Redefinisi Hubungan Antara Pusat dan Daerah. Oleh: Malika Dwi Ana, Penggiat Institute Study Agama dan Civil Society.
Membaca pernyataan Muzakir Manaf bahwa, “…sebaiknya Aceh menempuh jalan referendum, meniru Timor Timur,” sontak membuat banyak orang terperangah. Moalem, nama perang Muzakir saat menjadi panglima GAM, menyebutkan alasan bahwa, “…negara Indonesia ini tak jelas soal keadilan dan demokrasi. Indonesia diambang kehancuran dari sisi apa saja.”
“Dari pada kita dijajah orang lain, lebih baik kita (Aceh) berdiri di atas kaki sendiri. Mudah-mudahan, ini adalah satu usaha dan pemikiran bangsa Aceh saat ini. Mudah-mudahan dengan niat kita semua, lebih baik kita mengikuti Timor-Timur, Insya Allah,” tegas Mualem kembali yang disambut yel-yel hidup Mualem dan “merdeka!”.
Mualem juga menilai, “Kita tidak dapat bayangkan lagi, persoalan bangsa Indonesia, semakin hari semakin menumpuk. Indonesia terjerat pada berbagai persoalan. Ini seperti nasib beberapa negara di Afrika. Ini perlu kita camkan, kita berharap Indonesia ini dipimpin oleh sosok yang baik. Mudah-mudahan aman dan damai semuanya,” tutup Mualem, mengakhiri sambutannya.
Reaksi Aceh sangat berkaitan dengan prinsip keadilan. Aceh barangkali melihat bahwa di dalam isu kecurangan pemilu yang merebak belakangan ini mengisyaratkan ketidak-adilan yang sistemik. Reaksi Aceh tentunya telah menimbang bahwa ketidakadilan yang terjadi bukan karena sifat perorangan, melainkan sifat dari sistemnya. Aceh menolak sistemnya!
Tetapi, saya tidak tertarik dengan upaya pemisahan diri. Mau referendum damai atau bahkan dengan kekerasan, efeknya akan tetap merugikan. Rencana referendum Aceh saya pikir akan mendapatkan framing terkait issue ISIS, radikalisme, dan khilafah dengan dikaitkan-kaitkan penerapan hukum syariat di sana. Umpan lambungnya biasa dilakukan oleh aktivis liberal dan Islamphobia dengan ramuan aparat keamanan berupa penemuan gudang senjata kedepannya, misalnya.
Apapun sangat dimungkinkan terjadi oleh penyelengara kekuasaan. Dan issue itu pastinya akan digoreng habis-habisan, sehingga menumbuhkan ketakutan. Soal perpecahan? Emang mereka pikirin? Tidak! Yang penting orang merasa takut, mau pake manajemen konflik; dengan kembali menerapkan DOM ya buat mereka dimungkinkan saja tak terbendung.
Lepas dari asumsi-asumsi mengerikan di atas, mungkin ini saatnya untuk bicara otonomi daerah yang berkesungguhan. Bukan kayak model sekarang; otonomi setengah hati.
Jika melongok sejarah, narasi ikatan kebangsaan terbentuk dalam periode 1928. Di mana pemuda-pemuda dari berbagai daerah menyatakan ikrar satu Nusa, satu Bangsa, dan satu Bahasa yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda. Dan kemudian menyatakan proklamasi kemerdekaan di tahun 1945 M, dengan bentuk negara kesatuan yang memberlakukan sistem sentralisasi, di mana segala sesuatu dalam negara itu langsung diatur dan diurus oleh pemerintah pusat, lalu daerah-daerah tinggal melaksanakannya.
Secara umum bentuk negara kesatuan mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1) Negara mempunyai kedaulatan ke dalam dan ke luar yang dipegang oleh pemerintahan pusat.
2) Dipimpin oleh seorang pemerintah pusat yaitu kepala negara dan memiliki satu lembaga perwakilan rakyat (DPR)
3) Hanya ada satu kebijakan yang menyangkut persoalan politik, ekonomi (fiskal dan moneter), peradilan atau yustisi, agama, serta pertahanan dan keamanan.
Kemudian di era reformasi, tuntutan agar sistem berubah desentralisasi menguat. Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi itu memberikan kesempatan dan kekuasaan kepada kepala daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri dengan kata lain disebut otonomi daerah.
Perbedaan utama negara federal dan daerah otonom itu biasanya pada soal tentara. Negara federal bisa punya tentara sendiri tapi daerah otonom tidak boleh. Sisanya sih harusnya sama. Self government, dan Self administrative.
Di Indonesia daerah otonom diberikan pada daerah tingkat II, tapi boleh dibilang cuma sekedarnya. Otonomi dalam konteks yang utama adalah soal ekonomi. Padahal otonomi itu bukan cuma soal duit. Otonomi itu justru digerakkan melalui identitas, budaya dan bahkan ideologi.
Salah satu hal yang merugikan kemajuan bangsa dalam bingkai NKRI ini adalah keinginan untuk melakukan penyeragaman dan kendali Jakarta, ibukota negara yang terlalu berlebihan. Misalnya, pendidikan itu seharusnya dimaksudkan untuk meningkatkan kapabilitas mengelola sumberdaya. Lalu jika sumberdaya ditiap daerah berbeda tapi pendidikannya memakai satu sistem; Pendidikan Nasional, ya kemungkinan bisa tidak nyambung.
Kontrol pusat yang terlalu berlebihan itu membuat sesak nafas. Daerah dibuat tidak bisa melakukan apa-apa tanpa ijin dari pusat dan semua resource jadi sesajen bagi pusat. Matilah.., maka tidak aneh jika kemudian muncul suara-suara yang menginginkan redefinisi hubungan pusat-daerah.
Saya rasanya tidak perlu ngasih contoh soal kendali Jakarta. Terlalu menyakitkan hati bagi daerah-daerah dengan SDA yang kaya tapi tetap jadi miskin karena keserakahan Jakarta. Ini harus kita perbaiki melalui otonomi sepenuhnya.
Udah gitu ajah, asli saya kesal sama kerjaan elit negara ini, kerjanya mancing-mancing emosi perpecahan terus.