Pelajaran Berharga dari Lukman Hakim. Oleh Miftah H. Yusufpati, Wartawan Senior.
Semoga saja Lukman Hakim Saifuddin sehat dan aman-aman saja. Jangan sampai Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menyematkan tersangka atas diri Menteri Agama tersebut. Harapan seperti itu sah dan wajar, di tengah krisis kepercayaan yang melanda umat Islam terhadap pemimpin politik mereka.
Hanya saja, harapan tersebut tentu saja bisa menjadi berlebihan jika kita menengok terungkapnya satu per satu fakta bahwa Lukman terindikasi terlibat urusan yang awalnya diduga receh dan remeh temeh tersebut.
Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini masuk dalam belitan kasus suap jual beli jabatan yang diduga melibatkan Romahurmuziy. Kasus suap yang menyeret nama Lukman Hakim ini terekspos setelah Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur, Haris Hasanudin, didakwa oleh KPK telah menyuap bekas ketua PPP Romahurmuzuy dan Lukman untuk memuluskan dirinya menduduki jabatan sebagai kepala kantor wilayah.
Haris mengaku dirinya memberi Lukman Rp10 juta pada 9 Maret 2019 di Jombang. Aduh, receh banget kan?
Benar, nilai uang yang dituduhkan Haris jelas kecil. Namun, tatkala KPK menggeledah ruang kantor Lukman di Kementerian Agama mengundang publik terpana. Penyidik menemukan uang Rp180 juta dan US$30 ribu. Selanjutnya penyidik menyita uang US$30 ribu di laci ruang kerja Menag itu. Jika dirupiahkan (Rp14.100 per dolar), maka duit sebanyak itu bernilai sekitar Rp423 juta. Jadi, total duit berupa dolar dan rupiah itu menjadi sekitar Ro603 juta.
Awalnya, tidak jelas duit dari mana yang tersimpan di laci itu. Dari pengakuan Lukman, uang itu adalah akumulasi dari dana operasional menteri yang diperolehnya. Baik itu dari honorarium yang diterima dari berbagai kegiatan seperti ceramah dan pembinaan, dan urusan lain di dalam dan luar kementerian agama. Sebagian dari uang itu juga menurutnya adalah dana sisa perjalanan baik ke luar atau pun dalam negeri.
Soal duit US$30 ribu, asal-usulnya baru terungkap pada Rabu, 26 Juni 2019. Kala itu, Lukman dihadirkan dalam persidangan sebagai saksi terdakwa Kepala Kanwil Kemenag Jawa Timur, Haris Hasanuddin.
Lukman menyebut uang US$30 ribu tersebut pemberian Atase Agama Arab Saudi, Syekh Ibrahim, terkait kegiatan MTQ Internasional yang digelar di Indonesia. “Itu dari keluarga Amir Sultan, karena rutin keluarga Raja mengadakan MTQ Internasional Indonesia,” jelasnya. Duit itu diberikan di ruang kerja Menag pada Desember 2018.
Sebagai penyelenggara negara, Lukman mestinya tahu bahwa dirinya tidak boleh menerima gratifikasi dalam bentuk apapun. Termasuk uang dan barang. Namun pemberian itu justru tak dilaporkan ke KPK.
Lumayan Tajir
Soal duit, putra Menteri Agama ke-9, Saifuddin Zuhri, ini lumayan berlimpah. Dari catatan LHKPN KPK, harta Lukman berjumlah Rp7,8 miliar dan US$144.672 atau sekitar 8 miliar lebih.
Duit sebanyak itu terdiri aset bergerak dan tidak bergerak. Lukman punya aset tidak bergerak berupa tanah dan bangunan senilai Rp1,3 Miliar. Kemudian dia juga memiliki kendaraan yang cukup banyak. Beberapa koleksi mobilnya antara lain Suzuki SX4, Toyota Vellfire, Nissan Latio, Honda CR-V, Suzuki AVP, dan Toyota New Camry. Semua itu nilainya sekitar Rp1,3 miliar.
Di luar itu, Lukman juga punya aset berupa perhiasan senilai Rp174,3 juta. Lalu, surat berharga senilai Rp2,8 miliar dan US$10 ribu serta aset berupa giro dan setara kas senilai Rp2,29 Miliar dan US$104.672. Jadi, Lukman jelas lumayan tajir.
Pelapor Gratifikasi
Dengan kekayaan yang begitu berlimpah rasa-rasanya kurang masuk di akal jika Lukman masih tergoda dengan duit Rp10 juta dari Haris. Hanya saja, bisa saja orang berpikir nakal: sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit.
Lagi pula, Kemenag memang dikenal berlahan basah. Urusan gratifikasi lumayan subur di sini. Wajar saja, jika di antara pejabat negara, Lukman tercatat sebagai menteri yang tergolong paling besar mengembalikan gratifikasi. Konon, yang bisa mengalahkan Menteri Agama hanya Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla.
“Sejak menjadi penyelenggara negara, Menag tercatat beberapa kali melaporkan gratifikasi,” ujar Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Agama, Mastuki, suatu ketika.
Menag bahkan pernah menerima penghargaan dari KPK sebagai salah satu pelapor gratifikasi dengan nilai terbesar yang ditetapkan menjadi milik negara. Penghargaan disampaikan pada peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) 2017. Hanya ada tiga orang yang mendapat penghargaan itu, yaitu: Presiden, Wapres, dan Menag Lukman Hakim Saifuddin.
”Pak Lukman mengembalikan gratifikasi ke KPK, semuanya ada bukti penerimaan pengembaliannya. Bahkan pernah mengembalikan perhiasan berlian hampir Rp4 miliar. Beliau selalu menolak yang bukan haknya. Sehingga kemudian KPK menyebut Pak Lukman sebagai pejabat yang patuh pelaporan gratifikasi. Itu fakta,” ujar Mastuki lagi.
Ya, itu adalah fakta. Itu sebabnya sayang sungguh sayang, jika menteri yang baik itu sampai terpeleset gratifikasi apalagi suap. Lukman tidak menyadari bahwa dirinya telah masuk dalam pergaulan politik yang keliru. Boleh jadi ia lupa tentang nasihat: Jauhilah orang-orang yang berbuat jahat, niscaya kau terhindar dari akibat kejahatan mereka!