Kalau Bikin Statemen Yang Menyejukkan, Bukan Malah Menggarami Luka. Oleh: Malika Dwi Ana, Pengamat Sosial Politik.
Saya pikir orang-orang waras di kubu Jokowi musti kembali ke laptop. Indonesia yang lebih baik itu tidak bisa dicapai dengan menghancurkan orang lain. Tidak bisa juga dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Meskipun jika tujuannya mulia.
554 nyawa melayang, dan tak ada upaya investigasi maupun otopsi. Harga yang sangat mahal demi mempertahankan popularitas petahana. Jangankan prihatin, mereka justru menganggap kematian itu hal yang wajar.
Ya memang setiap yang hidup pasti akan mati, tetapi cara matinya tentu boleh dipertanyakan. Misal mati karena kelelahan seperti kesimpulan sementara banyak orang, tetap mesti diinvestigasi dengan serius, satu nyawa itu berharga, kenapa bisa bertubi-tubi berjatuhan korban hingga 554 orang. Padahal infonya dalam ilmu kedokteran itu tidak dikenal COD (Cause of death) kematian yang disebabkan oleh kelelahan.
Jika masyarakat bertanya, adalah wajar sesungguhnya, dan seyogyanya tepis keraguan masyarakat dengan pemeriksaan yang benar. Jangan salahkan reaksi sosial, yang menduga-duga begini dan begitu, karena bagaimanapun reaksi itu timbul dari adanya aksi. Sikap dingin dan ketidak pedulian pemerintah menimbulkan banyak kecurigaan.
Yang terjadi, bukannya memenuhi rasa keingintahuan masyarakat, mereka justru sibuk memainkan fear mongering soal bahaya keturunan Arab, terorisme, radikalisme dan sebangsanya. Tiba-tiba, sampai di sini saya merasa ada yang begitu kotor dalam strategi pemenangan petahana. Seperti menggarami luka yang sudah meradang.
Suara kelompok mayoritas diincar, diinginkan demi elektabilitas. Tapi disaat bersamaan, narasi yang mereka lontarkan adalah narasi permusuhan. Berusaha membentuk opini agar masyarakat benci dan mengkait-kaitkan aksi terorisme dengan pilihan politik kelompok konservatif.
Anda lihat orang yang begitu getolnya dengan politik pecah belah. Menganggap kelompok oposisi begitu jahatnya. Mudah-mudahan toko cermin masih jualan. Kurang melanggar HAM apa pembantaian Talangsari, Lampung, Tanjung Priok, kematian Munir, Timor dan Reformasi 98. Ini kartu mati bagi petahana karena memelihara penjahat HAM.
Harusnya para petinggi bikin statemen menyejukkan, bukan malah menggarami luka. Ini kohesi sosial sudah robek-robek. Masih juga bikin pernyataan seolah-olah rakyat itu lawan. Yang begini, orang tidak boleh marah?
Saat harusnya kita mikir untuk kepentingan kembali merajut kebangsaan bersama, presidennya mingkem, petingginya malah bikin pernyataan yang tidak ada nilai negarawannya sama sekali. Ahh iya saya lupa, si Mbok Mega menyebutnya petugas partai kan ya, emang bisa ngarep apa dari dia; I don’t think. Aku ramikir!