HARIANNKRI.COM – Ketua Lembaga Perlindungan Anak GENERASI Ena Nurjanah menyebut peristiwa kerusuhan yang terjadi tanggal 22 mei 2019 di depan Gedung Bawaslu dan demonstrasi massa tanggal 26 juni 2019 menjelang putusan MK membuktikan masih banyaknya anak-anak yang dilibatkan dalam aktivitas politik. Dengan wajah-wajah yang lugu mereka meneriakan pembelaan kepada salah satu pihak tanpa mengerti lebih lanjut maksud dari pembelaan yang mereka lakukan.
Ena Nurjanah menjelaskan, anak-anak ini umumnya datang dari luar Jakarta. Mereka punya semangat pembelaan yang tinggi terhadap tokoh atau kelompok tertentu. Namun ada juga yang tidak paham maksud kedatangan mereka. Mereka datang hanya berdasarkan ajakan atau suruhan orang dewasa.
“Semua yang dilakukan oleh anak-anak sudah bisa dipastikan merupakan hasil tindakan orang dewasa. Dunia politik sama sekali bukan ranah yang anak-anak pahami. Anak-anak tidak pernah punya kepentingan dalam kegiatan yang mereka lakukan. Tetapi orang dewasalah yang memiliki agenda dan kepentingan dengan menggiring anak-anak dalam kancah politik praktis,” kata Ena Nurjanah dalam pernyataannya, Minggu (20/6/2019).
Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA) no.35 tahun 2014 sebenarnya sudah gamblang menyatakan larangan pelibatan anak dalam kegiatan politik, sekaligus memuat point tentang sanksi hukum yang diberikan terhadap para pelanggar pasal tersebut.
Pasal 15 dari UU PA menyatakan bahwa anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari : a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik; b. pelibatan dalam sengketa bersenjata; c. pelibatan dalam kerusuhan sosial; d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan e. pelibatan dalam peperangan.
Kemudian sanksi hukum terhadap para pelanggarnya ada di dalam Pasal 87. Yang menyatakan bahwa Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76H (yaitu bahwa setiap orang dilarang merekrut atau memperalat Anak untuk kepentingan militer dan/atau lainnya dan membiarkan Anak tanpa perlindungan jiwa), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak 100 juta rupiah.
“Dengan melihat kasus yang masih hangat terjadi, pelibatan anak dalam dunia politik nampaknya belum ada kata berhenti. Anak-anak masih terus saja menjadi komoditas politik. Kerentanan pemahamanan anak telah dijadikan sarana bagi mereka. Yang punya ambisi untuk memasukkan pemahaman orang dewasa dalam benak anak-anak yang polos,”ujar Ena Nurjanah.
Anak – anak sesungguh berada dalam tahap pemikiran yang sangat kaku, sempit, dan tidak luwes. Pandangan moral mereka masih sangat lemah. Anak-anak belum memiliki kemampuan untuk memahami akan konsekuensi terhadap apa yang mereka lakukan.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak GENERASI ini menjelaskan bahwa anak-anak adalah figure yang masih terus bertumbuh dan berkembang. Cara berpikir mereka juga masih terus berproses untuk menjadi matang. Maka wajar saja seorang anak dengan mudah kagum dengan tokoh yang mereka lihat punya kekuatan atau popularitas.
Kerentanan cara berpikir anak juga membuat seorang anak dengan mudah tunduk kepada pihak yang lebih berkuasa, punya otoritas, baik itu orangtua, guru, maupun orang dewasa lainnya yang memiliki relasi kuasa atas dirinya. Cara berpikir anak yang belum matang membuatnya sangat mudah untuk dimanfaatkan dan diarahkan untuk melakukan tindakan-tindakan yang diinginkan oleh orang dewasa.
“Dengan demikian, sudah selayaknya dipahami oleh semua pihak bahwa setiap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak dalam dunia politik. Maka yang seharusnya disasar adalah para orang dewasa,” tegas Ena Nurjanah.
Ia sangat menyayangkan hingga saat ini hampir belum pernah ada orang dewasa yang dijadikan tersangka dan dikenai sanksi atas perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak-anak. Hampir selalu kasus hukum anak-anak dalam politik praktis akan berhenti pada penanganan terhadap anak-anaknya dengan melibatkan dinas/kementerian sosial.
Jika melihat kondisi tersebut, Ketua Lembaga Perlindungan Anak GENERASI merasa wajar kalau hingga saat ini anak masih menjadi sasaran pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Untuk memenuhi kepentingan politik praktis orang perorang maupun kelompok .
“Hal ini harusnya menjadi perhatian serius pemerintah yang telah menerbitkan Undang-Undang perlindungan Anak Nomor 35 tahun 2014. Sudah sejauh mana implementasi dari sanksi hukum ini dijalankan? Dan yang paling penting adalah “Kapan anak-anak berhenti menjadi sasaran empuk orang dewasa yang berpolitik?” tutup Ena Nurjanah. (OSY)