Lima Bukti Cacatnya Situng KPU. Oleh: Dr Fadli Zon, Wakil Ketua DPR RI.
“It’s not the people who vote that count, it’s the people who count the votes.” Joseph Stalin.
Kisruh salah input Situng (Sistem Informasi Penghitungan Suara) KPU, sudah tak lagi bisa dilihat sebagai masalah teknis-kasuistis. Kekacauan ini sudah menjadi problem sistemik yang mengancam kredibilitas dan trust penyelenggara pemilu. Pasalnya, kekeliruan input bukan hanya terjadi sekali, tapi ratusan kali. Bahkan Tim IT BPN (Badan Pemenangan Nasional) dan Relawan Prabowo-Sandi telah menemukan 12.550 kasus salah input data dalam Situng KPU.
Saya termasuk yang pertama meminta agar dilakukan audit forensik IT KPU sejak September 2018. Tujuannya untuk mendeteksi data DPT amburadul dan sistem yang bisa manipulatif dengan algoritma tertentu. Ada 17,5 juta DPT bermasalah hasil temuan Tim IT BPN. Forensik diperlukan agar bisa menjamin keamanan dan mencegah intruder dari luar. Jangan sampai ada yang ditutup-tutupi. Namun sayangnya, permintaan audit forensik tersebut tak direspon.
Meski telah ditemukan banyak kekeliruan dan kejanggalan, respon KPU selalu normatif. Respon KPU yang kerap mengatakan faktor human error, saya kira tak lagi bisa dimaklumi. Selain tak menyelesaikan masalah, respon tersebut justru menandakan sikap kurang bertanggung jawab.
Karena itu, Jumat 3 Mei 2019, sebagai Wakil Ketua DPR RI, saya bersama Saudara Riza Patria, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, menggunakan hak pengawasan melakukan sidak ke KPU untuk menyampaikan keresahan publik, sekaligus meminta keterangan dari Pimpinan KPU. Kami diterima lengkap oleh Ketua KPU, Komisioner KPU, serta pejabat Setjen. Setelah dialog dan berdebat, kami melakukan peninjauan langsung ke ruang server dan operation room.
Secara sederhana, dari sidak tersebut saya bisa menyimpulkan bahwa Situng KPU memang longgar. Aturan validasinya lemah. Sehingga celah bagi terjadinya manipulasi sangat besar. Saya kira hal itu menjelaskan kenapa salah input C1 dalam Situng KPU terjadi begitu masif. KPU saya kira tak lagi bisa berlindung di balik disclaimer yang menyebutkan bahwa apa yang ditampillan dalam Situng bukanlah hasil resmi.
Dari sidak selama 3 jam di KPU RI, ada lima catatan yang menandai kelemahan serius Situng KPU. Kelemahan tersebut, sebagian besar adalah hal yang elementer, yang secara teknis sebenarnya tak perlu terjadi. Jadi, dengan kelemahan-kelemahan tersebut Situng KPU cukup jelas bersifat amatiran.
Kelemahan pertama terletak pada sistem penghitungan yang dibangun. Situng KPU saat ini tak dilengkapi sistem koreksi dini pada tahapan input data. Padahal untuk menerapkan fungsi tersebut, menurut beberapa ahli IT, hanya membutuhkan bahasa pemrograman yang sederhana.
Akibatnya, karena verifikasi inputnya lemah, data yang salah otomatis tetap masuk ke server KPU. Kemudian tergambarkan ke dalam grafik real count yang dilihat oleh masyarakat. Ini jelas merupakan kelemahan elementer yang fatal. Sebab, bagaimana bisa KPU sebagai lembaga resmi negara berani menampilkan grafik dengan data yang kebenarannya tak terjamin semacam itu?
Kekeliruan tersebut sebenarnya dapat diantisipasi secara otomatis sejak tahapan input data. Jika DPT setiap TPS berjumlah 300 pemilih, misalnya, maka ketika ada input suara lebih dari 300, atau lebih dari 3 digit, secara otomatis harusnya tertolak oleh sistem. Ironisnya, fungsi itu tak ada di Situng KPU saat ini. Jadi jika inputer atau verifikator memasukkan angka ribuan atau jutaan di TPS, angka-angka itu tetap bisa masuk server KPU.
Sekalipun ada mekanisme koreksi, proses pemberitahuan dari pusat kepada petugas verifikator di daerah dilakukan secara manual melalui Whatsapp (WA), tidak melalui sistem. Maka tak aneh jika hingga saat ini masih ditemukan ratusan, bahkan ribuan kasus salah input dalam Situng KPU. Jika tak ada WA dari pusat pada inputer atau verifikator di KPU daerah maka tak terjadi koreksi.
Bagaimana kesalahan-kesalahan itu bisa diketahui? Saya cek sebagian besar berasal dari protes masyarakat di media sosial. Jadi, kalau tak ada temuan atau tak ada protes maka tak akan ada koreksi.
Kelemahan kedua, dalam proses input masih ada data yang tak dilengkapi hasil scan lembar C1. Info dari KPU, sempat ada sekitar 1 juta file tanpa pindaian C1. Menurut KPU RI, hal tersebut disebabkan kapasitas penyimpanan data pada sistem yang telah penuh. Sehingga, memori tak bisa menampung file yang dikirim dari KPU daerah.
Jika benar demikian, maka menurut saya, apa yang dilakukan KPU selama ini sangat amatiran. Untuk hajat sebesar pemilu serentak segala kebutuhan harus dipersiapkan dengan baik, bersifat antisipatif. Soal memori dan bandwidth menurut saya adalah soal remeh temeh yang tak pantas dijadikan alasan.
Apalagi, dari hasil sidak saya di KPUD Bogor, 4 Mei 2019, pengiriman data oleh petugas input tanpa pindaian C1 ternyata secara sistem sebenarnya tak dimungkinkan. Artinya, alasan KPU tadi sebenarnya tak sesuai kondisi sebenarnya.
Pertanyaannya kemudian adalah: jika petugas input tak bisa mengirim file ke server KPU tanpa pindaian C1, kenapa bisa sampai ada 1 juta file dalam Situng KPU yang masuk tanpa pindaian C1? Siapa pengirimnya?
Kejanggalan ini menandakan KPU tak serius mempersiapkan infrastruktur IT-nya. Ada juga delay penampakan pindaian C1 padahal teksnya sudah muncul lebih dulu.
Kelemahan ketiga, terkait tenaga penginput data. Berdasarkan pemaparan ketua KPU, di setiap KPU Kabupaten/Kota terdapat 25 petugas input. Ada juga yang bertugas sebagai verifikator. Mereka inilah yang menjadi ujung tombak proses real count KPU.
Masalah yang kami temukan dari paparan KPU, petugas input kerap juga menjadi verifikator. Mereka inputer tapi juga verifikator. Seharusnya tak boleh. Karena, mustahil akan ada verifikasi data yang berkualitas, jika cara kerjanya tumpang tindih seperti itu. Tugas penginput dan verifikator data harus tegas dipisahkan dan dilaksanakan oleh petugas yang berbeda.
Keempat, KPU juga menyatakan tenaga input dan verifikator memiliki IP Address yang berbeda. Namun, ketika dikonfirmasi berapa total jumlah pasti IP Address petugas input data, tak ada yang mampu menyebutkannya. Data dasar seperti ini seharusnya wajib diketahui KPU.
Bahkan, idealnya KPU wajib melakukan pengawasan berkala terhadap trafik IP address. Berapa jumlah IP Address yang aktif, dari mana lokasinya, dan apa log aktivitasnya. Ini semua perlu dimonitor, sebagai antisipasi dan deteksi ketika ada IP address tak dikenal yang masuk ke dalam proses Situng KPU.
Kelemahan kelima, terkait server KPU. Informasi dari hasil pemantauan langsung, server KPU saat ini berada di tiga lokasi. Di kantor KPU, BPPT, dan Sentul. Server utama ditaruh di kantor KPU, sementara di BPPT dan Sentul difungsikan sebagai cadangan.
Setelah melihat langsung ke lokasi server di kantor KPU RI, kondisi ruang penyimpanan server sangat tidak representatif. Sistem yang digunakannya juga sederhana. Operating systemnya menggunakan linux, database mysql, dan program php. Program-program tersebut bahkan bisa diperoleh gratis.
Secara fisik, server KPU itu tak representatif. Seorang ahli IT menaksir dari segi biaya server KPU itu di kisaran 1-2 miliar rupiah. Begitupun dengan operation room-nya.
Berdasarkan keterangan yang saya dapat di lokasi, KPU juga tak menggunakan server bersertifikat ISO (The International Standardization of Organization) 27001. Padahal, sertifikat itu merupakan standar sistem manajemen keamanan informasi, atau dikenal juga dengan Information Security Management System (ISMS). Ketika ditanyakan adakah admin server di lokasi, dijawab tidak ada. Tidak ada yang tahu bagaimana mengakses server, login-nya. Sehingga belum bisa disimpulkan bahwa fisik server KPU itu benar-benar server KPU yang aktif.
Mengingat telah ditemukan banyaknya kelemahan, Situng KPU saat ini harusnya tidak diteruskan. Banyaknya kasus salah input serta proses verifikasi yang lemah, menjadikan Situng KPU sudah tak bisa lagi dijadikan instrumen kontrol penghitungan manual KPU. Sistem ini cacat. Situng KPU bisa salah hitung. Ini bisa menambah kisruh dan semakin menurunkan kredibilitas KPU di mata masyarakat.
Kita semua ingin pemilu yang sudah menghabiskan biaya 24 triliun rupiah ini, memberikan keadilan bagi semua pihak. Adil bagi peserta pemilu. Adil bagi para pemilih. Dan tentunya, pemilu yang menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden yang benar-benar mencerminkan kehendak rakyat Indonesia. Bukan Presiden salah input.