Sikap Ambivalen Jokowi Saat Hadiri Deklarasi Batutulis 21 April 2023; Selaku Presiden RI Atau Kader Partai?Ditulis oleh: Dr. Nicholay Aprilindo, Aktivis Polhukam & HAM.
Ketika Ketua umum PDIP mengumumkan meningkatkan penugasan Ganjar Pranowo selaku petugas partai PDIP dari Gubernur Jawa Tengah menjadi “Calon Presiden” pada tanggal 21 April 2023 di Istana Batutulis dihadiri oleh Jokowi selaku anggota atau kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan selaku seorang petugas partai PDIP yang sedang mengemban tugas sebagai Presiden Republik Indonesia sejak 2014 dan 2019. Ada beberapa hal yang perlu dikritisi, yaitu :
Timbul berbagai spekulasi politik dan pertanyaan tentang sikap Jokowi selaku Presiden RI.
Bukankah Jokowi adalah Presiden bagi seluruh bangsa dan Negara Indonesia? Bukan Presiden untuk kelompok atau golongan atau partai politik tertentu, khususnya PDIP. Walaupun Jokowi tidak bisa tidak melepaskan atributnya sebagai anggota atau kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Sikap Jokowi tersebut menjadi “ambivalen”. Ketika Jokowi dalam beberapa kali pernyataannya memberikan “angin segar” bagi calon-calon presiden yang akan berkompetisi pada pilpres 2024 mendatang. Sebut saja Prabowo Subianto, Erlangga Hartarto dan juga “si rambut putih” Ganjar Pranowo.
Seperti kita ketahui bersama, ketika 2014 pertama kali Jokowi menjadi capres, diusulkan dan diusung oleh partai Nasdem pimpinan Surya Paloh, bersama PDIP dan partai pendukung lainnya. Pada 2019 PDIP bersama partai Nasdem menyatakan mengusung kembali Jokowi selaku capres untuk periode kedua. Didukung oleh partai lainnya termasuk partai Golkar.
Artinya, Jokowi menjadi Presiden RI. selama 2 periode berturut-turut bukan semata-mata PDIP. Namun hasil dukungan dan kerja keras partai-partai pendukung capres Jokowi kala itu (2014 & 2019). Serta yang paling penting adalah Jokowi menjadi Presiden R.I. adalah pilihan mayoritas rakyat Indonesia yang bukan hanya dari PDIP.
Berdasarkan pada sejarah, Jokowi menjadi Presiden RI bukan hanya dari PDIP. Maka seharusnya Jokowi lebih bijak dalam menempatkan diri sebagai Presiden milik seluruh rakyat Indonesia. Dalam artian, apabila Jokowi merasa diri sebagai milik seluruh rakyat Indonesia dan mempunyai rasa terima kasih kepada partai-partai pengusung dan atau pendukung lainnya selain PDIP, maka ketika acara pencapresan Anies Baswedan yang diusung oleh partai Nasdem, atau deklarasi pencapresan Airlangga Hartarto dari partai Golkar, seharusnya Jokowi ikut hadir.
Demikian pula ketika deklarasi pencapresan Prabowo Subianto oleh Partai Gerindra. Karena setelah Prabowo Subianto sebagai rival capres Jokowi pada tahun 2014 dan 2019 dan kalah maka pada tahun 2019 Prabowo Subianto bersedia bergabung dengan Pemerintahan Jokowi. Partai Gerindra menjadi partai pendukung pemerintahan Jokowi 2019-2024.
Dengan demikian, ada kesetaraan diantara partai pendukung pemerintahan Presiden Jokowi. Hal tersebut menempatkan Jokowi betul-betul sebagai “bapak bangsa”. Presiden bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hal tersebutlah yang perlu dikritisi dari kehadiran Jokowi ketika deklarasi Ganjar Pranowo sebagai Capres PDIP pada tanggal 21 April 2023 lalu. Menjadi spekulasi dari masyarakat dan parpol tertentu yang akan ikut dalam kontestasi pemilu presiden 2024. Nahwa Jokowi selaku Presiden aktif hanya mendukung capres PDIP yaitu Ganjar Pranowo.
Ini sangat berbahaya dalam iklim demokrasi yang sehat. Merusak ketatanegaraan yang sudah menjadi pakem. Yaitu ketika sudah menjadi Presiden adalah Presiden bagi seluruh rakyat, bangsa dan Negara Kesatuan RI. Seharusnya Jokowi bisa menempatkan diri serta memisahkan dalam kapasitasnya sebagai pejabat Negara (Presiden RI) dan sebagai anggota atau kader partai politik tertentu.
Akan sangat bijak apabila Jokowi ketika harus dan atau mau tidak mau harus mengikuti deklarasi pencapresan Ganjar Pranowo oleh PDIP, bila konsisten harus melepaskan atributnya sebagai Presiden R.I. dan hanya memakai atribut sebagai anggota/kader PDIP serta tidak menggunakan fasilitas negara atau fasilitas kepresidenan R.I. ketika menghadiri acara tersebut, sehingga tidak menimbulkan spekulasi atau tanggapan multi tafsir dari masyarakat awam secara keseluruhan.
Sejak dulu, istilah “Petugas Partai” yang dilontarkan (2014 & 2019), saya kurang sreg dg terma tsb *jika diberikan kpd seorang yg dalam posisi sebagai Presiden RI.
Kalau orang tsb masih jadi capres, maka untuk kepentingan mengkonsolidasikan kekuatan parpol dan memobilisasi dukungan kader dan/atau simpatisan parpol, saya kira masih pantas.
Tetapi saat orang itu sudah jadi Presiden, seperti Jokowi saat ini, maka statusnya mengatasi posisi beliau dalam struktur parpol. Konstitusi RI menyebut dg eksplisit bhw Presiden bukan saja berfungsi sebagai Kepala Pemerintahan, tetapi juga Kepala Negara dlm sistem ketatanegaraan RI. Jd posisi presidensi adalah jabatan paling utama. Tidaklah etis dan merupakan suatu penghinaan terhadap Presiden selaku kepala Negara dan Kepala Pemerintahan jika ia masih dimasukkan dlm kategori petugas partai yg posisinya adalah di bawah partai atau bahkan seorang Ketum partai.
Pandangan internal suatu parpol bahws capres faktanya diusung parpol dan karenanya ia adalah petugas partai, menurut saya, tidak lazim dlm sistem ketatanegaraan, maka saya sangat tidak setuju dg sebutan tsb (Petugas Partai) diberikan kpd Presiden Jokowi ketika beliau sedang dalam jabatan tsb.
Terpulang kpd sejarah, bagaimana akan mencatat sebutan yg bagi saya “anomali” di Republik ini.