Republik Indonesia Bab Dua/Pasca Jokowi (14): Kriminalisasi (1). Oleh: Sri-Bintang Pamungkas, Aktivis.
Dalam Bahasa Indonesia sudah jelas, “Kriminalisasi” adalah upaya menjadikan seseorang atau lebih seakan-akan pelaku tindak pidana kriminal… Lalu menjadi Tersangka, Terdakwa dan bahkan Narapidana. Orang dicari-cari kesalahannya untuk menjadi Tersangka, baik lewat proses penyelidikan dan penyidikan terlebih dulu atau samasekali tidak.
Kriminalisasi adalah bahasa aktivis, bukan bahasa Polisi atau Jaksa… Karena, justru dari kedua organ Negara itulah orang atau banyak orang menjadi tertuduh seakan-akan melakukan tindak pidana kriminal dan dihukum.
Tidak bisa dihindarkan, pada akhirnya organ Negara lain juga menjadi tersangkut, seperti Hakim atau Majelis Hakim yang akhirnya mengadili perkara pidana tersebut. Mereka pun terlibat dalam peristiwa Kriminalisasi itu, apalagi kalau Kriminalisasi itu berhasil: Si Tertuduh Korban Kriminalisasi itu akhirnya benar-benar divonis dengan penjara.
Tidak jarang dalam rangka Kriminalisasi itu, Pengacara Pembela Korban Kriminalisasi itu ikutserta terlibat dalam persekongkolan. Yaitu dengan meringankan hukuman, sekalipun seharusnya Terdakwa bebas murni dari segala dakwaan. Kalau persekongkolan itu terjadi, maka perkaranya tidak cuma Kriminalisasi, tapi lebih luas lagi… yaitu menyangkut Mafia Peradilan. Sudah ada beberapa tulisan saya tentang Mafia Peradilan ini.
Kembali ke Kriminalisasi… Kriminalisasi sedikit banyak menyangkut masalah Politik, karena itu juga ada istilah Pidana Politik. Wilayah Ilmu ini disebut dengan Hukum Politik. Belum ada Matakuliah tentang Hukum Politik… sesuatu yang harus mulai disusun silabusnya…
Satu contoh saja untuk.memperjelas Krimilinalisasi. Seorang Dokter wanita di Sumatera Barat menulis dalam Facebook (FB), bahwa isteri Hadi, Panglima TNI, bernama Liem Siok Lan. Tidak lama kemudian dia ditangkap, menjadi Tersangka, dibawa ke Rutan, ditahan lalu diperiksa Penyidik… selanjutnya dijadikan Terdakwa dan diadili di PN dan dijatuhi hukuman penjara sekian tahun, karena terbukti secara meyakinkan melanggar UU ITE.
Tidak diawali dengan proses Penyelidikan untuk melihat Perkaranya… tidak ada pula Penyidikan untuk mencari Bukti dan menetapkannya sebagai Tersangka… Karena semuanya sudah ada di otak para Penyelidik/Penyidik ketika menjalankan aksinya menangkap dan sekaligus menetapkannya sebagai Tersangka. Tentulah itu semua dilakukan dengan sadar dan sengaja melanggar UU, yaitu KUHAP. Semua pelanggaran itu, menangkap, menahan, menggeledah, menyita dan menetapkan Tersangka dengan cara melanggar KUHAP adalah Kriminalisasi.
Tindakan sewenang-wenang oleh Hamba Penegak Hukum itu dilakukan karena ada kekuatan dari Elit Politik. Dalam Kasus di atas, adalah Panglima TNI dan Kapolri yang keduanya diangkat oleh Presiden dan menjadi orang-orangnya Presiden.
Apa sebenarnya Politik itu?! Politik adalah segala hal yang.menyangkut Rakyat, Negara, Pemerintah dan Lembaga2 Tinggi Negara berikut orang-orangnya. Jadi, ketika seorang Ibu Rumahtangga memprotes kenaikan harga-harga dan TDL kepada Pemerintah, maka itu adalah Peristiwa Politik. Peristiwa Politik seharusnya diselesaikan secara Politik. Dengan kekuasan dan kebijakannya, harga-harga bisa diturunkan… Maka selesai. Tetapi kalau si Ibu ditangkap dengan anggapan “bikin gaduh”, maka terjadilah Kriminalisasi. Di antara Ranah Politik dan Ranah Hukum itu sengaja dibangun Kriminalisasi.
Di dalam Ranah Politik itu sendiri sudah ada ikatan dengan banyak aturan sosial, ekomomi, budaya, agama, HAM, hukum dan lain-lain.Ranah Politik itu seperti sebuah Konstitusi. Sehingga perkara Si Ibu Rumahtangga itu bisa diselesaikan secara Politik pula, tanpa mengaitkannya dengan Hukum Pidana. Tetapi kalau Ranah Hukum dibuat terpisah dari Ranah Politik, maka terjadi Kriminalisasi Perkara Politik.
Kalau mengkritik Presiden dibawa ke ranah Hukum, tanpa menanyakan dulu apa Presiden merasa terhina atau terfitnah dengan kritik-kritik itu, maka terjadilah Kriminalisasi. Supaya tidak terjadi Kriminalisasi terus-menerus, karena di Konstitusi ada hak setiap orang menyampaikan pendapat dan setiap warganegara berkedudukan sama dalam hukum dan pemerintahan, maka Pasal 134, 136.bis dan 137/KUHP harus dicabut… Dan sudah dicabut!
Demikian pula, kalau nama Liem Siok Lan sebagai isteri Panglima TNI Hadi dibawa ke ranah Hukum terjadilah Kriminalisasi itu. Padahal tidak perlu… Cukup pendapat Si Ibu Dokter itu diselesaikan, misalnya dengan mengatakan: “Bu Dokter, Liem Siok Lan itu isteri Mayjen (Pur) Saurip Kadi…”. Kasus selesai dengan pendekatan Politik, politik kekeluargaan!
Lalu kenapa Bu Dokter harus dihukum berat?! Karena Rezim Kekuasaan sedang jatuh cinta kepada Bangsa Cina, sehingga setiap kali ada kata Cina atau yang berbau Cina, Rezim menjadi sensitif seakan-akan ada suasana SARA…
Sehingga, membongkar-bongkar Korupsi Ahok saja, atau bilang “bahayanya Cinaisasi” saja, langsung dicomot menjadi Tersangka. Polri sendiri sudah siap dengan Gebugan Kriminalisasinya… Padahal Polri adalah Alat Negara, Penegak Hukum dan bukan Alat Rezim…. (bersambung)