Raibnya Suara Prabowo di Situng KPU. Oleh: Dimas Huda, Pemerhati Politik.
Urusan niat jelas sulit ditebak. Apakah Komisi Pemilihan Umum atau KPU berniat mencurangi Prabowo-Sandiaga dalam urusan penghitungan suara pemilu? Jawabnya, bisa iya bisa tidak. Sebagai referensi, publik tinggal menelaah banyaknya kesalahan yang dilakukan KPU yang cenderung berulang dan sangat merugikan pasangan capres-cawapres 02.
Ketua KPU, Arief Budiman, naga-naganya membaca kondisi tidak menguntungkan itu. Mata rakyat tidak bisa ditipu. Itu sebabnya ia buru-buru membuat pembelaan, “KPU tidak berniat curang,” katanya, dengan wajah innocent, seperti tanpa dosa.
Dalam Islam, niat itu penting. Amal seseorang tergantung niatnya. Itu kata-kata Nabi Muhammad. Arief boleh jadi tidak hendak mengaitkan argumentasinya itu dengan hadist tersebut. Pastinya, ia hanya ingin berkilah bahwa kesalahan dalam memasukkan angka ke dalam Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU tidak bermaksud curang. “Human error,” jelasnya.
Selanjutnya, soal niat itu memang penting dalam menentukan sebuah kasus diproses atau tidak. Dalam hal ini memori kita dibangkitkan ucapan Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri Komisaris Jenderal Polisi Arief Sulistyanto, dalam kasus pembakaran bendera hitam berlafaz tauhid pertengahan Oktober 2018. Tiga anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser), pembakar bendera itu, diputuskan tidak terjerat hukum. Pasalnya, unsur pidana berupa niat jahat tak terpenuhi.
Kita kembali ke urusan penghitungan suara pada Situng.
Situng merupakan sistem penghitungan yang dilakukan KPU dengan cara menscan dan mengupload formulir C1 di setiap TPS. Sistem ini dipergunakan untuk menampilkan hitung suara atau real count berdasar formulir C1. Di sinilah jutaan orang mengakses perkembangan perolehan suara pipres dari hari ke hari melalui smart phone mapun computer berjaringan.
Nah, hari-hari belakanan, Situng kurang bersahabat dengan 02. Seakan ada kesengajaan, angka-angka yang diinput dimirip-miripkan angka quick count sejumlah lembaga survei beberapa waktu lalu. Dari sini saja, publik patut bertanya: Ini sengaja atau memang natural? Di wilayah-wilayah yang dimenangkan Prabowo-Sandi, data yang masuk dikeluarkan secara incrit-incrit, sedangkan di wilayah yang dimenangkan 01, lumayan lancar.
KPU telah mengaduk-aduk emosi jutaan orang pendukung 02. Sudah begitu, banyak kesalahan dalam memasukkan data itu. Anehnya, kesalahan terus berulang. Hal yang menyakitkan, kesalahan itu selalu merugikan pasangan 02.
Protes atas kesalahan KPU itu sudah viral dan memenuhi jagat maya. Begitu juga yang masuk ke KPU dan Bawaslu.
Mari kita tengok contoh-contoh kesalahan itu. Memasuki hari kelima pasca pencoblosan, Senin (22/4), misalnya. Terungkap kesalahan input data dari Tempat Pemungutan Suara atau TPS 30, Bojongsari, Depok, Jawa Barat.
Muhammad Haswan melalui akun twitter @HaswanEvan mengungkap, berdasarkan formulir C1 di TPS tersebut, pasangan 02 mendapatkan 148 suara, sementara pasangan 01, meraih 63 suara. Akan tetapi, informasi yang tertulis pada web.kpu.id pasangan 01 justru mendapat 211 suara, sedangkan pasangan 02 hanya meraih 3 suara. Benar-benar gendeng.
Perbedaan data juga terjadi di TPS 193 Kelurahan Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta Timur, DKI Jakarta. Akun Cak Bim @bimmodwi di Twitter menyebutkan bahwa sesuai formulir C1, perolehan pasangan capres 01 di TPS 193 tersebut adalah 47 suara, sedangkan pasangan 02 memperoleh 162 suara. Data yang tertulis di Situng KPU, pasangan 01 tertulis 180 dan pasangan 02 tertulis 56 suara. Lagi-lagi, suara Prabowo menguap.
Kasus berikutnya terjadi di TPS 25 Desa Banjarnegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Pada formulir C1 yang ia bagikan, pasangan nomor urut 01 memperoleh 100 suara. Sedangkan 02 mendapat 76 suara. Kemudian ia menunjukkan data yang berbeda di Situng KPU, di sana tertulis suara pasangan 01 bertambah menjadi 170 suara dan 02 menyusut menjadi 65 suara. Suara Prabowo hilang lagi.
Itu baru sedikit contoh. Jika ditelaah lebih cermat, akan banyak lagi temuan-temuan seperti itu. Apa yang disampaikan warganet itu bukan hoaks. Bukan. Komisioner KPU, Evi Novida Ginting Manik, mengakui hal itu. Dia bilang ada kesalahan proses input data. Data yang seharusnya diinput dari formulir C1 TPS 193 Bidara Cina, ternyata data berasal dari Kelurahan Cipinang Cempedak.
Sebelumnya, Komisioner KPU Pramono Ubaid juga mengakui ada kesalahan teknis petugas dalam memasukkan data. Kesalahan itu di antaranya terjadi di lima daerah, yakni di Maluku, NTB, Jawa Tengah, Riau, dan Jakarta Timur. Kesalahan itu terungkap karena ada yang melaporkan.
Ini pula yang membuat sejumlah kalangan mengkritisi kinerja KPU. Pada satu sisi, KPU meminta rakyat bersabar menunggu real count sampai tuntas. Di sisi lain, penyelenggara pemilu ini tidak becus mengelola IT dengan benar. “Sedangkan saat dipertanyakan kesalahan input tersebut, KPU menjawab lantaran human error,” kritik eks Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Said Didu.
Mahfud MD tak kalah keras. Eks Ketua Mahkamah Konstitusi ini mengingatkan kesalahan itu sangat berbahaya, sebab bisa membuat kepercayaan masyarakat terhadap KPU menurun sangat drastis. “Masak, salah input data sampai di 9 daerah? Masak dalam 3 hari baru terinput 5%? Penghitung swasta/perseorangan saja sudah lebih di atas 50%,” tandasnya.
Mahfud menilai kekisruhan yang sekarang terjadi, antara lain, disebabkan juga oleh kurang antisipatifnya KPU dalam penanganan IT sehingga terkesan kurang profesional.
Keadaan seperti ini menimbulkan banyak spekulasi negatif dan semakin memperpanas suasana. “Ada yang curiga, KPU kesusupan orang IT yang tidak netral. KPU harus memastikan bahwa awak IT-nya benar-benar profesional dan netral. Bawaslu dan civil society harus diberi akses yang luas untuk langsung mengawasi,” tuntutnya.
Kini, angka-angka kesalahan sudah diubah KPU setelah mendapat protes keras. Persoalannya, seluruh TPS tu ada 809 ribu dalam pemilu kali ini. Siapa yang sanggup menyisir satu per satu tiap TPS itu? Siapa pula yang mau terus mengawasi tanpa henti kerja KPU yang teledor? Ketika rakyat sudah lelah, apakah bisa dijamin kerja KPU bisa beres?
Pertanyaan-pertanyaan itu menjelaskan bahwa rakyat akan kalah dengan KPU. Rakyat nantinya hanya akan pasrah di tengah ketidakpercayaan kepada penyelenggara pemilu. Dan kecurangan memang tidak butuh nawaitu, tidak perlu niat-niatan segala.