Ketua Umum SBSI 1992 Sebut UU Yang Disahkan Adalah Kertas Kosong

Ketua Umum SBSI 1992 Sebut UU Yang Disahkan Adalah Kertas Kosong
Sarasehan Nasional Membedah Undang-Undang Omnibus Law di Handayani Prima Restaurant jalan Matraman Raya Jakarta Timur, Selasa (20/10/2020) sore.

HARIANNKRI.ID – Ketua Umum Serikat Buruh Sejahtera Indonesia 1992 (SBSI 1992) Sunarti mempertanyakan siapa sebenarnya yang membuat kegaduhan terkait UU Cipta Kerja Omnibus Law. Banyaknya ketidakjelasan sikap pemerintah dinilainya justru menyebabkan terjadinya gelombang besar penolakan pengesahan UU tersebut.

Hal ini dikatakan Sunarti dalam Sarasehan Nasional Membedah Undang-Undang Omnibus Law. Sarasehan ini diadakan oleh LBH Gerakan Pemuda Islam (GPI) di Handayani Prima Restaurant jalan Matraman Raya Jakarta Timur, Selasa (20/10/2020) sore.

Sebelumnya, ia berterimakasih atas terselenggaranya sarasehan nasional membedah UU Omnibus Law ini. Menurutnya, acara ini adalah ajang yang mempunyai nilai edukasi tinggi untuk mengetahui apa dan bagaimana Omnibus Law sesungguhnya.

Terkait Omnibus Law, Sunarti pun mengistilahkannya dengan Undang-Undang Siluman.

“Undang-undang ini seperti undang-undang siluman. Datangnya kapan? Sudah disahkan juga berubah-ubah. Dari tanggal 5 Oktober itu 905 (halaman-red), itu ketok pertama. Berikutnya, saya dapat juga copy-an yang 1028. Beberapa hari kemudian saya juga dapat copy-an 1035. Terakhir, yang diserahkan di Setneg (Sekretariat Negara-red) menjadi 812. Yang sangat tragis, Undang-undang ini disahkan tengah malam. Saat kita istirahat,” kata Ketua SBSI 1992.

Sunarti mengaku, sampai saat ini, secara resmi dirinya belum juga mendapatkan copy draft UU Omnibus Law. Bahkan, menurutnya, anggota DPR RI sendiri belum mendapatkan draft resminya.

“Bahwa yang disahkan adalah kertas kosong. Ini kan banyak versi. Tapi kalau rakyat bicara, itu dikatakan hoax. Nanti apakah saya bicara ini juga dikatakan hoax juga? Kan gitu. Maka kita juga harus hati-hati,” ujarnya.

Sunarti menambahkan, banyak hal yang ia soroti terkait UU Cipta Kerja. Namun yang menjadi kekhawatirannya, apakah yang ia soroti adalah Omnibus Law yang benar.

“Saya juga tidak tahu. Karena yang saya dapat dari anggota DPR, katanya A1 (valid-red). Ternyata juga berubah. Terus saya membahas yang mana? Inilah sebenarnya yang terjadi di lapangan sampai terjadinya gelombang aksi unjuk rasa dimana-mana,” tegas Sunarti.

Karenanya, ia pun mempertanyakan opini yang beredar soal kegaduhan terkait pengesahan UU Cipta Kerja Omnibus Law.

“Bahwa ini adalah rakyat yang menbuat gaduh. Sebenarnya yang membuat gaduh itu siapa? Rakyat atau pemerintah sendiri?,” tanya Sunarti.

Menanggapi Omnibus Law klaster Ketenagakerjaan, menurut Sunarti, UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dirasa lebih memberikan kepastian hukum dibanding UU Omnibus Law. Pasalnya, implikasi UU ini masih harus menunggu ada aturan turunannya.

“Aturan kerja yang di UU 13 itu secara rinci. Tapi di UU Omnibus Law ini tidak. Nanti ada turunannya di Peraturan Pemerintah. Inilah yang sebenarnya kita bingung, apakah Peraturan Pemerintah nantinya akan lebih baik atau lebih buruk,” tuturnya.

Ketua SBSI 1992 juga menyoroti janji pemerintah bahwa UU Omnibus Law akan mendatangkan investor untuk memperbanyak lapangan kerja untuk rakyat Indonesia.

“Apakah ini benar? Padahal di UU tersebut, aturan tenaga kerja asing semakin mudah. Liberal. Bagaimana rakyat Indonesia akan mendapatkan lapangan kerja seperti yang disampaikan oleh pemerintah dalam UU Cipta Kerja? Itu juga saya masih sangsi,” pungkas Sunarti. (AMN)

Loading...