Anggota DPR RI Sebut Alasan Kenaikan Tarif Listrik Tahun 2022 Mengada-ada

Anggota DPR RI Sebut Alasan Kenaikan Tarif Listrik Tahun 2022 Mengada-ada
Ilustrasi artikel berjudul Anggota DPR RI Sebut Alasan Kenaikan Tarif Listrik Tahun 2022 Mengada-ada

HARIANNKRI.IDAnggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto menilai alasan menaikkan tarif listrik tahun 2022 tidak realistis. Pasalnya, ketentuan pajak karbon yang dijadikan dasar, secara hitung-hitungan, justru tidak memberikan pemasukan apapun pada kas negara.

Dijelaskan, pemerintah telah mengeluarkan UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). UU ini mengatur tentang ketentuan mengenai pengenaan pajak karbon bagi lembaga atau perorangan yang melepas karbon dioksida ke udara. Besaran pajak tersebut adalah sebesar Rp 30/kg karbon dioksida. Pemerintah pun berencana menerapkan pajak karbon ini untuk pembangkit listrik terhitung tahun 2022.

“Penerapan pajak karbon pada tahun 2022, sebagai disinsentif bagi kelembagaan yang melepas karbon. Termasuk pembangkit listrik, dalam rangka menekan laju pelepasan karbon dioksida menuju zero emission. Semestinya tidak secara otomatis diikuti dengan kenaikan tarif listrik,” kata Mulyanto di Jakarta, Senin (20/12/2021).

Menurutnya, meski sekitar 70 persen pembangkit listrik kita adalah PLTU yang menjadi kontributor penting bagi pelepasan gas karbon dioksida. Namun tidak serta-merta penerapan pajak karbon ini langsung harus diikuti dengan peningkatan tarif listrik tahun 2022.

“Ini kan dua hal yang berbeda. Pajak karbon tujuannya agar lembaga pelepas karbon dioksida ke udara tergerak untuk mengurangi pelepasan karbon mereka melalui penggunaan teknologi yang lebih bersih,” imbuhnya.

Karenanya, lanjutnya, selain “hukuman” berupa pengenaan pajak karbon, Pemerintah tetap berkewajiban untuk mendorong dan membantu pembangkit listrik untuk memperbaiki sistem pengolahan limbah udara mereka melalui berbagai skema insentif.

Antara Pajak Karbon dan Kenaikan Tarif Listrik Tahun 2022

Selain itu, kata Mulyanto, pajak karbon yang berhasil dikumpulkan tersebut ujung-ujungnya akan masuk ke dalam kas negara, dan dapat digunakan untuk membayar subsidi atau kompensasi listrik kepada PLN.

Ia menegaskan, ketentuan pajak karbon pada dasarnya hanya soal “kantong kiri” dan “kantong kanan” bendahara negara. Jadi kalaupun penerapan pajak karbon dapat meningkatan biaya penyediaan listrik (BPP) PLN, namun secara total “net” dengan sumber baru penerimaan negara tersebut menjadi “impas”.

“Artinya penerapan pajak karbon tidak serta-merta harus diikuti dengan kenaikan tarif listrik. Karenanya Pemerintah jangan menjadikan alasan penerapan pajak karbon ini sebagai sebab bagi kenaikan tarif listrik,” ujar Wakil Ketua FPKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan ini.

Mulyanto menegaskan di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang belum berakhir, dimana ekonomi masyarakat, termasuk industri, belum pulih benar, semestinya Pemerintah tidak mengambil opsi kebijakan kenaikan tarif listrik. Hal ini akan menjadi kebijakan yang memberatkan masyarakat. (OSY)

Loading...