Efek Pemberitaan Media Terkait Covid-19 Terhadap Masyarakat Indonesia. Sebuah Analisis Kasus Isu-Isu Komunikasi Kontemporer. Ditulis oleh: Sophia Smith, Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi dan Diplomasi Universitas Pertamina.
ABSTRAK
Informasi terkait COVID-19 di Indonesia sangat menghebohkan masyarakat. Salah satu faktor yang mendasari ialah banyaknya kemudahan yang ditemukan dalam menggunakan media sosial, seperti mengakses informasi, memberikan informasi dan lain sebagainya. Kemudahan ini menjadi acuan bagi para masyarakat untuk berlomba-lomba menyampaikan dan mendapatkan informasi yang mereka ketahui terkait COVID-19.
Dampaknya, informasi menjadi berlimpah dan memberikan beragam efek bagi masyarakat itu sendiri. Mulai dari kecemasan, ketakutan, stres dan panik yang berlebihan, bahkan sampai berujung kematian. Fenomena ini juga didasari oleh kurangnya literasi media dari masyarakat Indonesia. Menanggapi masyarakat, pemerintah justru menyatakan sesuatu yang bertolak belakang bahwa COVID-19 bukanlah penyakit yang harus ditakuti dan dicemasi.
Namun pernyataan tersebut tidak mampu menenangkan masyarakat, melainkan semakin memperkeruh keadaan dan mengakibatkan masyarakat kehilangan pedoman informasi yang terpercaya. Maka dari itu, media mengambil peran penting dalam kesahihan informasi terkait COVID-19, dengan cara menyajikan berita dari sumber yang terpercaya dan benar-benar jelas.
PENDAHULUAN
Di era pandemi COVID-19, masyarakat menjadi akrab dengan yang namanya media sosial. Mereka menjadikan media sosial sebagai sumber utama dalam pencarian informasi. Fenomena ini didorong oleh kemudahan yang didapat dalam bermedia sosial. Sehingga mencari informasi pada masa pandemi seakan menjadi hobi baru bagi setiap kalangan masyarakat.
Namun tidak jarang dari mereka mendapati sumber berita yang tidak dapat dipercaya dan tidak jelas. Informasi yang tersebar pada masa pandemi dapat disebut sebagai infodemic atau singkatan dari information pandemic. Infodemic berarti informasi yang beredar luas dan sulit dilacak kebenarannya, khususnya terjadi pada masa pandemi kesehatan.
Infodemic memiliki beberapa macam bentuk, yaitu berita palsu, misinformasi, disinformasi, propaganda dan sebagainya. Mulai dari informasi yang ringan sampai dengan informasi yang berat. Jenis informasi ini sangat mudah menyebar dikarenakan terbantu dengan kehadiran berbagai jenis media sosial dan aplikasi, sehingga juga lebih mudah diterima serta disebarkan kembali oleh khalayak.
Jika dikaji melalui studi penyebaran berita, terdapat tiga faktor yang memengaruhi seseorang menyebarkan infodemic. Antara lain yaitu bentuk pesan, karakteristik individu dan algoritma media sosial. Dari segi bentuk pesan, lebih memungkinkan seseorang termotivasi untuk menyebarkan suatu berita. Hasil penelitian menunjukkan aspek pathos dan moral framing dalam sebuah pesan sebagai faktor paling penting yang menjelaskan sebuah penyebaran berita (Hansen; Quercia; Stieglitz & Dang-Xuan, 2011).
Selain itu, banyak dari hasil penelitian yang menjelaskan bahwa bentuk pesan yang mudah menyebar ialah pesan yang mengandung unsur emosional. Maka dari itu, media saat ini sering memberitakan informasi yang sedemikian rupa dapat menyentuh perasaan penikmat para penggunanya.
Selanjutnya, dari segi karakteristik individu, merujuk kepada suatu kondisi di mana seseorang menggunakan predisposisi (keyakinan) yang sudah dimiliki sebelumnya untuk menilai suatu pesan yang datang pada dirinya, biasa disebut sebagai bias konfirmasi (Nickerson, 1998; Devine, 1989).
Bias konfirmasi terbagi menjadi tiga. Yaitu memilih informasi sesuai dengan keyakinan yang sudah dimiliki sebelumnya, seleksi fakta-fakta yang mendukung keyakinannya dan menafsirkan peristiwa sesuai dengan keyakinannya. Bias konfirmasi tidak bisa dilepaskan dari kehadiran internet. Saat ini banyak media yang mengangkat peristiwa disertai dengan framing, stratification serta fragmentation.
Perubahan format media ini membawa perubahan pada cara khalayak dalam mengonsumsi media. Seperti mempunyai kesempatan untuk memilih kontennya sesuai dengan apa yang diminatinya. Terakhir dari segi algoritma media sosial, seseorang menyebarkan berita palsu karena media sosial kerap mengarahkan satu pengguna berkumpul dengan pengguna lain yang memiliki karakteristik serupa.
Pariser (2012), mempopulerkan istilah Filter Bubble. Sebuah gambaran bagaimana orang yang berada di dunia internet diibaratkan dalam sebuah gelembung yang sudah terseleksi. Hal ini disebabkan oleh rekam jejak yang dilakukan media. Yaitu adanya sistem rekomendasi yang bekerja dengan mengenali apa yang diunggah, disukai, dibaca dan dicari oleh pengguna melalui riwayat perilakunya.
Kehadiran media sosial diibaratkan sebagai koin yang memiliki dua sisi. Pada satu sisi memberikan banyak pengetahuan baru yang bermanfaat sehingga saat ini menarik bagi seorang individu untuk menjadi penggunanya. Tetapi pada sisi lainnya, memberikan pengaruh buruk sehingga pengguna yang sudah terpapar akan sulit kembali ke jalan yang benar kecuali tingginya kesadaran diri. Keadaan ini berpotensi menjadi permasalahan serius seseorang dalam menggunakan media. Dan terkadang pengaturan konten yang didesain secara khusus sangat dibutuhkan untuk penggunanya.
Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal World Health Organization (WHO), menyatakan bahwa infodemic lebih cepat menyebar dibandingkan dengan virusnya sendiri. Dalam proses penyebarannya, infodemic dinilai sama seperti penyakit, yaitu contagion atau menular.
Terdapat dua jenis model penyebaran infodemic. Pertama, model ambang batas (threshold) dan kedua, model stokastik. Model threshold menggambarkan bahwa informasi akan menular dari satu orang ke orang lainnya melewati suatu ambang batas atau menjalin kontak dengan orang yang terjangkit. Sedangkan model stokastik menggambarkan bahwa informasi penyebaran melalui angka probabilitas. Semakin tinggi angkanya maka semakin tinggi kemungkinan orang yang akan tertular.
Cherven (2015), menjelaskan pola penyebaran informasi sangat tergantung kepada model jaringan yang digunakan. Seperti yang dijelaskan pada jaringan acak (random network). Setiap orang yang berada pada posisi dekat memiliki kesempatan untuk tertular. Misal, A mendapatkan infodemic, kemudian melakukan kontak dengan B, C, D dan E. Maka keempat orang ini berpotensi tertular.
Random network terbagi lagi menjadi dua, yaitu model skala bebas (free scale) dan model dunia kecil (small world). Model skala bebas ditentukan oleh penghubung yang ada dalam suatu jaringan, sedangkan model dunia kecil menggambarkan jaringan dalam klaster kecil (keteraturan) dan jaringan dengan orang yang jauh (tidak beraturan). Hal ini menjadikan infodemic tidak menyebar kepada orang terdekat saja, melainkan juga menyebar ke tempat yang jauh.
Akibatnya, menimbulkan rasa cemas, ketakutan, kekhawatiran, ketidakpercayaan dan kelalaian bagi masyarakat. Menghambatnya efektivitas layanan kesehatan serta mampu menyebabkan gangguan psikosomatik (kesehatan psikis dan mental).
Maka dari itu, dalam menghadapi infodemic, media mengambil peran yang cukup penting. Dengan menyajikan konten yang dinilai perlu dikonsumsi oleh khalayak. Tidak hanya media, masyarakat juga harus meningkatkan literasinya dalam menggunakan media.
Artikel ini akan menjelaskan bagaimana efek yang diterima masyarakat Indonesia mengenai pemberitaan isu COVID-19 yang ada pada media. Sebagai salah satu contoh ialah informasi yang dipaparkan media saat ini yaitu pentingnya penggunaan vaksin COVID-19 yang mulai tiba di Indonesia. Pemberitaan terkait vaksin COVID-19 dengan sengaja disajikan secara terus menerus dalam berbagai media sosial. Sehingga, secara tidak sadar masyarakat dengan cepat mulai terpapar dan menganggap vaksin merupakan hal yang utama saat ini.
TINJAUAN PUSTAKA
Agenda Setting Theory
Teori agenda setting dikemukakan oleh McCombs dan Donald Shaw. Teori ini menjelaskan bahwa segala sesuatu yang ditampilkan oleh media akan memengaruhi khalayak untuk mengganggapnya sebuah hal yang sangat penting (Haryanto, 2003: 81). Teori ini mendesain sedemikian rupa agar suatu isu yang diangkat dalam media dapat dianggap penting oleh publik. Dengan cara menampilkan isu yang sama secara berturut-turut. Sehingga tanpa disadari, masyarakat akan terpapar dan terpengaruh oleh isu tersebut.
McCombs dan Donald Shaw menyatakan bahwa seorang khalayak atau audience harus mampu menginterpretasikan arti penting terhadap sebuah isu melalui pemahaman mereka ketika melihat media melakukan penekanan pada beberapa isu tertentu (Griffin, 2003: 77).
Teori agenda setting sangat membantu pemerintah dalam memengaruhi pola pikir masyarakat Indonesia dalam menanggapi isu COVID-19. Seperti yang diketahui, bahwa banyak dari masyarakat yang kurang pandai dalam melakukan literasi media dan mendapatkan efek tertentu. Mulai dari efek positif hingga efek negatif. Maka dari itu, fenomena ini menggerakkan media untuk memaparkan sesuatu yang memang perlu diketahui oleh mereka.
Uses and Gratifications Theory
Teori uses and gratifications adalah teori komunikasi massa tentang penggunaan media massa oleh khalayak, yang mana dilakukan untuk mendapatkan kepuasan tertentu. Teori uses and gratifications dikemukakan oleh Herbert Blumer dan Elihu Kartz pada tahun 1974. Dalam bukunya The Uses on Mass Communication: Current Perspectives on Grativication Research.
Teori ini juga menjelaskan sisi khalayak sebagai individu yang aktif, selektif dan memiliki tujuan yang jelas terkait dengan terpaan media kepadanya. Teori uses and gratifications mulai berkembang pada tahun 1940. Teori ini muncul ketika sejumlah peneliti mencari tahu motif apa yang menjadi latar belakang khalayak mendengarkan radio dan membaca surat kabar. Mereka meneliti apa yang membuat khayalak tertarik dengan program atau konten yang disiarkan dan kepuasaan apa yang diperoleh khayalak.
Herzog merupakan peneliti pertama yang mengawali riset terkait penggunaan dan kepuasaan bermedia. Teori ini juga merupakan pengembangan dari teori jarum hipodermik dan menjelaskan perubahan karakter pengguna yang semula pasif menjadi aktif untuk menentukan konten yang akan dinikmatinya sesuai dengan kebutuhan dan perkiraan kepuasaan yang akan didapat. Teori ini secara tidak langsung mengajarkan para pengguna media di masa pandemi COVID-19 untuk pandai memilih konten. Sehingga terhindar dari gangguan kesehatan mental seperti rasa cemas yang berlebihan.
ANALISIS
COVID-19 mulai memasuki Indonesia sejak bulan Februari 2020, khususnya di daerah Ibukota Jakarta. Virus ini selalu meningkat setiap bulan dan bahkan setiap harinya. Peningkatan yang terjadi sukses membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan baru yaitu pembatasan sosial berskala besar (PSBB), guna mengurangi tingginya angka kasus positif COVID-19 di Indonesia.
Dengan adanya pembatasan ini, banyak dari masyarakat yang mulai merasakan kerugian. Mulai dari sektor perekonomian sampai dengan sektor kesehatan. Berbagai macam dampak telah membuat masyarakat Indonesia menjadi resah. Karena masa pandemi COVID-19 juga membawa banyak perubahan seperti perubahaan kebiasaan dan perubahan budaya.
Hal ini disebabkan oleh ketidakleluasaan dalam melakukan aktivitas. Seluruh pola kehidupan menjadi berubah seperti melakukan segala sesuatu secara daring. Kehadiran berbagai media digital seakan menjadi salah satu jawaban masyarakat untuk tetap dapat bertahan di masa pandemi COVID-19. Dengan menawarkan segala kemudahannya, masyarakat dapat melakukan aktivitasnya dari rumah dan mampu menjangkau rekan-rekan yang jauh. Sehingga tanpa disadari, penggunaan media sosial di Indonesia meningkat sangat pesat.
Berdasarkan riset We Are Social and Hootsuite, dapat dilihat bahwa data pengguna internet di Indonesia mengalami kenaikan dari tahun 2019 ke tahun 2020. Yyang semula 56% dari total populasi jumlah penduduk sebanyak 150 juta jiwa menjadi 64% dari total populasi jumlah penduduk sebanyak 175,4 juta jiwa. Diikuti oleh kenaikan pengguna aktif media sosial, pada tahun 2019 sebanyak 150 juta jiwa dan pada tahun 2020 menjadi 160 juta jiwa.
Riset ini juga menjelaskan secara lebih rinci terkait indikator pertumbuhan digital di Indonesia. Terlihat pertumbuhan penduduk di Indonesia hanya meningkat sebesar 1,1% alias 2,9 juta jiwa, tetapi pertumbuhan pengguna internet tercatat mengalami kenaikan sebesar 17% alias 25 juta jiwa dan diikuti pengguna media sosial yang bertambah sebesar 8,1% alias 12 juta jiwa. Pertumbuhan ini menunjukkan adanya kenaikan yang sangat signifikan dari tahun sebelumnya.
Masih dari riset yang sama, waktu sehari-hari yang digunakan untuk bermedia di Indonesia sangat beragam sesuai dengan aktivitasnya. Masyarakat Indonesia menghabiskan waktu 7 jam 59 menit dalam menggunakan internet, 3 jam 26 menit dalam menggunakan media sosial, 3 jam 4 menit dalam menonton televisi, 1 jam 30 menit dalam mendengaran musik dan 1 jam 23 menit dalam bermain game.
Data di atas menunjukkan adanya ketertarikan yang lebih ketika mengakses internet, dikarenakan kemudahan mendapatkan informasi dan lain sebagainya. Apalagi di masa pandemi COVID-19, yang mana semua orang ingin mendapatkan informasi terkini. Namun, banyaknya informasi yang diterima juga mampu memberikan dampak tertentu, baik positif mau pun negatif. Hal ini dapat dijelaskan melalui fenomena pemberitaan COVID-19 yang sangat beragam di media. Keberagaman ini seringkali disalahartikan sehingga banyak masyarakat yang terpapar berita hoaks dan menerimanya begitu saja.
Melihat kelemahan dari masyarakat Indonesia, media memanfaatkan momentum untuk memaparkan isu atau berita yang dianggapnya penting. Dijelaskan oleh teori agenda setting, media ingin berperan penting dalam mengatur pemikiran khalayaknya. Sehingga pada teori ini media berprinsip suatu isu yang diangkat dalam media dapat dianggap penting oleh publik, dengan cara menampilkan isu yang sama secara berturut-turut. Sehingga tanpa disadari masyarakat akan terpapar dan terpengaruh oleh isu tersebut.
Contoh nyata yang dilakukan oleh media ialah vaksin COVID-19 menjadi isu utama yang hangat diperbincangkan saat ini. Seluruh media berlomba-lomba mengunggah berita terkait vaksin COVID-19 yang kepastiannya belum teruji dalam persentase 100%. Kementerian Kesehatan bersama Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) dengan dukungan UNICEF dan WHO telah melakukan survei nasional untuk mengetahui tanggapan masyarakat mengenai vaksin COVID-19. Mereka melibatkan lebih dari 115.000 jiwa di 34 provinsi yang mencakup 508 kabupaten/kota untuk menjadi responden.
Hasilnya, 2/3 dari responden bersedia menerima vaksin COVID-19 karena merasa takut dan cemas yang berlebihan jika tidak mengikuti akan didenda sebesar Rp 5 juta. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia sangat mudah dipengaruhi oleh media.
Ketua Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), Dr Mahesa Pranadipa, MH, memaparkan bahwa masyarakat Indonesia mudah sekali terpapar hoaks atau berita palsu. Menurutnya, dari pengetahuan yang dijelaskan oleh Daniel Kahneman, ada hal yang mendasari masyarakat Indonesia mudah terpapar hoaks, yaitu kinerja otak.
Dr Mahesa menyatakan bahwa kinerja otak manusia terbagi menjadi dua. Kinerja otak manusia jenis pertama ialah berpikir secara lambat dan tidak logis, namun sangat mudah dipengaruhi, sedangkan kinerja otak manusia jenis kedua ialah berpikir skeptis, kritis dan cepat lelah. Maka dari itu, kinerja otak jenis kedua ini jarang digunakan oleh tubuh manusia.
Selain itu, Dr Mahesa menyampaikan alasan lainnya kemungkinan besar ialah faktor genetik dan cara yang paling ampuh untuk mengatasinya yaitu membiasakan diri membaca literasi, tetapi cara ini justru menjadi masalah utama bagi masyarakat Indonesia. Seperti yang kita ketahui bahwa tingkat literasi masyarakat Indonesia masih sangat rendah, bahkan sampai dijelaskan oleh hasil studi yang dipublikasikan The World’s Most Literate Nations, tingkat literasi di negara kita hanya mampu berada pada peringkat ke-60 dari 61 negara yang diteliti.
SOLUSI
Menanggapi fenomena rendahnya literasi media pada masyarakat Indonesia, Lukman Solihin, Peneliti di Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Balitbang Kemendikbud, menyatakan bahwa ada empat dimensi yang menjadi faktor utama. Antara lain yaitu dimensi kecakapan, dimensi akses, dimensi alternatif dan dimensi budaya.
Dimensi kecakapan yaitu bebas buta aksara atau biasa diidap oleh masyarakat yang telat sekolah. Sedangkan dimensi akses merupakan tempat untuk mengaksesnya seperti perpustakaan atau buku. Kemudian, dimensi alternatif ialah pilihan tempat lainnya untuk mengakses seperti internet atau buku online dan terakhir ialah dimensi budaya atau kebiasaan dalam membaca.
Dari keempat dimensi, setidaknya harus ada tiga dimensi yang dikuasai oleh masyarakat. Yaitu dimensi kecakapan, dimensi akses/alternatif dan dimensi budaya. Dengan menguasai minimal tiga dimensi, masyarakat secara otomatis akan meningkatkan kualitas membacanya. Sehingga tidak perlu khawatir jika terpapar berita COVID-19 yang tiada henti.
Dilihat dari sisi kesehatan mental, Dra. Y. Santi Roestiyani berpendapat bahwa wajib bagi masyarakat untuk mengikuti perkembangan informasi terkait COVID-19. Namun perlu dihindari terpapar berita secara terus menerus karena diduga mampu memperburuk kondisi psikologis. Seperti timbulnya rasa cemas, panik dan stres yang berlebihan serta tidak dapat terkontrol.
Menurutnya, walaupun kecemasan yang muncul di masa pandemi merupakan reaksi yang sangat wajar. Tetapi tetap yang mampu mengendalikannya hanya diri kita sendiri.
Seperti yang dijelaskan dalam teori uses and gratifications, seorang pengguna media atau khayalak merupakan individu yang aktif dan mampu mengontrol konten apa yang akan mereka konsumsi untuk kepuasan tertentu. Oleh sebab itu, pentingnya bijak dalam menggunakan media, baik media massa maupun media digital. Keduanya sama-sama memberikan informasi yang beragam dan ada kalanya kita sebagai manusia juga sesekali menjaga jarak dari keanekaragaman informasi yang disajikan di media, sebagai bentuk kasih sayang kepada diri sendiri. Bukan berarti kita menutup diri dari informasi yang ada, tetapi berubah menjadi lebih kritis dan bijak dalam memilah informasi.
Selain itu, di masa pandemi ini banyak hal yang dapat dilakukan untuk meredakan stres yaitu melakukan aktivitas fisik. Dengan melakukannya, tubuh kita akan memproduksi hormon endorfin yang dapat meningkatkan mood dan mengurangi rasa khawatir yang berlebihan. Kemudian, mengonsumi makanan yang bergizi, istirahat yang cukup dan menjaga komunikasi yang baik dengan orang-orang terdekat seperti keluarga, sahabat, teman dan pasangan.
KESIMPULAN
Adanya pandemi COVID-19 sangat berpengaruh dalam melakukan kegiatan kehidupan sehari-hari, membuat kita menjalani hidup menjadi tidak mudah dan dipenuhi oleh tantangan. Wabah ini memberikan sensasi dampak yang berbeda pada setiap orang.
Kita semua, seluruh masyarakat Indonesia, bahkan dunia, mengalami masa sulit bersama-sama yang kelak akan menjadi sejarah kehidupan. Menjalani kehidupan dengan transisi yang cukup drastis, tidak adanya kesiapan diri, khususnya perubahan kehidupan yang serba digital, sangat meresahkan seluruh masyarakat Indonesia. Walaupun dibantu dengan kemudahan mengakses informasi pada media digital, namun kita harus tetap waspada dan bijak dalam menggunakannya.
Terkadang media tanpa kita sadari dan secara sengaja mengatur pola pikir kita. Menanggapi fenomena ini, perlu ditingkatkan lagi literasi membaca pada masyarakat Indonesia. Jangan sampai akibat terpaparnya infodemic secara terus menerus membuat rusaknya kesehatan mental kita. Pada masa pandemi COVID-19, kesehatan merupakan hal yang paling utama dan hal yang paling berpengaruh ialah kecemasan atau munculnya rasa khawatir yang berlebihan.
Memang munculnya perasaan cemas sangat wajar pada masa sekarang ini. Sebab, kecemasan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, apalagi sekarang kita berada dalam kondisi yang memprihatinkan dan penuh tekanan. Maka dari itu, kita perlu mengetahui adanya kunci utama dalam mengelola kecemasan yaitu dengan memilih dan menyeleksi informasi apa yang akan dikonsumsi. Dengan begitu, kita akan lebih mudah, lebih tenang serta lebih damai dalam berjuang melewati masa sulit ini bersama-sama.
Terapkan pola pikir yang kritis, kehidupan yang lebih baik dan sehat, juga menjadi bijak dalam menggunakan media. Kita tidak dapat mengontrol informasi apa yang akan muncul dan tersebar di media, tapi kita dapat mengontrol konten apa yang layak untuk dikonsumsi.
Dilihat dari sisi positifnya, menghadapi wabah pandemi COVID-19 ini sama saja membangun kepribadian menjadi lebih baik. Mengapa demikian? Karena kita dihadapkan oleh ketidakpastian dan dipaksa untuk melewatinya. Padahal dengan ada atau tidaknya wabah ini, kita harus tetap siap siaga untuk menghadapi ketidakpastian dari berbagai permasalahan yang kelak muncul dan semoga masa pandemi COVID-19 segera berlalu serta kehidupan kembali menjadi normal.
REFERENSI
Griffin, Em. 2003. A First Look at Communication Theory, ed. 5th, New York: McGraw-Hill Companies.
McQuail, Denis. Teori Komunikasi Massa suatu pengantar, diterjemahkan oleh Dharma, Agus dkk. 1987. Jakarta: Penerbit Erlangga.
West, Richard & Lynn H. Turner. 2008. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika.
Vibriyani, Deshinta. 2020. Kesehatan Mental Masyarakat: Mengelola Kecemasan Di Tengah Pandemi COVID-19.
(websindo.com, 2019) Indonesia Digital 2019 Tinjauan Umum
(datareportal.com, 2020) Digital 2020 Indonesia
(Riyanto, 2020) Hootsuite We Are Social Indonesian Digital Report 2020
(Dwianto, 2020) Hoax Virus Corona Merajalela Kenapa Orang Mudah Percaya Berita Bohong
(Hutapea, 2019) Literasi Baca Indonesia Rendah Akses Baca Diduga Jadi Penyebab
(Nurwigati, 2020) Survei Vaksin Covid-19 Mayoritas Penduduk Indonesia Bersedia Divaksinasi