HARIANNKRI.ID – Organisasi keagamaan ternyata memiliki hubungan unik dengan kekuatan politik di suatu negara. Di berbagai negara, partai atau calon pemimpin lebih memfokuskan perhatiannya kepada civil society yang berbasis agama dibanding kelompok profesi tertentu.
Hal ini dikatakan pendiri Saiful Mujani Research And Consulting (SMRC), Profesor Saiful Mujani pada program ’Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode ”Ormas Keagamaan dan Pilpres 2024”. Program ini disiarkan melalui kanal Youtube SMRC TV, Kamis (4/1/2024).
Saiful menjelaskan, kelompok civil society, interest groups (kelompok kepentingan), organisasi sosial, bahkan gerakan social, diyakini penting untuk menjembatani antara warga biasa atau masyarakat dengan entitas politik. Seperti, partai politik atau para calon yang bersaing untuk memperebutkan jabatan publik seperti presiden atau parlemen. Tesis ini, menurut Saiful, berkembang di negara-negara demokratis yang sudah mapan.
“Di Amerika Serikat, misalnya, organisasi yang besar dan memiliki anggota yang banyak di antaranya adalah organisasi keagamaan seperti gereja. Karena itu gereja menjadi sangat penting,” pendiri SMRC ini.
Lanjutnya, variasi dalam organisasi gereja menjadi sangat menentukan pilihan-pilihan. Karena bisa melakukan mobilisasi politik untuk memperantarai antara warga biasa atau anggota jemaat dengan calon presiden atau partai politik tertentu. Gereja kulit putih biasanya punya hubungan tradisional dengan Partai Republik. Sementara gereja-gereja yang dimiliki warga kulit hitam memiliki hubungan yang dekat dengan Partai Demokrat.
“Sementara organisasi di luar keagamaan adalah organisasi buruh, bisnis, olah raga, dan lain-lain. Fungsinya juga sama, yakni menjadi organisasi yang memperantarai antara warga negara dengan kelompok-kelompok politik seperti partai politik atau calon presiden,” sambung Saiful.
Ia menambahkan, orang yang memilik hak pilih tidak mungkin bisa dijangkau satu per satu. Karena jumlahnya sangat besar, puluhan bahkan ratusan juta. Upaya yang efisien yang memperantarai antara individu-individu pemilih dengan entitas politik yang mau didukungnya (partai atau calon) adalah organisasi, gereja, organisasi hobi, olah raga, alumni sekolah, dan lain-lain.
“Organisasi-organisasi tersebut yang kemudian disebut sebagai civil society,” ungkap Saiful.
Di Indonesia, jelasnya, organisasi yang besar dan mapan adalah organisasi keagamaan. Untuk non-Islam, organisasi yang besar adalah gereja. Sementara untuk Islam, ada dua organisasi paling besar, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Selain itu, juga ada remaja masjid, majelis taklim, atau pesantren tertentu.
“Kelompok-kelompok tersebut adalah civil society yang bisa memperantarai antara entitas politik dan pemilih,” jelas pendiri SMRC tersebut.
Lebih jauh Saiful menjelaskan, beberapa partai politik di Indonesia memiliki hubungan khusus dengan organisasi massa. Misalnya antara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan NU.
“PKB lahir dari NU. Setidaknya tokoh-tokoh utama di NU itulah yang melahirkan PKB. PKB didirikan oleh Abdurrahman Wahid menjelang Pemilu 1999. Demikian pula Partai Amanat Nasional (PAN) memiliki hubungan khusus dengan Muhammadiyah. Sementara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memiliki hubungan khusus dengan Masyumi, NU, Parmusi, dan juga unsur Muhammadiyah,” tutup Saiful Mujani. (OSY)