CALEB. Romantika Hantu Danau Hutan Gelap

CALEB. Romantika Hantu Danau Hutan Gelap
CALEB. Romantika Hantu Danau Hutan Gelap

CALEB. Romantika Hantu Danau Hutan Gelap. Sebuah Cerita Pendek Genre Horor Karya Aqila Restu A

“Ayah berangkat. Jadi gadis yang baik selama Ayah pergi ya,” sang ayah membungkukkan tubuhnya untuk mengimbangi tinggi Eloise.

“Baik ayah,” Eloise mengangguk pelan.

Ayah tersenyum lalu memasuki mobilnya.

Perlahan senyuman Eloise memudar.

Sejak diadopsi oleh Gunther William yang tak lain adalah ayah angkatnya, Eloise kerap kali ditinggal oleh sang ayah. Meski pun begitu, tak menutup kenyataan bahwa rasa kesepian perlahan menyelimuti dirinya. Eloise memutuskan untuk bermain di halaman belakang rumahnya. Setidaknya dengan begitu ia dapat menenangkan batinnya.

Seperti biasa, Eloise duduk di ayunan sembari menatap ke langit. Tak jauh dari halaman belakang rumah, terdapat hutan yang begitu lebat dan gelap. Namun, Eloise sudah merasa terbiasa. Jadi ia tak merasa takut saat sedang bermain di halaman belakang.

Tak terasa, hari kini berganti menjadi malam. Berbekal lampu minyak sebagai penerang, gadis itu melukis angkasa malam yang dipenuhi oleh bintang-bintang dan dihiasi purnama. Goresan demi goresan kuas menghiasi kanvas miliknya.

Tiba-tiba saja angin berhembus kencang, membuat kertas sketsa milik Eloise berterbangan. Gadis itu pun mengumpulkan lembaran-lembaran kertas yang berterbangan. Namun, ada satu kertas yang terbang ke arah gelapnya hutan. Dengan mengumpulkan nyali dan berbekal sebuah lampu minyak, gadis itu memasuki hutan.

Suasana hutan begitu gelap nan mencekam. Eloise merapatkan jaketnya kala ia merasakan hawa dingin. Sial baginya, kini ia telah berada di tengah gelapnya hutan. Ia tak tahu arah untuk kembali. Mau tak mau Eloise tetap melanjutkan langkahnya. Ia merasa seperti sedang diawasi di tengah gelapnya hutan.

Tiba-tiba Eloise dikejutkan oleh kehadiran sosok laki-laki berpakaian rapih dengan setelan jas hitam.

“Apa ini yang kau cari, Nona?”. Laki-laki itu menatapnya dengan lembut sembari tersenyum kepadanya.

“U-uhm…terima kasih” dengan gugup Eloise mengambil kertas tersebut.

“Sebuah kehormatan bagiku untuk melihat karya yang begitu indah seperti ini. Kau benar-benar berbakat nona,” puji laki-laki itu.

“Terima kasih” ucap Eloise sembari menggaruk pipinya, pertanda gugup.

“Boleh kah aku mengetahui namamu Nona?” tanya laki-laki itu.

“Eloise…William” jawab Eloise.

“Nama yang indah. Aku Caleb” laki-laki itu memperkenalkan diri.

“Terima kasih karena telah menemukan kertasku, Caleb,” ucap Eloise sembari tersenyum ramah.

“Jadi…bagaimana kau bisa berada di sini? Apa kau tersesat?” Caleb nampak penasaran.

“Aku mengejar kertasku, aku tak sadar aku tersesat di sini. Astaga, aku baru saja menyadarinya saat kau menangkap kertas milikku” jelas gadis itu.

“Baiklah…aku akan membantu mu, kemarilah! Kau hanya perlu mengikutiku dan jangan melihat ke belakang. Mengerti?” ujar Caleb.

Eloise hanya mengangguk pelan. Gadis itu tak memiliki pilihan lain selain mengikuti Caleb. Astaga, ia baru saja kenal dengan Caleb beberapa saat yang lalu. Eloise terkejut saat menyadari gestur Caleb yang hendak menggengam tangannya.

“Maaf, apakah tindakan ku sedikit lancang? Apakah aku boleh menggengam tangan mu?” Caleb bertanya dengan nada khawatir.

“Oh…tidak apa-apa. Namun untuk apa?” gadis itu memiringkan kepalanya.

“Untuk membuatmu merasa aman, setidaknya untuk saat ini…,” Caleb menggaruk tengkuknya.

“Baiklah” sahut Eloise pelan.

Caleb menggenggam erat tangan Eloise. Kesan pertama saat kulit mereka saling bersentuhan adalah “Hangat”. Sensasi hangat yang telah lama hilang dari diri Caleb. Berbeda dengan Eloise yang merasa kalau tangan Caleb terasa dingin.

Tak terasa mereka sudah sampai di luar area hutan. Caleb melepaskan genggamannya.

“Kita sudah sampai,” ujar Caleb sembari tersenyum.

“Terima kasih banyak. Aku tidak sanggup membayangkan nasibku jika kau tak ada di sana dan menolongku,” ucap gadis itu sembari membungkuk.

“Tak masalah, aku rasa membantu sesama merupakan kewajiban,” Caleb terkekeh.

Untuk beberapa saat Eloise terdiam. Pandangannya seolah dibuat terkunci dan hanya tertuju pada Caleb. Ia terlihat begitu bersinar di bawah cahaya rembulan. Entah mengapa batinnya berharap untuk dapat menemui Caleb lagi. Ia tak ingin ini menjadi momen pertama dan terakhir kalinya ia melihat Caleb. Sosok Caleb hilang begitu saja bagaikan jiwa yang ditiup oleh hembusan angin.

Keesokan paginya, Eloise kembali menghabiskan waktunya di halaman belakang. Kali ini gadis itu tengah menggambar kucing peliharaannya. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh kehadiran Caleb di halaman belakangnya. Caleb masih mengenakan pakaian yang sama, ia tersenyum kepada Eloise.

“Caleb?! Apa yang kau lakukan di halaman belakang rumahku?” Eloise terkejut kala menyadari eksistensi Caleb di halaman rumahnya.

“Hanya mengunjungimu. Apa kau keberatan Eloise?” Caleb balik bertanya.

“B-bukan begitu, hanya saja…untuk apa?” bukannya membalas Eloise justru kembali melemparkan pertanyaan.

“Tidak ada salahnya bagiku untuk menemuimu. Lagipula bukankah aku sudah mengatakannya bahwa aku mengagumi karyamu.” Jelas Caleb sembari menatap mata Eloise.

Eloise terdiam sejenak, ia mengganti halaman baru pada buku sketsanya. Eloise mulai membuat goresan dengan pensil miliknya. Sontak Caleb yang bingung karena Eloise tidak menanggapi penjelasannya.

“Jangan bergerak!” pinta Eloise.

“Hah?! Kenapa?” Caleb memiringkan kepalanya pertanda bingung.

“Aku hampir selesai,” sahut Eloise sembari melanjutkan goresannya pada kertas sketsa.

Gadis itu menghentikan goresannya. Ia memperlihatkan hasil sketsa yang baru saja ia buat kepada Caleb. Sontak, Caleb terkejut tatkala menyadari bahwa gadis itu baru saja menggambar potret dirinya.

“Ini…menakjubkan! Ternyata kau menggambarku ya, nona Eloise,” Caleb tersenyum tipis saat mengamati sketsa tersebut.

“Aku senang kau menyukainya. Kau boleh menyimpannya jika kau mau,” ujar Eloise sembari merapihkan peralatan menggambarnya.

“Dengan senang hati,” Caleb menyimpan kertas tersebut dibalik jas yang dikenakannya.

“Caleb, apa kau menyukai musik?” tanya Eloise sembari menghampiri pemutar piringan hitam.

“Tentu saja, aku menyukai musik,” jawab Caleb sembari terkekeh pelan.

“Kalau begitu, apakah kau tak keberatan untuk berdansa denganku?”

“Dengan senang hati,” Caleb tersenyum tipis.

Eloise pun memilih piringan hitam yang akan diputar. Setelah memutar piringan hitam yang dimilikinya, perlahan gadis itu hanyut dalam alunan musik. Caleb menyodorkan tangannya, pertanda mengajak berdansa. Gadis itu menerimanya. Perbedaan tinggi yang tak terlalu jauh, memudahkan keduanya untuk berdansa.

“Aku payah dalam berdansa,” Eloise terkekeh pelan.

“Tak masalah, aku akan mengajarimu,” sahut Caleb.

Eloise tersenyum. Selama tinggal dengan ayah angkatnya, Eloise belum pernah berdansa dengan sang ayah. Karena ayah yang begitu sibuk bekerja, karena hal itu Eloise hampir tak pernah menghabiskan waktu bersama sang ayah.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia tak merasa kesepian. Mungkin dengan kehadiran Caleb dalam hidupnya ia tak akan pernah kesepian lagi. Caleb seolah hadir dan merubah segalanya. Eloise kini menjadi lebih riang dan gembira.

Waktu berlalu, setiap hari Caleb datang untuk menemui Eloise. Banyak hal yang mereka lakukan bersama. Mulai dari berbagi kisah dan lara, tertawa, bahkan bersenang-senang dan mengeksplor hal-hal baru.

Sebelumnya, Eloise merasa dunianya hanya sebatas hitam dan putih, begitu monoton. Namun, kini semuanya begitu indah berkat hadirnya Caleb dalam keseharian Eloise.

Ayah Eloise terkejut pada perubahan tingkah laku Eloise. Gadis itu awalnya gadis yang pendiam dan menutup diri. Kini, Eloise begitu terbuka dan ceria.

Hari ini, Caleb mengajak Eloise untuk pergi ke danau di tengah hutan. Tentu saja ajakan Caleb disambut dengan antusias oleh Eloise. Bagi gadis itu, tak lengkap berpergian tanpa membawa peralatan melukis miliknya. Setelah semuanya telah siap, tak lupa dengan lampu minyak sebagai penerangan.

Mereka pun berjalan memasuki gelapnya hutan. Akan tetapi, hutan yang gelap nan mencekam itu seolah-olah bukan menjadi masalah besar bagi Eloise.

“Apa kau tak merasa takut? Saat pertama kali aku bertemu denganmu kau terlihat ketakutan…..dan kesepian,” Caleb membuka obrolan.

“Pada awalnya aku takut. Di sini gelap dan aku tak menyukai tempat gelap,” balas Eloise.

“Mengapa kau menerima ajakanku? Bukankah kau tak menyukai gelap?” Caleb bertanya.

“Sedikit klise jika aku mengatakan bahwa selama bersama denganmu aku merasa aman” jawab Eloise sembari menatap Caleb.

Caleb terdiam sejenak, kemudian kembali melangkah.

Eloise bertanya-tanya apa yang terjadi pada Caleb. Ia merasa ada sesuatu yang ganjil pada Caleb. Sebisa mungkin ia menepis semua pikiran buruk tentang Caleb dalam benaknya.

Tak terasa, mereka telah tiba di danau. Kini mereka berdua berjalan menuju dermaga. Pemandangan danau tidak begitu buruk. Airnya nampak begitu gelap seolah menyimpan sejuta misteri dibaliknya.

Caleb berdiri di ujung dermaga. Laki-laki itu berbalik lalu menatap Eloise dengan lembut. Sebuah senyuman tipis terlukis di bibir laki-laki berambut hitam itu.

“Eloise, apa kau masih akan menerimaku?” sebuah pertanyaan acak terlontar begitu saja dari mulut Caleb.

“Caleb, apa yang kau katakan? Tentu saja kau begitu berharga untukku,” gadis itu terdengar khawatir.

“Apa perasaanmu padaku akan tetap sama?” Caleb kembali bertanya.

Belum sempat menjawab pertanyaan Caleb, Eloise seketika dibuat terkejut. Tiba-tiba saja Caleb menjatuhkan dirinya ke dasar danau. Eloise seketika terdiam lemas. Segera, gadis itu mendekati ujung dermaga tempat Caleb berdiri.

“Caleb?!!” panggil Eloise.

Tak ada jawaban. Eloise kebingungan. Ia tak bisa berenang.

Yang ia lakukan hanya menunggu Caleb kembali ke permukaan. Beberapa saat kemudian, nampak sesuatu muncul dari permukaan air. Sesosok laki-laki berkulit pucat dengan tatapan kosong keluar dari permukaan air danau yang gelap.

“Caleb?” gadis itu terkejut.

Dengan lirih sosok itu membalas, “Eliose, ini aku….Caleb”.

Sosok itu keluar dari permukaan air. Nampak sebagian tubuhnya hancur dan aroma anyir tercium jelas dari sosok Caleb. Kulitnya begitu pucat, beberapa luka di tubuhnya terlihat basah karena air danau. Raut wajah Caleb begitu murung. Ia takut Eloise akan menjauh setelah mengetahui sosoknya yang sebenarnya.

“Aku…aku sudah lama meninggal,” ujar Caleb.

“Kau pasti takut denganku sekarang, aku memang mengerikan,” tambah Caleb.

“Astaga, bisakah kau diam? Aku tak mempermasalahkan itu. Aku tak peduli bagaimana wujudmu Caleb. Mau itu hantu ataupun manusia, kamu tetaplah Caleb. Kau mengerti?” ujar Eloise sembari memeluk erat tubuh Caleb.

Caleb tertegun kala menyadari betapa berharga dirinya bagi Eloise. Gadis itu bahkan tak mempermasalahkan penampilan Caleb yang mengerikan. Bibir pucat Caleb melukiskan sebuah senyuman.

Sebuah senyuman dengan sejuta makna dibaliknya.

TAMAT

Bionarasi

Aqila Restu A biasa menulis dengan nama pena “Akira”. Memiliki hobi menulis cerita sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Lahir di Gresik, Jawa Timur. Cenderung menulis cerita genre Thriller dan Horror.

Kali ini ia menantang dirinya untuk mencampurkan elemen horror dan romantis.

Menulis merupakan salah satu jalan baginya untuk berimajinasi dan menuangkan perasaannya dalam rangkaian kalimat serta paragraf. Selain menulis, ia memiliki hobi lain yakni menggambar dan mendengarkan musik. Silahkan berkunjung ke akun IG @kyraneedspace.

Loading...