Perubahan Masa Jabatan Presiden. Ditulis oleh: Malika Dwi Ana, Pemerhati Sosial Politik.
Perubahan itu adalah sunnatullah alias keniscayaan. Sesuatu yang pasti terjadi. Hal sama berlaku untuk konstitusi, menyesuaikan dengan perkembangan jaman.
Para founding father juga tidak sempurna, itu sebabnya UUD 45 menerima update atau pengkajian ulang melalui pasal 37. Pengkajian ulang itu dimungkinkan karena banyak hal yang terjadi dan harus ditetapkan melalui UUD 45. Tetapi perubahan itu tentunya tidak dengan mengubah esensi pasal-pasal didalamnya. Seyogyanya perubahan atau amandemen itu cukup melalui adendum atau aturan tambahan berupa lampiran. Sedangkan naskah aslinya tetap terjaga keasliannya, orisinil.
Amerika (AS) contohnya, sudah merdeka 240-an tahun lebih dan telah beberapa kali mengubah (sekitar 27 X) konstitusinya, namun naskah asli tidak diotak-atik. Tetap orisinil hingga sekarang karena itu sejarah. Dan tidak pernah mengubah masa jabatan presiden lebih dari dua periode. Kenapa? Selain perubahan konstitusi di negeri Paman Sam ditaruh di adendum, para perumus keputusan di AS juga menyadari bahwa kekuasaan itu cenderung korup (power tends to corrupt), cenderung merusak! Sehingga para founding fathersnya memberikan jatah masa jabatan presiden hanya dua kali masa jabatan.
Meski konstitusi AS aslinya tidak memberikan batasan berapa kali seseorang bisa memegang jabatan presiden. Ini karena dalam sejarah kemerdekaan Amerika, George Washington setelah dua periode menjabat mengatakan, “enough is enough.” Dia tidak mau dipilih lagi sebagai presiden AS. Maka ini yang kemudian hingga sekarang menjadi standar etis masa bakti kepresidenan. Setiap ada orang yang berhasrat mencalonkan lagi setelah dua kali terpilih, akan merasa malu, selalu tak sanggup menghadapi pertanyaan galib nurani publik. “Apakah anda merasa lebih hebat dari George Washington?”
Bagi Amerika, keberlangsungan negara tidak boleh bergantung pada seseorang, sebesar dan sehebat apapun orang itu. Tunas-tunas baru harus muncul meneruskan tongkat estafet kepemimpinan. Itu sikap bernegara yang benar. Menjaga kelangsungan negara dengan memunculkan penerus tongkat estafet yang lebih baik. Sehingga selalu akan ada pembaharuan dan penyegaran.
Narasi di atas — jika disandingkan dengan praktik konstitusi kita terutama di era kini sungguh berbanding terbalik. Selain konstitusi telah diamandemen sebanyak empat kali (1999-2002) dengan mengubah teks atau naskah aslinya, juga kencangnya isu perubahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Ini menarik. Mengapa?
Meski tanpa perubahan naskah asli dan masa jabatan presiden tetap dua periode pun, AS mampu menjadi adidaya bahkan adikuasa di dunia. Lalu kenapa kita tidak meniru hal-hal baik dalam hal komitmen, konsistensi, penghormatan terhadap sejarah dan seterusnya terkait konstitusi.
Pertanyaan pentingnya adalah: “Elit politik dan perumus kebijakan di +62 ini sesungguhnya hendak membangun bangsa dan negara, atau hanya mau membangun kekuasaan sih?”