Ironi Negeri Dzulumat ILan-Nur. Oleh: Malika Dwi Ana, Penggiat Institute Study Agama dan Civil Society.
Jika kita berada dalam kegelapan, yang kita cari sebenarnya adalah jalan agar bisa bertemu Cahaya. Cahaya materi itu bisa saja nyala lampu, atau terangnya matahari dan bulan. Tetapi hakikat Cahaya adalah yang imateri, cahaya yang dipancarkan oleh Sang Pemilik Segala Sumber Cahaya.
Manusia sendiri adalah hakikatnya makhluk cahaya, jika ditaruh dalam tempat yang gelap, tubuhnya akan memendarkan cahaya yang wujudnya bisa redup, berpendar kuat bahkan bisa juga suram. Semakin ia rajin membersihkan cermin dirinya, maka semakin ia kuat memantulkan CahayaNya. Pantulan Cahaya Allah itulah yang akan menyebar ke segala penjuru alam semesta. Yang dalam bahasa spiritualnya disebut Rahmatan Lil ‘Alamin, rahmat bagi seluruh alam.
Maka dzulumat ilan-nur artinya adalah keadaan gelap gulita. Di mana tak tampak apapun. Bukan tidak memiliki mata dan hati untuk melihat, tetapi tidak punya kesanggupan untuk melihat cahaya (Nur).
Di dalam kegelapan, otak encerpun jadi ragu, linglung dan limbung. Langkah kaki kuatpun, tersandung-sandung, dan akhirnya nabrak-nabrak. Kemerosotan peradaban seperti kekacauan, kerakusan, konflik sosial, peperangan, benturan politik dan dekadensi akhlak adalah di antara situasi yang menonjol di puncak jaman kegelapan.
Hati manusia tidak lagi tertuju kepada Tuhan. Nilai-nilai luhur yang diajarkan melalui kitab-kitab yang dibawa para utusanNya tidak lagi melandasi dan memandu perbuatan manusia. Dinarasikan pula bahwa bahkan “manusia yang berhati sebaik emas pun kemudian merosot menjadi berhati semulia perak, lalu merosot lagi senilai tembaga dan akhirnya menjadi sekeras besi yang nilainya rendah dibanding dengan logam-logam lainnya”.
Dijaman kegelapan, kepuasan hatilah yang menjadi tujuan utama dari kehidupan manusia. Apabila manusia sudah dapat memenuhi segala hasrat yang bersifat keduniawian, berupa harta dan tahta, maka puaslah hati orang tersebut. Manusia tidak lagi memiliki harga diri, tidak punya martabat dan kehormatan. Bahkan para pemuka agama, para perwira dan para cendekiawan, kehilangan kehormatannya dengan mengabdi di kaki orang-orang kaya (Taipan).
Agama diperalat untuk meraih kekuasaan dan mengeruk kekayaan semata. Para rohaniawan pemuka agama, juga para pemimpin juga dihina oleh umat dan bawahannya, dikarenakan perilaku mereka yang tidak lagi pantas untuk diteladani.
Jika diibaratkan sebuah kapal, tanpa cahaya suar kapal bisa oleng menabrak karang, perompak berdatangan membobol keutuhan kapal, menguras isinya, dan berakhir membunuhi awak kapal, berikut penumpangnya… lalu meninggalkannya karam di dasar samudera kehidupan. Itulah kira-kira analogi kapal besar bernama NKRI saat ini.
Boleh jadi kapal besar NKRI mungkin tidak tenggelam, tetapi diganti struktur bangunannya menjadi sangat mewah, tetapi dengan bendera yang bukan lagi bendera NKRI, artinya bukan milik kita lagi. Penumpang asli yang tersisa di kapal memutuskan menjadi centeng, kacung, jongos dan gedibal, demi menyelamatkan perut, dan seonggok kursi agar tetap berkuasa. Sebagian lagi cukup puas bersorak-sorai dengan lemparan nasi bungkus tak seberapa demi mengganjal kelaparan yang merongrong sudut perutnya.
Gerombolan yang lain berebut kursi untuk bisa duduk nyaman, tidur, bisa makan dan nyemil hingga tujuh turunan. Tidak peduli bahan bakar kapal menipis hingga satu persatu penumpangnya yang lemah dan suka memberontaki dilempar menjadi bahan bakarnya. Sebagian lagi, tapi tak banyak jumlahnya tetap melakukan perlawanan dan bergerilya di lorong-lorong gelap dek kapal. Menyalakan lilin-lilin kecil, dengan resiko tertangkap dan dipenjara.
Narasi diatas mirip yang digambarkan oleh Ranggawarsita sebagai puncak jaman edan. Sepotong jaman dimana “yen ora melu edan ora keduman.” Berbondong-bondong orang dengan sukarela dan sukacita mengikut menjadi edan (gila). Dan lupa bahwa “sak begja-begjane wong kang edan, isih luwih begja kang eling lan waspada.” Konsep spiritual Jawa menyebut situasi kegelapan dan keruntuhan seperti narasi diatas sebagai jaman Kaliyuga. Dari sudut pandang ilmiah, sosiolog dan futurolog Francis Fukuyama menyebut situasi yang kita hadapi seperti itu sebagai “great disruption”, alias guncangan besar.
Coba kita bantu menyalakan sebuah lilin demi penerang dalam kegelapan. Mudah mudahan bisa membantu membukakan cakrawala kesadaran agar tetap eling dan waspada.
Garuda merugi. Pertamina merugi. BPJS merugi. Sejumlah BUMN rugi, bahkan nyaris bangkrut. Hutang negara bertambah besar. Infrastruktur digenjot, tetapi perekonomian masyarakat tak kunjung meningkat. Defisit perdagangan, import garam, beras, jagung, daging, hingga ke limbah (sampah) plastik. Sedangkan ekspor terus menurun. Belanja terus, tetapi pemasukan tekor terus, karena sejumlah kebocoran disana-sini. Ya maklum saja, tikusnya bejibun. Diracun gak mempan… yang meracun malah disatroni, kalo perlu disiram air keras (matanya).
Coba nyalakan satu lililn lagi. Anda akan melihat semriwing aroma busuk ketidak adilan. Tetamu berbondong bondong mencari kerja disini. Berebut lahan pekerjaan dengan anak cucu yang melongo dan ngenes, dikalahkan persaingan yang mereka tidak mengerti maksud dan tujuannya, lalu kenyang dihibur asa palsu. Kartu pra-kerja membuat mereka berhalusinasi tentang hidup layak dan sejahtera. Diberikan angin sorga tentang dongeng kartu-kartu, sehat, pintar, bahagia dan lain-lain. Seolah perut bisa dikenyangkan, dan dibahagiakan dengan kartu.
Begitulah… di negeri dzulumat ilan-nur, pemimpinnya menjual harapan, dan kita tersenyum palsu, menerima kenyataan bahwa harapan itu seperti racun yang disamarkan. Diberikan rasa madu, manis memabokkan dalam citranya, tapi itu seperti potasium sianida yang mematikan.
Lalu jika kita nyalakan lampu yang agak besar. Ternyata banyak terlihat genderuwo dan sontoloyo bahkan wewe gombel gentayangan sedang asyik melahap keju susu anak negeri, di rumah si Pandir buruk rupa.