Pilihan Sulit, Pemilu Ulang atau People Power. Oleh: Dimas Huda, Pemerhati Politik.
Penguasa haruslah mempunyai sifat-sifat seperti kancil sekaligus singa. Ia harus menjadi kancil untuk mencari lubang jaring dan menjadi singa untuk mengejutkan serigala. Begitu ajaran Niccolo Machiavelli dalam bukunya II Principe di bab 19. Makna dari ajaran Machivelli ini adalah “seorang pemimpin negara harus memiliki sifat-sifat cerdik pandai dan licin seibarat seekor kancil, akan tetapi harus pula memiliki sifat-sifat yang kejam dan tangan besi seibarat singa”.
Pimpinan Negara, bagi Machiavelli, boleh berbuat apa saja asalkan tujuan bisa tercapai. Dengan begitu, terjadilah het doel heilight de middeled (tujuan itu menghalalkan semua cara). Negara dapat menindak demi kepentingan individu.
Boleh jadi, hari-hari belakangan ini publik merasakan betul aroma ajaran tokoh Zaman Renaisance itu. Ada upaya, usaha, cara-cara yang menghalalkan segalanya untuk memenangkan sang petahana dalam pemilu.
“Cukup sekali ini saja kita mengalami pemilu seperti ini,” keluh Wakil Ketua Komite I DPD RI Fahira Idris mengangkat keprihatinannya yang dalam atas buruknya kualitas pemilu 2019. Kalimat singkat Fahira ini cukup mewakili perasaan jutaan rakyat Indonesia tentang betapa buruknya kualitas pemilu ini kali.
Pemilu 2019 telah menjadi pertunjukan memalukan tentang kecurangan para petinggi yang digaji rakyat. Tentang capres petahana yang ingin menang dengan menghalalkan segala cara. Tentang pejabat-pejabat yang tanpa malu merusak sendi-sendi kejujuran dan norma-norna bangsa ini.
Publik disuguhi pemilu curang. Yah, cukup sekali ini saja bangsa ini menahan malu atas pemilu yang menurut Marwan Batubara sebagai pemilu yang dilumuri kejahatan terstruktur, sistematis, dan masif terhadap demokrasi.
Kecurangan Massif
Sesungguhnya, ada upaya dari berbagai pihak yang ingin menghadirkan pemilu berkualitas. Badan Pemenangan Nasional atau BPN Prabowo-Sandi, misalnya. Mereka telah melakukan audiensi formal sekitar 7 kali ke KPU. Tujuan utama dari audiensi tersebut membahas potensi persoalan yang ada terutama terkait dengan data DPT yang tidak wajar.
Dibilang tidak wajar, menurut Juru Bicara Tim IT/ Siber BPN Agus Muhammad Maksum, karena ada sekitar 17,6 juta orang yang lahir dari 3 tanggal yang sama, yakni tanggal 1 Juli, 31 Desember, dan 1 Januari. Selain itu ada banyak data ganda. Ada satu KK memiliki banyak anggota keluarga. Lalu, ada ratusan ribu pemilih berusia di atas 90 tahun, dan 20 ribu lebih usia di bawah 17 tahun.
“Persoalan seperti itu berpotensi memunculkan kecurangan terstruktur, massif dan sistematis, yang bisa dilakukan pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab,” jelas Agus.
Persoalannya, KPU tidak menyelesaikan masalah ini secara memadai. Akibatnya, apa yang dikhwatirkan BPN terbukti. Banyak muncul pemilih hantu atau ghost voters di sejumlah tempat. Tri Susanti, warga dari RT 003/002, Kelurahan Kalisari, Kecamatan Mulyorejo, Surabaya, mendapati ada 5 pemilih hantu menggunakan alamat rumahnya. Lima orang itu tercatat ada dalam DPT. Sejumlah tentangga Tri juga mendapati hal yang sama.
Kasus serupa terjadi di Bogor. Agus mengatakan temuan itu diperoleh setelah BPN bersama tim TV One menelisik ke wilayah tersebut. “Kami tanyakan ke ketua RT yang belasan tahun menjadi ketua RT, dan kami tanya ke banyak warga di RT tersebut, namun mereka semua tidak mengenal nama-nama dalam DPT yang kami tanyakan,” tuturnya.
Sebelum pemilu digelar sudah muncul dugaan kecurangan. Saat pemilu juga begitu. Banyak sekali kecurangan dengan berbagai modus yang sama dan melibatkan banyak pihak dengan posisi yang sama. “Yang tampak kepada kita surat suara 01 dicoblos terlebih dahulu di banyak TPS dan banyak pihak internal bekerja untuk merealisasikan kecurangan-kecurangan tersebut,” tambah Agus lagi.
Kecurangan berlanjut di saat penghitungan suara di Situng KPU. Suara pasangan 01 didongkrak, sedangkan perolehan suara 02 disunat. KPU menyebut adanya “kesalahan kirim data”. Namun jika mencermati kesalahan yang berulang-ulang dengan modus yang sama, maka ini jelas kecurangan.
Kini, contoh kecurangan penghitungan suara itu banyak bertebaran di media sosial. Akun KPU di twitter kebanjiran koreksi. Kecurangan itu sangat telanjang dan memuakkan.
Satu contoh saja. TPS 18 Desa/Kel. Malakasari Kec. Baleendah Kab. Bandung, Provinsi Jabar. Tertulis di web KPU, Capres Jokowi-Makruf mendapat 553 suara dan Prabowo-Sandi mendapat 30. Jika dilihat di C1 di dalam web KPU, Jokowi-Makruf mendapat 53 dan Prabowo-Sandi mendapat 130. Ada kecurangan dalam meng-entry. Jokowi-Makruf ditambahkan angka 5 (menjadi 500) dan Prabowo-Sandi hilang angka 1 (seratus).
Gilanya lagi, web KPU cenderung mempertahankan keunggulan Jokowi-Makruf dikisaran 54%. Padahal tentunya, banyak sekali data yang tersedia bagi KPU untuk menginput data-data yang menunjukkan Prabowo-Sandi menang di banyak TPS. Tetapi web KPU mempertahankan 54% kemenangan sementara Jokowi-Ma’ruf.
Singkat cerita, dugaan kecurangan penyelenggaraan pemilu kian masif. Mulai dari kecurangan di TPS, hingga perbedaan data sistem informasi penghitungan suara (Situng) KPU dengan form C-1 Plano.
Pemilu Ulang
Lantaran deretan kecurangan itu, pengamat politik Hendri Satrio meminta KPU untuk bisa mengantisipasi hal-hal buruk yang mungkin terjadi. “Demi Indonesia sebaiknya KPU mulai memikirkan skenario pemungutan suara ulang,” jelas pengajar Universitas Paramadina itu, seperti dikutip Kantor Berita Politik RMOL, Senin (22/4).
Kesal terhadap kecurangan yang terus dijejalkan ke publik, Marwan Batubara bahkan menyerukan aparat kepolisian segera menangkap dan memproses hukum para komisioner KPU. “Mereka diduga telah melakukan kejahatan demokrasi dan melanggar prinsip-prinsip moral sesuai UUD 1945,” ujar Koordinator Barisan Masyarakat Peduli Pemilu Adil dan Bersih ini. “KPU tidak hanya melanggar aturan administratif, tapi melanggar kejahatan kriminal,” tandasnya.
Menurut Marwan, dugaan kecurangan yang dilakukan KPU sangat masif. Maka dari itu, aparat hukum tidak boleh tinggal diam dan menganggap kasus ini sebagai angin lalu.
Atas kesalahan input data di Situng, KPU selalu berdalih human error. Jurubicara BPN, Ferdinand Hutahaean bertanya kenapa human error selalu menguntungkan pasangan Capres dan Cawapres nomor urut 01. Sebaliknya, pasangan 02 selalu menjadi pihak yang dirugikan. “Parah,” tandasnya.
Pernyataan Hendri dan desakan Marwan kepada polisi, masih tergolong lunak. Kini muncul wacana people power untuk mengoreksi demokrasi yang amboradul ini. Kendati mendapat tanggapan yang beragam, termasuk penolakan, gerakan people power bukan sesuatu yang mustahil.
Fahira Idris mendorong semua sisi penyelenggaraan Pemilu 2019 harus dievaluasi total. “Dari sisi regulasi banyak hal yang harus direvisi. Dari sisi teknis lebih banyak lagi yang harus diperbaiki,” tegasnya.
Pemilu 2019 ini harus dijadikan pelajaran bagi semua pihak, terutama para elit atau mereka yang punya kewenangan dan kekuasaan, untuk mendesain regulasi dan sistem pemilu yang lebih aspiratif.