HARIANNKRI.ID – Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menyebut, selain keadilan listrik bagi rakyat, implementasi transisi energi bersih yang berkeadilan dan tarif listrik adalah pekerjaan rumah (PR) besar bagi Direktur Utama PLN yang baru Darmawan Prasodjo. Meski lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka, namun hingga kini masih ada desa dan keluarga yang gelap dari listrik.
Pergantian jabatan Direktur Utama PLN dari Zulkifli Zaeni ke Darmawan Prasodjo dinilai Mulyanto sangat mengejutkan. Ia mengaku pergantian Dirut yang diputuskan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PLN, Senin 6 Desember 2021 lalu adalah keputusan yang diluar dugaan. Menurutnya, kinerja Zaeni selama ini cukup baik. Hubungan dan komunikasi dengan Komisi VII DPR RI juga cukup kondusif.
“Kami hormati apapun putusan RUPS PLN. Sebagai mitra kerja, kami berharap kondisi PLN bisa lebih meningkat lagi, baik dalam pengelolaan aset maupun pelayanan kepada masyarakat. Karena berlatar belakang parpol tertentu, PKS mendesak agar Dirut baru tidak mempolitisasi PLN. Namun fokus pada kinerja,” kata Mulyanto di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (7/12/2021).
Ia pun meminta Dirut baru PLN untuk mempertahankan capaian kinerja yang sudah baik dan meningkatkan hal-hal yang masih kurang. Mulyanto berharap, pembangunan ketenagalistrikan nasional dari hari ke hari semakin memenuhi harapan rakyat.
“Sedikitnya ada tiga PR penting yang perlu diperhatikan oleh Dirut baru PLN. Pertama adalah soal implementasi transisi energi bersih yang berkeadilan. Kedua adalah soal keadilan listrik bagi rakyat. RUPTL 2021-2030 menargetkan rasio elektrifikasi nasional sebesar 100 persen pada tahun 2022. Dan ketiga soal tarif listrik,” ujar Mulyanto.
Implementasi Transisi Energi Bersih
Soal implementasi transisi energi hijau, Mulyanto meminta Pemerintah jangan mau didikte oleh negara maju dengan berbagai komitmen energi bersih yang menjerat leher. Sementara bantuan pendanaan dari negara maju belum direalisasikan.
Menurutnya, rakyat Indonesia berhak menikmati listrik yang berlimpah dan murah untuk menjalankan roda pembangunan nasional dan meningkatkan kesejahteraan mereka.
“Jangan sampai kita menyingkirkan PLTU secara semena-mena. Padahal kita memiliki sumber batubara yang melimpah, lalu menggantikannya dengan listrik EBT yang pendanaannya sangat besar dan menghasilkan biaya pokok penyediaan (BPP-red) listrik yang mahal,” jelas Mulyanto.
Mantan peneliti di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) ini menambahkan, sesuai RUPTL 2021-2030, dimana porsi EBT sebesar 52 persen. Maka BPP PLN akan naik dari Rp 1.423/ kWh pada tahun 2021 menjadi Rp1.689/kWh pada tahun 2025. Dampaknya, beban tambahan untuk subsidi dan kompensasi membengkak dua kali lipat lebih, dari Rp 71.9 triliun pada tahun 2021 menjadi Rp 182.3 triliun pada tahun 2025.
“Apakah Pemerintah punya uang untuk menanggung beban ini? Ini perlu kehati-hatian dan pentahapan yang baik,” lanjut Mulyanto.
Keadilan Listrik Bagi Rakyat
Soal keadilan listrik bagi rakyat Mulyanto menegaskan PLN harus teguh pada program yang sudah ditetapkan. RUPTL 2021-2030 menargetkan rasio elektrifikasi nasional sebesar 100 persen pada tahun 2022. Rasio elektrifikasi diartikan sebagai jumlah rumah tangga yang sudah berlistrik terhadap seluruh rumah tangga nasional.
Sekarang ini, kata Mulyanto, jumlah RT yang belum berlistrik sebanyak 483.012 rumah tangga (RT).
“Pemerintah harus sungguh-sungguh mewujudkan keadilan listrik ini. Sudah lebih dari tujuh puluh tahun Indonesia merdeka, tetapi tetap masih ada desa dan keluarga yang gelap dari listrik.
Ini sungguh ketidakadilan dan cermin ketimpangan. Sudah beberapa kali janji 100 persen tingkat elektrifikasi tidak ditepati oleh Pemerintah. Karenanya, saya minta Dirut PLN yang baru fokus mengejar target ini di tahun 2022,” tegas Wakil Ketua FPKS DPR RI ini.
Tarif Listrik
Dan soal tarif listrik, Mulyanto minta PLN tidak mengusulkan kenaikan tarif listrik di saat pandemi, dimana kondisi masyarakat termasuk industri masih lemah. Sudah lama memang belum ada penyesuaian tarif listrik PLN ini. Namun, sekarang bukanlah saat yang tepat untuk itu.
Menurut Mulyanto, dengan kebijakan DMO (domestic market obligation), yang mematok harga batubara sebesar US$ 70 per ton, maka lonjakan harga batubara yang terjadi akhir-akhir ini tidak mempengaruhi BPP listrik. Begitu pula dengan adanya subsisidi dan kompensasi, dapat menjaga stabilitas tarif listrik.
Di sisi lain, tarif listrik Indonesia juga tidak terlalu murah. Dari data Globalpetrolprice.com per maret 2021, tarif listrik kita untuk pelanggan rumah tangga sebesar 10.1 sen USD.
Sementara di China, Vietnam dan Malaysia masing-masing sebesar 8.6, 8.3 dan 5.2 sen USD. Bahkan tarif listrik rumah tangga di Laos hanya sebesar 4.7 sen USD.
“Jadi tarif listrik di kita hampir dua kali lipat dibandingkan dengan tarif listrik di Malaysia,” ujarnya.