HARIANNKRI.COM – Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), Mulyanto menilai pemerintah terkesan tidak setius dalam melaksanakan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah mengenai penghentian ekspor konsentrat tambang. Sejak ada peraturan pelarangan ekspor konsentrat tahun 2014 Pemerintah terbukti beberapa kali memberikan izin ekspor.
“Pemerintah harus berani menghentikan ekspor konsentrat tambang. Sebab semua sudah diatur dalam undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Termasuk soal jangka waktu kompensasi penerapan kebijakan ini,” kata Mulyanto di Jakarta, Senin (16/3/2020).
Wakil Ketua Fraksi PKS Bidang Industri dan Pembangunan ini menegaskan, pemberian izin ekspor konsentrat tambang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 4, Tahun 2009, tentang Pertambangan Minerba. Berdasarkan Pasal 103 ayat 1, Undang-Undang Nomor 4, Tahun 2009, mengamanatkan setiap perusahaan tambang harus melakukan pengolahan dan pemurnian hasil tambang di dalam negeri sebelum diekspor. Hal ini ditetapkan sebagai upaya memberi nilai tambah produk ekspor sekaligus membuka lapangan kerja baru di dalam negeri.
“Selama ini Pemerintah terkesan tidak serius melaksanakan Undang-Undang. Bukannya memaksa perusahaan tambang melaksanakan ketentuan, yang ada malah beberapa kali Pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengizinkan perpanjangan ekspor konsentrat,” tegas Mulyanto.
Mulyanto mencontohkan, terhadap PT. Freeport Indonesia, Pemerintah begitu longgar menerapkan larangan ekspor konsentrat tambang. Sejak ada peraturan pelarangan ekspor konsentrat tahun 2014 Pemerintah terbukti beberapa kali memberikan izin.
Alasannya proses pembangunan smelter yang belum selesai. Harusnya Pemerintah mendorong Freeport mempercepat proses pembangunan smelter. Bukan malah memperlonggar izin ekspor,”ujar Mulyanto.
Ia menyebut, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Freeport mentargetkan pembangunan smelter baru akan selesai tahun 2023.
“Waktu yang sangat lama. Sebab jika dihitung sejak adanya ketentuan pelarangan ekspor tembaga mentah tahun 2014, harusnya di tahun 2020 atau 6 tahun setelah kebijakan tersebut ditetapkan, semua pabrik pengolahan konsentrat sudah siap,”kata Mulyanto, di Jakarta, Senin (16/3/2020).
Ia menegaskan, Pemerintah harus mengawal kesiapan perusahaan membangun smelter. Bahkan jika perlu, dibuat satgas khusus untuk mengawasi perkembangan proses pembangunan smelter. Tujuannya agar target waktu pembangunan sesuai dengan rencana.
“Proses pembangunan smelter jangan dilepas begitu saja. Sebab semakin lama pembangunan ini selesai maka semakin banyak potensi pendapatan negara yang hilang. Kalau terus seperti ini maka wajar kalau DPR menduga ada kepentingan pihak tertentu yang ingin mencari keuntungan dari proses mengulur-ulur waktu pembangunan smelter,” tandas Mulyanto.
Ia menjelaskan, PT Freeport Indonesia sendiri sudah mengoperasikan fasilitas pemurnian tembaga pertama di Indonesia yang mampu mengolah 300 ribu ton/tahun. Jumlah ini setara dengan 40 persen dari total produksi konsentrat tembaga. Sedangkan sebanyak 60 persen lainnya diekspor dalam kondisi mentah.
“Sementara pembangunan smelter baru untuk mengolah sisa konsentrat tembaga yang selama ini diekspor dalam bentuk mentah tersebut baru terealisasi sebesar 4,8 persen,” tutup Mulyanto. (OSY)