HARIANNKRI.ID – Sebulan terakhir publik dikejutkan dengan keputusan MK soal permohonan agar capres atau cawapres bisa dari warga yang berumur 40 tahun ke bawah. Selama ini, dalam undang-undang, usia minimal seorang capres atau cawapres adalah mereka yang minimal 40 tahun.
Dalam program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’, pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) ini memaparkan sejarah dibalik lahirnya “Keputusan MK Gibran Jadi Cawapres”. Penuturan ini disiarkan melalui kanal Youtube SMRC TV, Jumat (10/11/2023) dalam episode “MK dan Gibran di Mata Publik”.
“Ada aspirasi di masyarakat untuk meninjau kembali undang-undang tersebut. Karena itu mereka mengajukan peninjauan kembali ke MK. Agar warga yang berumur kurang dari 40 tahun bisa menjadi capres atau cawapres,” kata Saiful.
Ia menjelaskan, MK memutuskan bahwa seorang warga bisa mengajukan diri atau diajukan sebagai capres atau cawapres walaupun umurnya belum 40 tahun. Dengan catatan, dia telah menjadi pejabat yang dipilih melalaui pemilihan umum seperti anggota DPR, anggota DPRD, gubernur, walikota, atau bupati.
“Yang menarik bukan hanya keputusannya. Tapi juga tentang bagaimana proses pengajuan tersebut pada MK sebelum lembaga itu mengambil keputusan,” sambungnya.
Sebelum Keputusan MK yang menjadi viral dengan sindiran “Keputusan MK Gibran Jadi Cawapres” terbit, tutur Saiful, pengajuan agar batas umur tersebut diturunkan adalah agar warga negara yang berumur di bawah 40 tahun bisa menjadi capres atau cawapres. MK menolak permohonan tersebut. Namun dalam waktu yang tidak terlalu lama, muncul permohonan baru. Bahwa batas usia calon presiden 40 tahun kecuali yang memiliki pengalaman pemerintahan daerah seperti gubernur, walikota, bupati. Atau bahkan pernah menjadi pejabat publik yang dipilih melalui pemilihan umum seperti DPR, DPRD 1, atau DPRD 2.
“Usulan ini diajukan oleh Almas Tsaqibbirru. Seorang mahasiswa dari Surakarta, dimana Gibran menjadi walikotanya. Dia mengajukan peninjauan kembali batas usia capres-cawapres ke MK dengan menyatakan secara eksplisit bahwa dia adalah pengagum Gibran, putera Presiden Jokowi,” ujar Saiful.
Ia menekankan, awalnya, pengajuan penurunan batas usia tersebut ditolak MK karena itu bukan wewenang MK. Argumen penolakan MK adalah bahwa untuk aturan usia capres/cawapres, itu bukan wilayah wewenang MK, melainkan wewenang DPR dan pemerintah atau presiden. Karena itu, mestinya saluran pengajuan ditujukan pada DPR atau pemerintah jika tidak setuju dengan aturan batas usia tersebut.
“Namun permohonan yang kedua yang diajukan oleh Almas bahkan tidak mengatakan umurnya harus berapa, namun yang penting adalah pernah menjadi pejabat publik yang dipilih oleh rakyat. Permohonan ini dipenuhi oleh MK,” jelas Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta tersebut.
Saiful melanjutkan, pada permohonan pertama dimana pemunduran batas usia capres/cawapres ditolak, Ketua MK, Anwar Usman, tidak ikut sebagai hakim. Namun pada permohonan kedua di mana pemohon menyebut diri sebagai pengagum Gibran, Ketua MK, Anwar Usman, ikut sebagai hakim dalam perumusan keputusan yang mengabulkan permohonan tersebut.
“Keputusan ini kemudian menyebabkan Gibran, yang dikagumi oleh pemohon, bisa menjadi calon wakil presiden,” ungkap Saiful. (OSY)