HARIANNKRI.ID – Setiap bakal calon presiden (Capres) wajib mencantumkan nama calon wakil presiden (Cawapres) sebagai syarat untuk mengikuti kompetisi pesta demokrasi. Pertanyaannya, apakah nama sang wakil yang dipilih mampu menaikkan elektabilias sang kandidat presiden?
Pertanyaan ini dijawab dalam presentasi Prof. Saiful Mujani dalam program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode “Cawapres Penting Untuk Elektabilitas Capres?”. Program ini disiarkan melalui kanal Youtube SMRC TV, Kamis (30/3/2023)
SMRC melakukan studi eksperimental sejauh mana nama-nama yang banyak disebut potensial menjadi capres dapat menaikkan elektabilitas capres mereka secara signifikan dibanding mereka tanpa cawapres.
Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan adalah tiga bakal calon presiden paling kompetitif, tapi belum ada yang mendapat suara mayoritas mutlak (di atas 50 persen). Karena itu, ketiganya berharap calon wakilnya dapat membantu menaikan elektabilitas mereka. Tapi menurut studi Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), cawapres tidak punya pengaruh pada elektabilitas mereka jika ketiganya bersaing.
Pada studi eksperimental pertama, adalah efek wakil terhadap elektabilitas Ganjar melawan Anies dan Prabowo. Sejumlah tokoh diteliti efeknya terhadap elektabilitas Ganjar. Mereka adalah Airlangga Hartarto, Erick Thohir, Khofiffah Indar Parawansa, Mahfud MD, dan Ridwan Kamil. Hasilnya, tak ada satu pun dari nama-nama ini yang menaikan elektabilitas Ganjar secara signifikan atau di atas margin of error +/- 8%.
Saiful menjelaskan, nama-nama ini diuji pengaruhnya dengan sejumlah pertimbangan. Pertama Airlangga karena dia adalah ketua umum partai besar. Kedua, Erick Thohir karena sudah melakukan sosialisasi untuk menjadi capres. Selain itu, Erick adalah Menteri Jokowi sehingga cukup terbuka untuk menjadi cawapres Ganjar yang merupakan kader PDIP dan dekat dengan Jokowi.
Ketiga, Khofifah yang merupakan gubernur Jawa Timur, salah satu provinsi dengan populasi terbesar. Dia juga sudah teruji dalam kontestasi pemilihan langsung dalam pemilihan gubernur. Selain itu, Khofifah juga adalah tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Dalam tradisi PDIP, unsur NU sering dihitung. Keempat, Mahfud, menteri senior di Pemerintahan Jokowi. Dia juga adalah tokoh NU dan pernah menjadi salah satu orang kepercayaan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Kelima, Ridwan Kamil. Di luar Ganjar, Anies, dan Prabowo, tokoh yang memiliki tingkat elektabilitas tertinggi untuk pilpres adalah Ridwan Kamil. Selain itu, Ridwan Kamil adalah gubernur di provinsi yang memiliki jumlah pemilih terbesar. Dan Ganjar sejauh ini cukup lemah di Jawa Barat. Sementara Ridwan Kamil sudah menjadi gubernur di Jawa Barat.
Dalam variabel kontrol, ditanyakan siapa yang akan dipilih jika Ganjar berhadapan dengan Anies dan Prabowo. Hasilnya Ganjar mendapatkan 41 persen, Prabowo 29 persen, dan Anies 23 persen. Ada 7 persen yang tidak menjawab.
Sementara dalam treatment Ganjar berpasangan dengan Airlangga melawan Prabowo dan Anies, suara Ganjar menjadi 37 persen, Prabowo 27 persen, Anies 25 persen, dan tidak jawab 11 persen. Jika berpasangan dengan Erick, Ganjar mendapat 36 persen, Prabowo 24 persen, Anies 26 persen, dan tidak jawab 14 persen. Jika berpasangan dengan Khofifah, Ganjar didukung 38 persen, Prabowo 24 persen, Anies 28 persen, dan tidak jawab 9 persen. Jika berpasangan dengan Mahfud MD, Ganjar mendapatkan 35 persen suara, Prabowo 26 persen, Anies 24 persen, dan tidak jawab 15 persen. Sementara jika berpasangan dengan Ridwan Kamil, Ganjar mendapat dukungan 40 persen, Prabowo 28 persen, Anies 22 persen, dan tidak jawab 10 persen.
Ada keragaman efek calon wakil presiden pada elektabilitas Ganjar. Namun keragaman tersebut, kata Saiful, tidak signifikan secara statistik. Dalam uji statistik di mana p-value terbesar 0,05, tidak ada satu pun nama calon wakil yang dimasukkan sebagai treatment yang mendekati 0,05 atau lebih kecil, bahkan semuanya di atas 0,1.
“Secara keseluruhan, semua nama yang dimasukkan sebagai calon wakil presiden dalam studi ini tidak membantu Ganjar jika dilihat dari sisi elektabilitas,” kata Saiful.
Karena itu, menurut Saiful, nama-nama tersebut tidak bisa dipilih sebagai cawapres dengan alasan untuk menaikkan elektabilitas Ganjar. Kalau mau memilih di antara nama-nama ini (untuk menjadi cawapres), lanjutnya, pertimbangannya bukan elektabilitas, tapi alasan lain seperti kompetensi, leadership, atau alasan lain seperti mendukung agar pembangunan ekonomi ke depan bisa lebih kuat.
Eksperimen kedua adalah menguji efek calon wakil presiden pada elektabilitas Anies berhadapan dengan Ganjar dan Prabowo. Dalam variabel kontrol, ditanyakan bahwa jika Anies berhadapan dengan Ganjar dan Prabowo, akan memilih siapa? Anies mendapat dukungan 22 persen, Ganjar 40 persen, Prabowo 30 persen, dan belum jawab 9.
Siapa yang akan membantu menaikkan suara Anies jika terjadi persaingan di antara tiga nama? Dalam eksperimen, dimasukkan nama Airlangga. Pertimbangannya karena tokoh ini memiliki modal politik yang besar. Karena itu, jika dia tidak diambil Ganjar, maka mungkin bisa dipasangkan dengan Anies.
Nama kedua adalah Agus Harimurti-Yudhoyono (AHY). Ada pembicaraan tentang harapan Demokrat agar AHY bisa menjadi wakil presiden untuk Anies. Selanjutnya adalah Ahmad Heryawan (Aher) karena merupakan kader atau elit PKS. Selain itu, juga dimasukkan nama Andika Perkasa. Tokoh ini juga banyak dibicarakan karena posisinya sebagai mantan panglima TNI dan memiliki kedekatan dengan Nasdem. Kemungkinan ada pertimbangan teknokratik dan stabilitas politik yang melatar belakangi penyebutan nama Andika.
Selanjutnya adalah Khofifah. Bahkan sudah terjadi diskusi yang cukup serius di mana seorang kader atau elit Nasdem secara terbuka menyatakan Khofifah menjadi alternatif calon wakil presiden Anies. Pertimbangannya adalah bahwa Khofifah bisa mengatasi lemahnya dukungan Anies di Jawa Timur. Selain itu, Anies juga butuh memperkuat dukungan di kalangan NU.
Jika Anies dipasangkan dengan Airlangga, suara Anies menjadi 28 persen, Ganjar 29 persen, Prabowo 23 persen, tidak jawab 19 persen. Jika berpasangan dengan AHY, suara Anies 26 persen, Ganjar 44 persen, Prabowo 20 persen, dan tidak jawab 10 persen. Jika berpasangan dengan Aher, suara Anies 21 persen, Ganjar 35 persen, Prabowo 34 persen, dan tidak jawab 10 persen. Jika berpasangan dengan Andika, suara Anies 19 persen, Ganjar 45 persen, Prabowo 24 persen, dan tidak jawab 13 persen. Jika berpasangan dengan Khofifah, suara Anies 30 persen, Ganjar 33 persen, Prabowo 28 persen, dan tidak jawab 9 persen.
Dalam uji statistik, ditemukan selisih antara variabel kontrol dengan kelima treatment tidak ada yang sama atau lebih kecil dari p-value 0,05. Artinya selisih di antara kontrol (T0) dan kelima treatment (T1-T5) tidak berbeda secara siginifikan. Semua nama tokoh yang diuji tidak membantu peningkatan elektabilitas Anies.
“Semua nama tadi yang diharapkan bisa mendongkrak elektabilitas Anies untuk mengalahkan Ganjar dan Prabowo tidak bisa membantu,” kata Saiful.
Eksperimen ketiga adalah tentang efek calon wakil presiden terhadap elektabilitas Prabowo melawan Ganjar dan Anies. Dalam variabel kontrol, ditanyakan jika Prabowo maju sebagai calon presiden berhadapan dengan Ganjar dan Anies, siapa yang akan dipilih? Prabowo didukung 27 persen, Anies 23 persen, Ganjar 37 persen, dan tidak jawab 13 persen.
Ada lima nama yang dimasukkan sebagai treatment. Pertama, Muhaimin Iskandar. Muhaimin adalah nama yang paling banyak disebut akan mendampingi Prabowo. Juga sudah ada kesepakatan sementara dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya. Kedua, Airlangga karena dia memiliki partai politik besar. Ketiga, Khofifah karena kemungkinan Prabowo membutuhkan tokoh NU dan berasal dari wilayah yang memiliki populasi yang besar. Keempat, Mahfud dengan pertimbangan dia sebagai tokoh NU dan salah satu Menteri yang menonjol. Kelima, Puan Maharani karena sudah lama dibicarakan kemungkinan dipasangkan dengan Prabowo.
Jika Prabowo berpasangan dengan Muhaimin, suaranya menjadi 34 persen, Anies 21 persen, Ganjar 35 persen, dan tidak jawab 10 persen. Jika berpasangan dengan Airlangga, suara Prabowo menjadi 18 persen, Anies 26 persen, Ganjar 43 persen, dan tidak jawab 12 persen. Jika berpasangan dengan Khofifah, Prabowo didukung 25 persen, Anies 19 persen, Ganjar 43 persen, dan tidak jawab 13 persen. Jika berpasangan dengan Mahfud MD, suara Prabowo 31 persen, Anies 28 persen, Ganjar 32 persen, dan tidak jawab 9 persen. Jika berpasangan dengan Puan, suara Prabowo menjadi 25 persen, Anies 29 persen, Ganjar 33 persen, dan tidak jawab 12 persen.
Selisih perubahan suara Prabowo dalam kontrol dan treatment juga tidak mengalami perubahan yang signifikan. Artinya lima bakal calon wakil presiden tidak mengubah suara dukungan pada Prabowo secara signifikan.
Dari tiga nama bakal calon presiden (Ganjar, Anies, dan Prabowo), tidak ada tokoh (yang diuji dalam studi eksperimen ini) yang bisa membantu mereka untuk meningkatkan suara dalam pemilihan presiden jika ketiganya bersaing. Karena itu, menurut Saiful, kalau mau merekrut tokoh-tokoh tersebut sebagai calon wakil presiden, pertimbangannya bukan elektabilitas. Tapi dengan pertimbangan yang lain yang mungkin juga tidak kalah pentingnya.
Data ini memberi petunjuk, lanjut Saiful, bahwa baik Ganjar, Prabowo, maupun Anies harus bersandar pada dirinya sendiri, tidak bisa bersandar pada wakilnya untuk membuat mereka kompetitif dalam pilpres nanti.
Saiful melihat bahwa fakta ini cukup konsisten dengan pengalaman pilpres di Indonesia selama ini. Dalam kasus SBY dan Jokowi, kedua tokoh ini lebih mengandalkan kekuatan dirinya secara elektoral. Mereka tidak terlalu banyak mengharapkan pada wakilnya.
“Wakil tidak menentukan secara elektoral, yang menentukan adalah yang nomor satu (capres-red),” tutup Saiful. (OSY)