HARIANNKRI.COM – Wakil Ketua Fraksi PKS DPR-RI, Mulyanto menilai pemerintah gagal dalam menjaga keseimbangan primer Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Ia juga menyayangkan tindakan pemerintah yang gali lobang tutup lubang untuk menutupi hutang, sementara potensi penerimaan sektor migas masih sangat besar.
Memasuki tahun 2020, mantan Rektor Universitas Mataram ini meminta Pemerintah untuk memperbaiki keseimbangan primer APBN dan defisit transaksi berjalan (DTB). Upaya ini diyakini mampu meningkatkan penerimaan dan menyetop impor migas.
Menurut Mulyanto, alasan menyebut pemerintah gagal diantaranya karena ada dua catatan negatif yang mencolok dari laporan realisasi APBN 2019. Yakni soal keseimbangan primer dan defisit transaksi berjalan. Keduanya sangat terkait dengan sektor migas.
Ia menjelaskan, keseimbangan primer adalah penerimaan Negara dikurangi belanja, diluar pembayangan bunga utang. Idealnya posisi pendapatan lebih besar daripada belanja negara. Dengan demikian kondisi keuangan dapat dikatakan aman. Sementara jika pendapatan lebih kecil daripada belanja maka untuk membayar bunga hutang diperlukan hutang baru. Ibarat gali lobang, tutup lubang.
“Pada tahun 2018 kesimbangan primer APBN minus Rp 11,5 T, sedangkan tahun 2019, sebagaimana dilaporkan pemerintah mencapai minus Rp 77,5 T. Anjlok lebih dari 300 persen,” kata Mulyanto.
Ia menilai, penyebabnya selain karena penerimaan pajak yang rendah, juga adalah karena penerimaan sektor migas yang tidak mencapai target. Untuk sektor migas, hal ini disebabkan oleh lifting migas yang terus merosot dari tahun ke tahun. Alih-alih meningkatkan, pemerintah gagal mempertahankan nilai angka lifting minyak yang sudah turun di tahun 2018.
“Tahun 2017 angka lifting minyak kita sebesar 804 ribu barel per hari. Melorot di tahun 2018 menjadi sebesar 778 ribu barel per hari. Dan kembali anjlok di tahun 2019 menjadi sebesar 741 ribu barel per hari. Akibatnya penerimaan dari sektor migas terus turun,” tuturnya.
Sementara itu, tambah Mulyanto, defisit transaksi berjalan, selisih antara nilai ekspor dan impor pada tahun 2018 mencapai minus 31.1 milyar USD. Untuk pada tahun 2019 angkanya pun relatif tidak jauh berubah.
“Dari nilai defisit ini kontribusi sektor migas mencapai sekitar 30%. Ini artinya perdagangan kita tekor terus, terutama sektor migas, khususnya impor minyak olahan. Terkait impor minyak olahan, defisit transaksi berjalan kita mencapai USD 16 miliar atau setara dengan Rp 230 triliun. Ini bukan angka yang kecil. Dan tentu akan sangat menguras devisa kita,” tegas Mulyanto.
Menghadapi kondisi ini, seharusnya pemerintah lebih serius dalam meningkatkan lifting migas dan membangun kilang-kilang domestik baru untuk pengolahan minyak di dalam negeri dalam rangka menyetop impor minyak olahan. Jangan sekedar mengeluh atau berwacana melulu soal mafia migas.
“Yang dibutuhkan adalah langkah konkret untuk memperbaiki tata kelola migas ini. Kita masih memiliki potensi untuk itu, Karenanya pemerintah harus all out”, imbuh Mulyanto yang anggota Komisi VII DPR RI. (OSY)