People Power Dalam Perspektif Kedaulatan Rakyat dan Hukum Demokrasi

Ideologi Terpimpin dan Sengketa Ideologis. Opini Abdul Chair Ramadhan

People Power Dalam Perspektif Kedaulatan Rakyat dan Hukum Demokrasi. Oleh: Dr. H. Abdul Chair Ramadhan SH MH, Ahli Hukum Pidana & Direktur HRS Center.

Kedaulatan (sovereignty) merupakan konsep yang biasa dijadikan objek dalam filsafat politik dan hukum tata Negara. Di dalamnya terkandung konsepsi yang berkaitan dengan ide kekuasaan tertinggi yang dikaitkan dengan negara. Dari segi epistemologis kedaulatan itu sendiri – dalam bahasa Indonesia – sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata “daulat” dan “dulatan” yang dalam makna klasiknya berarti pergantian, peralihan atau peredaran (kekuasaan).

Dalam Al-Quran yang mencerminkan penggunaan bahasa Arab klasik, kata daulat ini dipergunakan hanya dua kali (dua tempat), yaitu dalam QS. 3: 140 yang mempergunakan bentuk kata kerja “nudawiluha” (ia Kami pergantikan atau pergilirkan), dan dalam QS. 59: 7 yang mempergunakan kata kerja “dulatan” (beredar).

Jika diperhatikan, pada ayat pertama, makna kata daulat dipakai untuk pengertian pergantian kekuasaan di bidang politik, sedangkan ayat kedua menunjuk pengertian kekuasaan di lapangan perekonomian. Dengan demikian, pengertian kata kedaulatan itu dalam makna klasiknya berkaitan erat dengan gagasan mengenai kekuasaan tertinggi, baik di bidang ekonomi maupun (terutama) di lapangan politik.

Demokrasi – secara epistemologis – mengandung dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu ”demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cretein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa “demos-cratein” atau “demos-cratos” adalah keadaan Negara dimana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada ditangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintah rakyat dan oleh rakyat.

Jadi hubungan demokrasi dan kedaulatan rakyat menunjukkan hal yang sama, menunjuk pada perihal kewenangan pada rakyatnya, dimana rakyat yang menjadi prinsip utama dalam dua pengertian tersebut. Demokrasi adalah proses dinamis, menuju dan menjaga civil society yang menghormati dan berupaya merealisasikan nilai-nilai demokrasi.

Secara sosiologis, berlakunya demokrasi ditentukan oleh nilai-nilai kebudayaan masyarakat dan oleh karenanya masyarakat memiliki kedudukan dependen terhadap pemaknaan demokrasi, sesuai dengan watak, kepribadian, dan nilai yang dianut masyarakat itu sendiri. Dapat dikatakan, demokrasi merupakan hasil rekayasa yang diciptakan oleh masyarakat itu sendiri.

Dalam demokrasi terdapat dua prinsip yang paling utama yaitu, otoritas politik merupakan ekspresi dari keadilan dan hanya ada satu sumber otoritas politik, yaitu masyarakat itu sendiri. Pada pengertian rakyat terdapat pula beberapa hal yang paling mendasar, yaitu nilai yang dianut rakyat yaitu kebenaran menurut rakyat, budaya rakyat, kepentingan dan kebutuhan rakyat, kepemilikan rakyat, dan hak hidup rakyat.

Ditinjau dari perspektif hukum, demokrasi berkaitan dengan norma cara memperoleh kekuasaan dan bagaimana melaksanakan kekuasaan itu. Pada kedua hal tersebut, kekuasaan haruslah didesain sedemikian rupa dengan prinsip dari dan untuk dipersembahkan kepada rakyat, sesuai dengan pernyataan deklaratif  “government of by and for the people.”

Menurut Moh. Hatta, sifat demokratis masyarakat asli Indonesia, bersumber dari semangat kebersamaan (kolektivisme) yang melahirkan tiga ciri yaitu, rapat atau musyawarah, mufakat dan tolong menolong. Disamping ketiga ciri tersebut, Hatta juga menyebutkan dua lagi kebiasaan yang hidup dalam masyarakat asli Indonesia yakni pertama, adalah kebiasaan melakukan protes bersama terhadap peraturan penguasa yang dianggap tidak adil atau memberatkan atau penguasa justru bersikap tidak peduli terhadap kepentingan rakyat.

Kedua, kebiasaan menyingkir dari daerah kekuasaan penguasa, suatu kebiasaan yang hidup dalam masyarakat tradisional di Minangkabau dan Bugis. Keberlakuan elemen demokrasi tersebut terkait dalam hal menentukan kebenaran dan sikap terhadap penguasa, sebagaimana juga berlaku dalam demokrasi Barat.

Penerapan demokrasi juga menimbulkan dinamika politik, salah satunya gerakan reformasi yang terjadi pada bulan Mei 1998. Menurut Muladi, hakikat lahirnya reformasi disebabkan rasa ketidakpuasan terhadap perilaku penguasa dalam mengaplikasikan makna demokrasi.

Demokrasi ditentukan dan ditafsirkan secara sepihak oleh penguasa, berbeda dengan pengertian dan kehendak rakyat, serta mengabaikan kebenaran dan sikap terhadap manusia oleh penguasa pada masa Orde Baru. Tentunya, kita tidak menginginkan kembalinya karakter kekuasaan yang demikian, sebagaimana juga berlaku pada raja-raja di masa dahulu, raja dianggap “wenang wisesa ing sanagari” (berwenang tertinggi di seluruh negeri) dan rakyat hanya bisa menjawab “nderek karsa dalem” (terserah kepada kehendak raja).

Dari uraian di atas terlihat bahwa hal yang paling esensial dari makna demokrasi sebenarnya terletak pada bahasa pernyataan normatif yakni tentang kebenaran. Kebenaran inilah yang akan mempengaruhi makna demokrasi. Terkait keberlakuan demokrasi dalam hal perolehan kekuasaan secara konstitusional melalui Pemilihan Umum, maka konstitusi mempersyaratkan harus dilakukan dengan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Pasal 22E ayat (1) UUD 1945).

Di sisi lain, gerakan people power menunjuk pada dua hal penting dalam Pilpres 2019 yakni tuntutan dan dukungan. Tuntutannya, agar semua tahapan penyelenggaran Pilpres dilakukan sesuai dengan prinsip sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

Prinsip yang disebut dalam satu kalimat tersebut bukan alternatif, melainkan komulatif harus mewujud dalam pembentukan peraturan perundangundangan dan pada semua tahap pelaksanaannya. Prinsip tersebut hanya dapat terwujud, jika dilakukan dengan dasar kejujuran dan keadilan, dilakukan dengan kebenaran tanpa adanya praktik kecurangan (fraud).

Ketika terjadi dugaan kecurangan dengan menunjuk adanya pelanggaran administrasi Pemilu baik dalam tata-cara, proses maupun mekanisme yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan massif, maka disinilah letak tuntutan people power. Tuntutan yang disampaikan kepada Bawaslu, bukan termasuk tuntutan yang inkonstitusional. Tuntutan tersebut diiringi dukungan agar Bawaslu sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya menjalankan perannya secara adil (imparsial) menjunjung tinggi nilai kebenaran sebagai roh dari demokrasi.

Oleh karena itu, tuntutan dan dukungan adalah ‘senyawa’, dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan. Keduanya ‘ibarat dua sisi mata uang yang sama’. Dengan demikian, terkonfirmasi keterhubungan antara tuntutan dengan dukungan. Inilah yang menjadi esensi people power. Jadi tidak ada kaitannya tindak pidana makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintahan yang sah sebagaimana dinyatakan oleh berbagai pihak.

People power terkait dengan pernyataan normatif sebagaimana disebutkan di atas, yakni protes. Menurut Moh. Hatta tidak ada demokrasi jika tidak ada hak rakyat mengadakan protes bersama. Rakyat protes adalah hak untuk membantah dengan cara umum segala peraturan yang dipandang tidak adil. Ini mencakup hak rakyat untuk bergerak dan berkumpul dengan bebas. Hal yang demikian ini sama maknanya dengan kebebasan dalam demokrasi Barat.

Respon pemerintah terhadap people power disikapi dengan membentuk Tim Asistensi Hukum Kemenkopolhukam. Pembentukan ini patut dipertanyakan, sehubungan dengan tugas Tim melakukan kajian dan asistensi hukum terkait ucapan dan tindakan yang melanggar hukum pasca Pemilu 2019 dengan adanya frasa “untuk menentukan dapat atau tidaknya dilakukan upaya penegakan hukum”.

Masuknya para ahli hukum, guru besar, praktisi hukum, termasuk organ pemerintah dan aparat penegak hukum guna menilai dapat atau tidaknya dilakukan upaya penegakan hukum adalah tidak sesuai dengan paradigma Negara hukum. Dikatakan demikian, oleh karena kewenangan tersebut terkait dengan fungsi penyelidikan dan penyidikan, sebagai tahap awal bekerjanya proses peradilan pidana.

Disini terlihat, adanya indikasi Keputusan Menkopolhukam berpotensi menjadikan hukum sebagai ‘alat kekuasaan’. Melebihi kewenangannya (ultra vires), dan dikhawatirkan akan tercipta abuse of power. Kondisi demikian, mempertegas keberlakuan positivisme hukum secara absolut dalam penerapan hukum untuk kemudian menjadi dalil pembenaran penguasa. Dalam kacamata positivisme tiada hukum lain, kecuali perintah penguasa “law is command from the lawgivers”.

Padahal, menurut UUD 1945, aksiologi hukum disebutkan secara expressive verbis “kepastian hukum yang adil”, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28D ayat (1), yang berbunyi : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” Konstitusi mengikuti aksiologi hukum aliran hukum alam/kodrat dengan mengacu kepada nilainilai keadilan yang bersifat mendasar (fundamental) dan aliran postivisme hukum dengan mengacu kepada nilai kepastian hukum yang menunjuk pada hukum formal (peraturan perundang-undangan).

Oleh karenanya, dalam peraturan perundangundangan baik secara formil maupun materil harus mengandung kepastian dan keadilan. Jadi, tidak semata-mata kepastian hukum belaka. Namun harus pula mengacu dan mengedepankan keadilan yang bersifat mendasar. Baik dalam proses pembentukannya maupun dalam proses pelaksanaannya.

Dengan adanya Tim Asistensi Hukum ini, maka timbul kekhawatiran bahwa preskripsi-preskripsi yang digunakan sebagai premis mayor (dasar hukum), akan terlebih dahulu ditentukan premis minornya sebagai perbuatan yang melawan hukum. Jika ini yang terjadi, maka kondisi yang demikian adalah tindakan penyalahgunaan penerapan hukum atau populer di masyarakat disebut kriminalisasi.

Dalam konsepsi Negara hukum, kepentingan hukum (rechtebelang) yakni, kepentingan hukum individu (individuale belangen), kepentingan hukum masyarakat (sosiale belangen) dan kepentingan hukum negara (staats belangen), harus dilindungi. Kepentingan hukum individu dan kepentingan hukum masyarakat disebut mendahului kepentingan hukum Negara. Maknanya kewajiban Negara harus ada terlebih dahulu dalam menjamin kepentingan individu dan masyarakat.

Barulah setelah itu melekat kewajiban masing-masing individu untuk turut bertanggungjawab terhadap kepentingan hukum Negara. Kepentingan hukum itu sangat terkait erat dengan cita hukum (rechtsidee) itu sendiri yang mensyaratkan terpenuhinya tiga unsur yang selalu menjadi tumpuan hukum. Yakni keadilan (gerechtigkeit), kepastian (rechtsicherheit) dan kemanfaatan (zwechtmassigket).

Dalam memfungsikan penegakan hukum, maka ketiga tumpuan hukum tersebut harus mendasari baik dalam tahap pembentukan hukum maupun dalam tahap aplikasikasinya. Apabila kepastian dan keadilan tidak dapat diwujudkan secara bersamaan, maka dapat dipastikan tidak akan pernah muncul kemanfaatan.

Tujuan akhir demokrasi adalah kebahagiaan hidup. Kemanfaatan bagi rakyatlah sesungguhnya segala kegiatan ditujukan dan diperuntukkannya segala manfaat yang didapat dari ada dan berfungsinya kegiatan bernegara itu. Inilah gagasan kedaulatan rakyat atau demokrasi yang bersifat total dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat dan bersama rakyat.

Keberlakuan demokrasi terkait dengan masyarakat madani (civil society) dalam arena sosial yang mengandung kebebasan (freedom) dan perserikatan sukarela (voluntary association). Civil society adalah ‘tiang utama’ kehidupan politik yang demokratis, yang akan melindungi warga negara dari perwujudan kekuasaan Negara yang berlebihan.

People power merupakan perwujudan demokrasi dan paham kedaulatan rakyat untuk menuju masyarakat madani yang substansial. Untuk itu kebebasan untuk berserikat, berunjuk rasa, dan sebagainya, yang dalam literatur disebut sebagai “representation in ideas” tetap dimungkinkan meskipun sudah ada lembaga parlemen. Dengan kata lain, keberadaan badan atau lembaga perwakilan rakyat itu sama sekali tidak dapat mengurangi makna kedaulatan. Yang dimiliki oleh rakyat yang berdaulat itu.

Kesimpulan dalam tulisan ini, bahwa dalam hal pemenuhan hak-hak politik warga Negara. Terkait menyikapi pelaksanaan Pilres 2019 wajib didasarkan pada asas “equality before the law”. People power termasuk bagian hak-hak politik waga Negara yang wajib untuk dihormati dan dijamin keberadaannya. Bukan malah sebaliknya dipersepsikan sebagai suatu ancaman bagi kekuasaan.

Loading...