Berakhirnya Dinasti Cikeas. Oleh: Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Secara sosial-politik, Indonesia mengenal dua polarisasi yaitu santri dan abangan. Kata “santri” kemudian bermetamorfosis menjadi “umat”.
Istilah Islam-nasionalis yang biasa digunakan dalam narasi akademik banyak menuai kritik dan tak lagi cocok untuk membuat katagorisasi politik di Indonesia. Tumpang tindih dan sulit untuk membuat batas-batas perbedaan. Kita pakai saja istilah umat-abangan. Ini nampaknya lebih tepat, setidaknya untuk menjelaskan arah perpolitikan saat ini.
Partai politik bisa dipotret melalui dua katagori ini: umat dan abangan. Kendati tidak mutlak, tapi katagorisasi ini memudahkan untuk menganalisis garis perjuangan parpol-parpol yang ada.
Termasuk partai umat adalah PKS, PPP, PAN dan PKB. Dimana posisi PBB? “Laa yahya walaa yamuut”. Hidup segan, mati tak mau. Gak masuk katagori, karena gak punya keterwakilan di DPR.
PKS, PPP, PAN dan PKB disebut partai umat, karena partai-partai ini yang memperjuangkan kepentingan umat dalam eskalasi dan dinamikanya masing-masing. Soal pasang surut, itu biasa. Tapi secara fitrah, keempat partai ini tak bisa lepas dari umat.
Di luar partai umat kita sebut saja partai abangan. Kendati di dalamnya ada anggotanya dari kalangan santri. Tapi, dari sisi pengaruh tak signifikan.
Istilah abangan yang dimaksud disini adalah bahwa partai-partai ini tak fanatik terhadap agama. Garis perjuangannya tak berbasis pada agama dan kepentingan umat tertentu.
Termasuk di dalam kelompok ini adalah Demokrat, partai besutan SBY. Partai yang di pemilu kali ini sedang jatuh. Angkanya merosot jauh jika dibandingkan beberapa kali pemilu sebelumnya. Yaitu 7,37 persen (survei QC Kedai Kopi). Ini menunjukkan bahwa pengaruh SBY mulai redup. Sementara, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang dikader sebagai penerus estafet Partai Demokrat masih berada di dalam bayang-bayang Sang Ayah. Secara politik, masih belum matang. Jauh di bawah Puan Maharani dalam pengalaman dan kesiapan untuk menerima tongkat estafet kepemimpinan partai.
Faktor utama kenapa Demokrat jeblok dan AHY tak mampu dijadikan faktor recovery, karena sikap SBY yang abu-abu. Tak pernah jelas pilihan politiknya. Kesana gak, kesini gak. Tak salah jika publik menyebutnya sebagai “seorang peragu”. Bahasa halusnya “sangat hati-hati”. Sebut saja “peragu”, biar lebih lugas.
Ada beberapa kasus yang bisa dibuat kesimpulan bahwa SBY dianggap “seorang peragu”. Dan ini yang menjadi sebab utama kenapa Demokrat semakin jeblok Elektabilitasnya. Pertama, pilpres 2014, SBY out side. Berada di luar arena pilpres. Kedua, SBY juga out side di Pilgub DKI putaran kedua antara Anies vs Ahok. Di kedua kompetisi ini, SBY tak ikut. Membiarkan momentum lewat begitu saja. Padahal jika SBY ikut dukung Anies, Demokrat kemungkinan akan dapat simpati dan limpahan suara umat di pemilu sekarang.
Ketiga, ini yang terbaru yaitu di pilpres 2019. SBY lirik sana, lirik sini. Maunya sama Jokowi, tapi Megawati dan PDIP gak ngasih ruang. Luka politik masa lalu belum sembuh. Terpaksa, ikut gerbong Prabowo. Tapi sayangnya, setengah hati. Di tengah perjalanan malah buat surat terbuka yang isinya kritik terhadap kampanye Prabowo. Loh…loh…
Pilpres belum tuntas, bermanuver lagi. AHY ketemu Jokowi di istana (2/5/2019). Ini sekedar silaturahmi, karena sudah delapan bulan gak jumpa, kata salah satu kader Demokrat. Apapun argumentasinya, secara politik, ini tak etis. Orang Jawa bilang: gak elok.
Apalagi kemudian diberikan penjelasan bahwa kalau Prabowo menang, Demokrat akan setia bersama Prabowo. Jika Jokowi yang menang, Demokrat bebas menentukan pilihan politiknya. Maksudnya mau bergabung sama Jokowi? Rakyat jadi bertanya: kalau menang mau bersama, tapi kalau kalah mau ninggalin. Sungguh tak etis! Enak di lo, gak enak di gue, kata kubu Prabowo. Koalisi macam apa?
“Ngono ya ngono, tapi ojo ngono”. Artinya: jangan begitu amat lah… Soal nanti siapapun yang menang, sok lah.. Tapi jangan berandai-andai sekarang. Itu sama saja membicarakan warisan ketika orang tua masih hidup. Ini anak durhaka banget. Ngarep orang tuanya segera mati. Tak persis sama analoginya. Tapi sama-sama menyakitkan!
Sikap Demokrat ini tak etis dan tak taktis. Di tengah pendukung Prabowo yang sedang berjuang melawan kecurangan, Demokrat bermanuver untuk menjajagi koalisi baru. Bukan koalisi, tapi silaturahmi, katanya. Orang yang paling awam politik pun bertanya: apa bedanya silaturahmi orang politik dengan manuver politik? Beda istilah, tapi satu makna.
Dalam psikologi sosial, kejelasan, ketegasan dan kesetiaan itu sangat besar pengaruhnya di hati rakyat. Sebuah sikap politik yang menarik bagi simpati rakyat. Ini akan jadi investasi politik jangka panjang. Dan saat ini, PKS adalah salah satu partai yang sedang memanen investasi itu.
Bagi mereka yang tak sabar untuk setia, akan terancam ruang kesempatannya untuk mendapatkan simpati rakyat di masa depan. Kendati ia dapat kue pragmatis dalam jangka pendek. Ini hukum sosial.
Apapun alasannya, apa yang dilakukan oleh AHY bertemu Jokowi, atas ijin ayahnya tentu saja, akan semakin mengurangi respek dan simpati rakyat. Kendati AHY jadi menteri Jokowi, itupun seandainya Jokowi menang, harga politik yang harus dibayar untuk jangka panjang pasti mahal. Apalagi kalau Jokowi kalah.
Tidak hanya SBY, AHY juga akan kehilangan simpati rakyat, terutama umat. Di masa depan, ini akan membuat sulit SBY untuk mempromosikan AHY di mata umat.
Penolakan umat terhadap SBY dan AHY akan menjadi catatan penting bagi partai umat untuk berhitung seribu kali jika akan berkoalisi dengan SBY. Di sisi lain, SBY selalu kesulitan mendapat ruang dari PDIP, selama Megawati masih jadi ketua umumnya. Padahal, PDIP adalah partai terbesar dan paling berpengaruh di koalisi non-umat.