Kajian Politik Sunda: Caina Herang Laukna Benang. Ditulis oleh Tubagus Soleh, Ketum DPP Ormas Kerabat dan Sahabat Kesultanan Banten (Babad Banten).
Populasi Suku Sunda yang sangat besar —menurut sensus BPS tahun 2010—sekitar 38 juta jiwa belum mampu memainkan peran-peran strategis politik di negeri ini.
Indikator sederhananya, belum adanya “Tokoh Sunda” yang menjadi perhitungan politik secara nasional. Nama-nama yang muncul dalam pentas politik nasional masih didominasi oleh “Tokoh Jawa”.
Tentu saja ini membuat keheranan yang serius bagi saya yang masih berdarah sunda.
Pertanyaan sederhana sebagai orang awam sunda, saya selalu bertanya, mengapa Orang Sunda belum mampu memainkan peran penting dalam “politik kebangsaan”. Padahal secara populasi penduduk, orang Sunda menempati posisi no 2 setelah Suku Jawa. Itupun perbedaannya tidak begitu jauh.
Menariknya, sikap orang sunda tidak begitu ngotot dalam berpolitik seperti suku-suku lain. Bahkan di tanah leluhurnya sendiri peran dominan secara populasi, Orang Sunda harus bersaing serius dengan Suku bangsa yang lain.
Hingga kini, saya belum menemukan alasan mendasar tentang sikap politik orang sunda yang begitu adem ayem. Padahal dinamika politik kebangsaan begitu sangat dinamis.
Seperti contoh, isyu pilpres yang selalu hot walau masa pandemi C19 yang terus dimainkan. Mulai dari isyu Presiden 3 periode sampai dimunculkan tokoh-tokoh politik pemegang kekuasan baik di Tingkat Nasional ataupun Gubernur. Tujuannya cuma satu : bagaimana respon rakyat terhadap tokoh yang dimunculkan.
Saya percaya, kemunculan setiap tokoh politik ada by desain. Tidak serta merta tanpa tujuan. Tapi ujungnya adalah menguji elektabiktas sang tokoh. Apakah dapat respon bagus dari rakyat atau tidak sama sekali.
Sebagai orang sunda, saya cukup sedih juga. Karena yang selalu muncul tokoh di pentas politik nasional bukan orang sunda. Malah dari suku-suku yang secara populasi jauh dari suku sunda.
Padahal seandainya saja ada tokoh sunda yang serius berjuang politik, saya percaya dukungan akan mengalir kepada sang tokoh. Asalkan memang sang tokoh serius sebagai “tokoh politik”.
“Menjadi Tokoh Politik” sangat berbeda rasa dengan menjadi tokoh LSM atau tokoh-tokoh lainnya. Sebab, Politik merupakan akumulasi dari semua persepsi dan pandangan publik terhadap sang tokoh. Ukurannya sangat subjektif.
Siapapun yang memilih jalur politik dalam perjuangannya. Saya secara pribadi sangat salut dan memberikan apresiasi yang sangat tinggi. Karena perjuangan politik sangat rumit dan ruwet. Dan hanya orang-orang yang kuat mental dan spiritual saja yang mampu memainkan orkestra politik yang sangat keras namun dengan lembut.
Untuk memahami fenomena ini, ada beberapa artikel yang saya baca dari para “tokoh” Sunda, ternyata dalam diri orang sunda itu, ada persepsi yang terbangun bahwa menjadi pemimpin itu buah dari kepercayaan dari rakyat terhadap dirinya. Kemunculannya sebagai pemimpin merupakan wujud dari kepercayaan rakyat terhadap dirinya.
Orang Sunda itu tidak akan memunculkan diri sekonyong-konyong tanpa mendapatkan mandat kepercayaan dari rakyat.
Inilah barangkali yang dimaksud oleh pepatah Sunda: caina herang laukna benang.
Mendapatkan kepercayan rakyat tanpa menimbulkan kegaduhan dan keruwetan.
Begitulah orang Sunda. Bersahaja tapi luar biasa. Dan itu memang sangat luar biasa. Wallohu a’lam bisshowwab.