahan itu memburu sepanjang masa kekuasaan berikutnya, berbarengan dengan kecemasan rakyat oleh berbagai tanda-tanda alam.
Tahun pertama dinobatkan sebagai raja berkuasa penuh atas Kerajaan Mataram (1646), Amangkurat mengadakan perjanjian dengan kekuatan ekonomi asing VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), kongsi dagang Belanda yang punya pasukan tentara sendiri. Dibangunlah infrastruktur secara besar-besaran. Pihak VOC membuka pos-pos dagang di seantero negeri, pihak Mataram boleh berdagang di pulau-pulau yang dikuasai VOC.
Istana dibangun dengan arsitektur baru bahan beton batu-bata, istana lama berbahan bangunan kayu tak dipergunakan, Ibukota pun dipindahkan dari Kertasono ke Plered.
Kepada rakyat, Amangkurat berkampanye bahwa VOC telah takluk kepada Mataram. Dia melakukan klaim dan pencitraan, menuntaskan perjuangan pendahulunya, Sultan Agung, yang mangkrak – berperang melawan VOC namun tidak kunjung meraih kemenangan.
Persekongkolan dengan asing, tanpa sedikit pun keberhasilan atau kreativitas (C. Ricklefs, 1993), adalah pengingkaran arah perjuangan konstitusi Mataram, Kaum oposisi melakukan koreksi, kritik, perlawanan, sampai pada pembangkangan. Tetapi Amangkurat tidak peduli pada keseimbangan politik. Dia membangun kekuasaan terpusat (sentralistik). Kalpa saru semune kenaka putung (masa kelaliman dengan kuku yang putus), ungkap sastrawan filsuf Jayabaya.
Keahlian memfitnah dengan metode antihoax kontra hoax semasa jadi putra mahkota, diterapkan dalam politik kekuasaannya. Dulu dirinya menyingkirkan Wiroguna, Panglima Perang terkemuka Mataram sejak era Sultan Agung, dibunuh di perjalanan ketika menjalankan perintah membasmi separatisme di wilkayah Timur. Tindakan itu untuk meredam skandal dirinya yang menzinahi dan memperkosa istri Wiroguna, perbuatan mana sempat dilaporkan oleh adiknya, Pangeran Alit, kepada Sultan Agung.
Pangeran Alit pun pada gilirannya dibunuh, dengan alasan melakukan makar. Setelah membunuh Pangeran Alit, Amangkurat menistakan ulama, membunuh sekitar 6000 ustad, kiai, dan keluarganya, dengan dalih mereka adalah pendukung gerakan makar Pangeran Alit.
Amangkurat memimpin operasi pembantaian, dengan menampilkan kesan plonga-plongo tidak tahu apa yang terjadi, padahal dialah otaknya. Empat orang bekingnya, Pangeran Aria, Tumenggung Nataairnawa, Tumenggung Suranata, Ngabehi Wirapatra, bersama pasukan dan relawannya, mendata lebih dahulu nama, alamat, dan anggota keluarga para ulama. Menyebar ke empat penjuru mata angin (H.J. de Graaf, De Regering van Sunan Mangkurat I, 1961).
Ketika operasi berlangsung, Amangkurat di istana, ikut semacam Sidang Kabinet. Aba-aba pembantaian ditandai bunyi letusan meriam di halaman istana. (Rijcklofs van Goens, De vijf gezantschapsreizen naar het hof van Mataram, 1648-1654, 1956); di suatu siang yang terik, belum setengah jam berlalu setelah terdengar bunyi tembakan, sekitar 6.000 ulama dan keluarga mereka yang menetap di wilayah Mataram harus mati karena kekejian penguasa.
Kekuasaan Amangkurat berlanjut, atas dukungan VOC yang semakin kuat di pantai timur laut Jawa. Tetapi kedaulatan Mataram melemah, basis-basis ekonomi tergerus oleh agresivitas maskapai dagang Belanda itu. Inilah periode dekadensi sebuah negara (BJO Schrieke, Indonesian Sociological Studies, 1955); dalam sastra Jawa, raja yang mabuk dan sikapnya yang tidak pantas kepada kaum beragama, dianggap sebagai tanda-tanda pralaya (masa kehancuran).
Kerajaan besar, yang disatukan oleh Sultan Agung, mengalami hal disintegrasi di pengujung kekuasaan Amangkurat, diwarnai kecemasan panjang yang rakyat; tanda-tanda (ayat-ayat) alam bermunculan; gerhana matahari dan bulan kerap terjadi, hujan turun tak sesuai musim, bintang berekor terlihat tiap malam; mengisyaratkan kerajaan menghadapi keruntuhan.
Mataram akhirnya runtuh. Trunajaya dari Madura (1677) melancarkan serbuan. Istana berhasil diduduki. Amangkurat dan keluarganya melarikan diri, menuju Batavia meminta perlindungan VOC. Tetapi dia mati nista di Banyumas. Jenazahnya dikubur di Tegal.